Posisi Harapan

Tahun demi tahun terus berganti, ada harapan yang selalu tersembunyi dibalik 
setiap pergantian waktu. Matahari diatas kepala tetap setia untuk datang 
menghampiri dan bumi yang kita pijak tetap setia untuk tidak berganti arah 
rotasi. Tidak ada yang berubah dari volume air laut, karena alam selalu mampu 
menakar keberadaannya demi kepentingan manusia. Berapa banyak janji yang telah 
diikrarkan manusia untuk berubah, tidak mampu menandingi konsistensi perubahan 
usia. 

"Hati-hati dijalan nak, semoga kamu bisa menjadi orang yang berhasil" , kata 
seorang ibu kepada anaknya disebuah terminal bis antar kota. " Pak kalau pulang 
dari kota jangan lupa bawa oleh-oleh ya" kata seorang anak kepada ayahnya 
disudut lain terminal itu. Terminal bis selalu ramai di kunjungi, tidak hanya 
oleh para penumpang tetapi juga para pedagang. Hidup seperti terminal bis, ada 
yang datang dan ada yang pergi, ada yang menjemput dan ada yang mengantar, 
tidak lebih dari sebuah pemberhentian sementara. Kira-kira apa ukuran 
keberhasilan yang dimaksud si ibu kepada anaknya ? hampir sama dengan jawaban 
sebagian besar orang tua, maka jawabannya adalah sebuah kemapanan, baik dalam 
pengumpulan harta maupun dalam posisi jabatan atau profesi. 

Masih di terminal bis tadi seorang ibu bertemu dengan kawan lamanya, yang 
mungkin telah bertahun-tahun tidak bertemu. " Eh yanti, gimana khabarnya, 
kelihatannya tampak sukses , udah punya anak berapa ?" tanya seorang ibu yang 
berperawakan agak kurus. " Elly ya kok agak kurusan, apa lagi diet ketat nih ? 
hehehe, anakku sekarang sudah dua yang besar jadi dokter dan adiknya sebentar 
lagi jadi sarjana hukum, kalau anakmu gimana Ly ?" tanya ibu yang berdandan 
mirip ibu-ibu pejabat itu. " Anakku sudah tiga tapi cuma pegawai biasa. Yang 
tertua  buka toko kelontong didekat rumah dan yang kedua cuma jadi guru 
madrasah. sedangkan yang terakhir baru naik kelas tiga SMU" jawabnya dengan 
pelan, mungkin agak minder. 

Jika kita bicara jujur , manakah yang lebih membuat kita bangga sebagai orang 
tua , mempunyai anak seorang dokter atau seorang guru ? bukankah berbau sangat 
materi ? tetapi itulah kenyataannya. Pernah saya mengajukan pertanyaan tersebut 
pada seorang ustadz, dan dia tidak menjawab tetapi hanya tersenyum tak mampu 
menipu diri antara sebuah idealisme dan tuntuan materialisme. Loh memangnya 
salah anak kita menjadi dokter bukankah itu pekerjaan mulia ? tentu saja , 
tidak ada pekerjaan yangtidak mulia jika diniatkan karena Allah semata, tetapi 
tentu semua paham dengan maksud pertanyaan tersebut bahwa di balik pilihan 
tersebut ada sebuah ego bersembunyi dengan sangat indah.

Bagaimana kalau kita buat pertanyaan lebih spesifik, pilih taqwa atau kaya ? . 
Seorang teman sempat gerah dengan pertanyaan ini dan mengajukan pertanyaan baru 
sebagai komplain " apa orang taqwa gak boleh kaya atau orang kaya gak ada yang 
bertaqwa ? apakah taqwa itu identik dengan miskin ?" tanyannya dengan nada 
tinggi. saya hanya tersenyum lalu membuat pertanyaan baru yang tidak ada 
hubungannya dengan hal diatas. " Hendra kalau sekiranya kamu dapat uang seratus 
juta , lalu tetanggamu ada yang sakit keras dan butuh dana sebesar seratus juta 
rupiah ,apakah kamu akan berikan dana tersebut " tanya saya dengan nada santai 
. " ya gak semualah, mungkin separohnya kan itu juga udah bagus, bukannya zakat 
cuma dua setengah persen atau anggaplah sepuluh persen , kan tetap lebih besar 
" jawabnya sambil tertawa. Bisa dibayangkan baru sekedar pengandaian kita sudah 
pelit bagaimana jika menjadi kenyataan tentu lebih jauh panggang dari api. 
Sekarang baru kita sadari bahwa sebesar apapun perubahan yang kita inginkan, 
hampir semuanya berasal dari luar ( outer )  sebaliknya hal tersebut tidak 
banyak berpengaruh pada karakter atau sifat pribadi kita. Lalu dimana letak 
keimanan itu ?

Salam

David Sofyan



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke