Lupakan Jasa dan Kebaikan DiriLupakan Jasa dan Kebaikan Diri
K.H. Abdullah Gymnastiar


Semakin kita sering 
menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, apalagi 
menginginkan orang lain tahu akan jasa dan kebaikan diri kita, lalu berharap 
agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya maka semua ini berarti kita 
sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri 
mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.
Ketahuilah bahwa 
semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak 
kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi 
tanpa ijin Allah. Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak 
menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan 
terkecewakan 
karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk. Belum lagi kerugian di 
akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu 
beramal bukan karena Allah.

Selayaknya kita 
menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain, 
sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita 
dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud. Sesungguhnya terpilih 
menjadi 
jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan 
itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat 
ganjarannya.

Jadi, ketika ada 
seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter. Maka, seberulnya 
bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Allah-lah yang 
menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan. Seharusnya dokter sangat 
berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala 
untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Allah baginya. 
Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat 
menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan maka selain memperlihatkan 
kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya 
(seperti yang kita maklumi orang yang tulus dan rendah hati selalu bernilai 
tinggi dan penuh pesona). Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk 
orang yang merugi karena tidak beroleh pahala ganjaran.

Juga, tidak 
selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan, 
mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa 
berhutang budi. Apalagi jika dilakukan secara emosional dan proporsional kepada 
anak-anaknya, karena hal tersebut tidak menolong mengangkat wibawa sang ibu 
bahkan bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesungguhnya sang anak 
sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya 
lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.

Percayalah bahwa 
kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan aeorang ibu/bapak justru akan 
bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik, 
Insya Allah. Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan 
menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.
Seorang guru juga 
harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada murid-muridnya. 
Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik dan tulus. Dan memang 
itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi guru. Karena setiap 
kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang guru akan menjadi 
ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk akhirat. Kita 
boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur 
bukan ujub dan takabur.
Perlu lebih 
hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah 
seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar. Biasanya akan sangat gatal 
untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang 
dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan 
menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.

Andaikata ada 
sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup 
dan bisa jalan dengan baik. Namun ternyata sang supir sama sekali tidak 
berterima kasih. Jangankan membalas jasa, bahkan menengok ke arah kita pun 
tidak 
sama sekali.. andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan 
dengan 
acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir. Maka 
lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin. Dan tentu saja amal pun jadi tidak 
berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap 
balasan dari makhluk.
Seharusnya yang 
kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini 
diijinkan Allah bisa mendorong mobil. Silahkan bayangkan andaikata ada mobil 
yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya, 
niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil. Atau 
diri 
ini sedang sehat perkasa tapi mobil tidak ada yang mogok, lalu kita akan 
mendorong apa?

Takdir mendorong 
mobil adalah investasi besar, yakni kalau dilaksanakan penuh dengan ketulusan 
niscaya Allah yang Maha Melihat akan membalasnya dengan balasan yang 
mengesankan. Bukankah kita tidak tahu kapan kita akan mendapatkan kesulitan di 
perjalanan, maka takdir beramal adalah investasi.
Mari kita 
bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak mungkin dan 
sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah 
melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya.
 Allah 
SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang 
sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang 
yang 
ikhlas menurut Imam Ali adalah senang menyembunyikan amalannya bagai 
menyembunyikan aib-aibnya.

Selamat berbahagia 
bagi siapapun yang paling gemar beramal dan paling cepat melupakan jasa dan 
kebaikan dirinya, percayalah hidup ini akan jauh lebih nikmat, lebih ringan, 
dan 
lebih indah. Insya Allah.***



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke