Cintaku Di Segala Sisi

                        oleh Halimah
                      -------------------

Kebiasaan kita, khususnya aku, akan timbul rasa suka atau simpati
karena seseorang mempunyai sisi baik. Sisi baik yang menyenangkan rasa,
membuatku bisa bersyukur berjumpa pada seseorang. Misalnya istriku saat
ini.

Cinta tumbuh dan berkembang karena melihat karakternya yang lembut
dan bersahaja, dan gampang menolong orang lain yang kesusahan. Akhirnya
aku pun bertekat untuk mempersuntingnya untuk jadi pendamping hidupku.
Membayangkan sebuah rumah tangga yang penuh saling perhatian dan tentu
saja cinta yang menjadi pilar kekokohan persatuan kami.

Itu lah impianku. Tapi, impian tidak lah memang harus sama dengan
kenyataan. Ternyata banyak hal yang belum aku ketahui tentang istriku
ini. Sisi baik yang membuatku terpikat pada awalnya, ternyata bagaikan
satu buah sisi mata uang receh. Ternyata dia pun punya sisi yang
lainnya, yang tak pernah aku bayangkan.

Satu dua hari pernikahan kami, aku pun kembali pulang ke orang
tuaku. Tak kuat dengan apa yang belum di bukakannya kepadaku. Ternyata
dia adalah janda kembang di kampungnya. Aku tak tahu, karena tak ada
sedikit pun informasi darinya atau pun dari pihak lain.

Bukan aku mempermasalahkan tentang statusnya yang janda, tapi yang
sangat aku sayangkan setelah ijab kabul di lakukan baru lah aku tahu,
siapa sebenarnya istriku tersebut. Pengantin baru seharusnya adalah
masa indah yang patut di kenang, ternyata aku harus bergulat dengan
egoisme tentang harga diri seorang laki-laki yang merasa di bohongi.
Sakit, itulah yang aku rasakan.


Beruntung aku mempunyai kedua orang tua yang berpandangan luas tentang
hidup. Beliau mengatakan bahwa ini adalah takdir yang harus aku jalani
dalam hdiupku. Memang ini cobaan ku, karena aku terlahir dengan sifat
yang sangat penyabar. Ternyata memang Allah memberikan ujian sesuai
dengan tingkatan iman kita. Mereka tak ingin aku menceraikan istriku
dengan alasan apapun. Aku pun patuh pada nasehat mereka.
Setelah mulai membuka diri untuk berdamai dengan hati, maka aku pun
berusaha untuk belajar menerima istriku dengan status yang di
sembunyikannya tersebut. Tapi ternyata itu adalah awal dari sifat yang
lainnya, yang tak pernah aku temui selama ini. Ternyata perangai
terhadap kedua orangtuanya berbanding terbalik dengan diriku. Aku yang
tak pernah bersuara keras apalagi membentak kedua orangtuaku, ternyata
istriku malah sebaliknya. Aku pun terhenyak kembali. Belum lagi
lidahnya setajam silet, yang gampang sekali mengeluarkan kata yang
dapat melukai seseorang seumur hidupnya. Aku sangat terpukul. Ternyata
yang nampak di mataku sebuah kebaikan, ternyata di iringi dengan banyak
kemungkaran yang tak pernah terbayangkan.

Istri yang aku kawini karena aku sangat mencintainya, ternyata
adalah sebuah ujian untuk aku jalani seumur hidupku hingga kini. Ujian
yang tak mungkin aku lepas, karena aku telah berjanji kepada kedua
orang tuaku untuk tidak akan pernah menceraikannya sampai ajal merengut
nyawaku. Sebuah pertahanan yang sangat kuat harus aku tanamkan, kemana
aku harus bersandar bila aku tidak memulangkannya kepada penentu
“Takdir”ku, Ilahi Robbi.

Setelah beberapa tahun perkawinan kami, hingga dikarunia dua anak
yang lahirnya berdekatan, aku dan istriku masih sering kali bertengkar
sengit dan kadang membuat anak-anak kami ketakutan. Aku yang tadinya
bukan lah tipe pemarah dan gampang mengeluarkan kata makian, ternyata
beberapa tahun bersama istriku aku telah berubah menjadi seseorang yang
sebenarnya tidak aku sukai. Aku bukan lah aku yang dulu, yang selalu
takut melukai lawan bicaraku. Ternyata istriku dengan tabiatnya yang
banyak di luar perkiraanku, mengubahku menjadi seorang pemarah dan
pemaki. Walau pun itu hanya aku lakukan padanya. Tapi sungguh aku
sering menangis, di kala istriku tidur. Dan munajat panjang ku di malam
dingin, seringkali membuatku terpekur. “Mengapa aku jadi begini?”.

Banyak do’a yang telah keluar dari bibir ini. Banyak ustadz yang aku
datangi untuk merubah prilaku istriku, ternyata semuanya tidak ada
kelihatan hasilnya. Istriku masih dengan sifat bawaannya, padahal dia
rajin shalat. Aku sangat kecewa dan hampir putus asa.

Kemudian Allah memberikan hidayah ke dalam hatiku. Rasa ku yang
dulunya kelam, ternyata dapat menangkap cahaya Ilahi. Cahaya yang
membuatku dapat melihat apa yang sesungguhnya ada di hadapanku kini.
Padahal kedua orangtua ku dulunya sebelum meninggal telah
menyampaikannya, tapi ternyata setelah perkawinan kami menginjak dua
belas tahun aku dapat memahami semua kejadian ini.

Cintaku ada karena melihat perangai baiknya, sebelum aku
mempersuntingnya. Ternyata dalam cinta yang kita genggam bukan hanya
harus memiliki satu sisi. Sisi buruk apa pun yang di miliki pasangan
kita adalah sebuah anugerah bagi kita.

Kita harus mampu menerima keburukan, sebagaimana kita menerima
kebaikannya. Cinta kepada sesuatu tidak harus banyak menuntut, tapi
bagaimana sesuatu yang tidak menyenangkan mata dan hati, dapat kita
ambil untuk di pelajari kemudian untuk di petik hikmahnya. Seperti
bagaiaimana kuatnya kemauan Rasulullah Saw untuk meng-Islamkan pamannya
Abu Thalib, ternyata beliau tak mampu. Begitu pula aku yang hanya
manusia biasa.

Istriku hingga kini adalah tempatku belajar untuk sabar dan berusaha
memahami bagaimana sifat dan karakternya saat ini. Dia tidak terlalu
bersalah, akrena aku menyadari itu adalah hasil didikan dari
lingkungannya, baik dari kedua orang tuanya maupun dari keluarga
besarnya.

Jadi di umur yang tidak bisa dikatakan muda lagi dan kedua anak kami
yang telah menyelesaikan pendidikannya, membuatku lebih tenang dalam
mengisi sisa-sisa hidupku ini. Aku merasakan sebuah ketenangan dan
penerimaan total atas semua dua sisi sifat istriku yang aku cintai itu
dengan sangat sadar.

Sadar bahwa memang hidup di dunia ini, akan selalu ada cobaan. Kita
tak bisa merasakan sebuah nikmat bila kita selalu mempermasalahkan
sesuatu yang kurang. Baik pada pasangan hidup kita, anak-anak kita atau
orang-orang yang selalu bersifat kurang terpuji terhadap kita. Intinya
adalah menyikapi semua hal dengan lapang dada dan sadar semuanya adalah
skenario Allah Swt.

Karena sebuah kebaikan tentu lah hal yang menyenangkan yang tak
perlu kita persoalkan. Bila kita menyukai seseorang karena kebaikannya,
maka bersiaplah untuk pula menerima sifatnya yang tidak kita sangka,
yang bila kia permasalahkan akan betul-betul menjadi masalah.

Saat ini yang aku kejar adalah sisa umurku yang tidak lama lagi,
bila di sandingkan dengan umurnya Rasulullah. Maka oleh itu lah aku
sangat bersyukur, karena sesuatu yang tadinya aku anggap sebuah beban
ternyata adalah bentuk kasih sayang dari Allah Swt. Dengan memberikan
sebuah pembelajaran dan didikan bertahun-tahun yang harus sangat payah
harus ku emban, ternyata berbuah manis untuk ku petik di masa tua ini.
Jadi hidup ini memang sebuah perjalanan rohani yang harus selalu
kita gali hikmahnya, agar semua yang kita temui dalam perjalanan
singkat di dunia ini merupakan sebuah kesadaran. Sadar bahwa semuanya
adalah kehendak-Nya. Karena bagaimana pun banyak ilmu yang telah kita
pelajari, atau banyak buku yang telah kita baca, semuanya itu tidak
akan berfaedah bila rasa ikhlas tidak ada dalam jiwa kita.

Tiada daya dan upaya melainkan semuanya datangnya dari Allah Swt.


( Tulisan ini merupakan  kisahi perjalanan hidup seorang lelaki  yang mungkin 
dapat di petik hikmahnya. Amin )
Sengata, 2 Nopember 2009
Halimah Taslima
Forum LIngkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata


================sumber:eramuslim.com
Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian 
itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]






[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke