INDONESIA BUTUH PEMIMPIN BERTAKWA DAN SISTEM YANG BERDASARKAN SYARIAH

[AL-Islam 506] Pada tahun 2010 ini, lebih dari 200 kabupaten/kota di Indonesia 
melaksanakan pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada). Sebagian pihak menilai 
Pilkada hanya menghamburkan uang rakyat dan menyibukkan rakyat dengan perkara 
yang telah terbukti gagal memperbaiki nasib rakyat. Sebagai bagian dari proses 
demokrasi, Pilkada juga melahirkan perilaku tidak terpuji seperti politik uang, 
manipulasi suara hingga bentrok fisik antarpendukung calon. Semua itu akhirnya 
merugikan masyarakat baik secara moral maupun material.

Yang lebih memprihatinkan, calon pemimpin yang diusung dalam Pilkada banyak 
yang menuai pro-kontra di masyarakat, terutama karena mereka dianggap amoral 
(cacat moral).

Terkait dengan kondisi faktual di atas, dalam Kongres Umat Islam Indonesia 
(KUII) V di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta tanggal 7-10 Mei 2010 lalu akhirnya 
mengemuka masalah kepemimpinan. Kongres yang dibuka Presiden SBY dan ditutup 
Wapres Boediono ini menyepakati pentingnya kriteria moralitas dalam penentuan 
seorang pemimpin, baik kepemimpinan pada tingkat lokal, nasional maupun global. 
Ketua Umum MUI KH Sahal Mahfudz menyebut adanya krisis kepemimpinan di Tanah 
Air. Mendagri Gamawan Fauzi juga sempat risau dengan munculnya para calon 
pemimpin yang cacat moral dalam Pilkada di berbagai daerah.

Dalam KUII V itu para ulama dan tokoh ormas Islam menunjukkan tanggung 
jawabnya. Mereka merespon fakta politik kekinian tersebut sekaligus memberikan 
arah yang benar bagaimana umat harus menentukan pilihan-pilihannya. Ini 
terlihat dari poin-poin rekomendasi yang dihasilkan dan inti deklarasi yang 
disampaikan di akhir kongres tersebut, yang antara lain menyatakan:

1) Peserta Kongres Umat Islam memandang pentingnya kepemimpinan umat sebagai 
perwujudan perjuangan menerapkan amar makruf nahi mungar dalam rangka menegakan 
syariah Islam pada seluruh sendi kehidupan bangsa dan negara (Poin 4 Deklarasi 
KUII-V).

2) Mendesak Pemerintah dan pihak terkait untuk membuat regulasi (aturan) 
tentang pengetatan kriteria pimpinan di setiap level yang bersih dari calon 
pemimpin yang cacat moral (amoral). (Poin 3, Rekomendasi C. Politik Kebangsaan).

3) Menghimbau umat Islam untuk memilih calon pemimpin di semua tingkatan yang 
memiliki paradigma, karakter dan visi yang sesuai ajaran Islam (Poin 4, 
Rekomendasi C. Politik Kebangsaan).


Pemimpin Amoral dan Bodoh

Kemunculan para pemimpin amoral seperti pelaku korupsi, mafia pajak, markus 
(mafia kasus) dan perusak lingkungan serta artis-artis cabul yang mencalonkan 
diri dalam Pilkada akhir-akhir ini membuat kita teringat pada hadis Rasulullah 
saw. sebagai berikut:


«إِذَا 
ضُيِّعَتْ 
اْلأَمَانَةُ
 فَانْتَظِرْ 
السَّاعَةَ 
قَالَ كَيْفَ 
إِضَاعَتُهَا
 يَا رَسُولَ 
اللهِ قَالَ 
إِذَا 
أُسْنِدَ 
اْلأَمْرُ 
إِلَى غَيْرِ 
أَهْلِهِ 
فَانْتَظِرْ 
السَّاعَةَ»

"Jika amanah disia-siakan, tunggu saat kehancuranannya!" Para Sahabat bertanya, 
"Ya Rasulullah, apa yang dimaksud menyia-nyiakan amanah itu?" Nabi saw. 
menjawab, "Jika sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah 
saat kehancurannya!" (HR al-Bukhari).

Jelas, orang-orang amoral termasuk para koruptor, mafia dan artis-artis seronok 
ini tidak layak mengatur urusan rakyat yang merupakan hal utama dalam politik. 
Seorang pemimpin politik haruslah memahami segala persoalan masyarakat dan 
solusinya. Dalam Islam, solusi yang diberikan jelas bukan sembarang solusi, 
tetapi solusi yang berdasarkan pada syariah Islam.

Bagaimana artis-artis cabul ini bisa menyelesaikan masalah kehancuran moral 
bangsa, misalnya, sementara mereka sendiri secara moral bermasalah? Bagaimana 
bisa mereka menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, dll; sementara selama 
ini mereka tidak pernah peduli dalam urusan ini? Apalagi jika kita berharap 
bahwa mereka akan menyelesaikan seluruh persoalan masyarakat berdasarkan 
syariah Islam. Bukankah yang mereka bicarakan selama ini hanyalah persoalan 
hiburan, gaya pakaian sensual yang mengundang nafsu, gaya panggung memikat yang 
mengumbar aurat, dll? Bukankah selama ini justru mereka menjadi pelaku maksiat 
yang banyak melanggar syariah Islam? Kalau kepemimpinan politik ini diserahkan 
kepada mereka maka tunggu saja kehancurannya!

Sudah lama umat Islam dipimpin oleh orang-orang yang yang tidak mau berhukum 
pada hukum Allah SWT. Mereka malah berhukum pada hukum-hukum kufur, tunduk 
kepada kaum penjajah kafir dan mengikuti arahan mereka dalam mengatur kehidupan 
masyarakat serta rela diatur oleh alat penjajahannya seperti PBB, IMF dan Bank 
Dunia. Akibatnya, nasib bangsa ini semakin terpuruk. Inilah bukti kehancuran 
itu!

Rasulullah saw. juga bersabda tentang munculnya ruwaibidhah:


«سَيَأْتِي 
عَلَى 
النَّاسِ 
سَنَوَاتٌ 
خَدَّاعَاتُ 
يُصَدَّقُ 
فِيهَا 
الْكَاذِبُ 
وَيُكَذَّبُ 
فِيهَا 
الصَّادِقُ 
وَيُؤْتَمَنُ
 فِيهَا 
الْخَائِنُ 
وَيُخَوَّنُ 
فِيهَا 
اْلأَمِينُ 
وَيَنْطِقُ 
فِيهَا 
الرُّوَيْبِضَةُ
 قِيلَ وَمَا 
الرُّوَيْبِضَةُ
 قَالَ 
الرَّجُلُ 
التَّافِهُ 
فِي أَمْرِ 
الْعَامَّةِ»

"Akan datang kepada manusia pada tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Saat 
itu pendusta dibenarkan, sedangkan orang jujur malah didustakan; pengkhianat 
dipercaya, sedangkan orang yang amanah justru dianggap pengkhianat. Pada saat 
itu Ruwaibidhah berbicara." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?" 
Beliau menjawab, "Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas." 
(HR Ibnu Majah).

Hal ini pun sudah terjadi. Banyak orang bodoh yang memimpin umat. Mereka bodoh 
karena menerapkan sistem/aturan yang bodoh (jahiliah). Mereka bodoh karena 
sudah tahu sistem sekular dan liberal yang mereka terapkan hanya membawa 
kehancuran, namun tetap saja mereka pertahankan. Mereka bodoh karena tidak mau 
tunduk pada kebenaran Islam untuk menerapkan syariah Islam.

Selain bodoh, banyak pemimpin/calon pemimpin terbukti berperilaku penuh 
kepura-puraan dan cenderung menipu. Mereka yang tadinya berpakaian seksi 
tiba-tiba berkerudung saat mencalonkan diri. Mereka yang saat kampanye Pemilu 
mengumbar janji akan memperhatikan rakyat, setelah memimpin malah memiskinkan 
dan menambah derita rakyat. Mereka sering berkoar untuk mempertahankan 
kedaulatan negara, nyatanya merekalah yang menjual negara kepada pihak asing 
dengan menyerahkan begitu saja kekayaan alam milik rakyat melalui program 
privatisasi.

Anehnya, masih saja banyak yang menganggap mereka sebagai orang yang amanah, 
bukan pengkhianat. Sebaliknya, pihak-pihak yang menyerukan syariah Islam yang 
berasal dari Allah SWT demi kebaikan negeri ini justru dituduh mengancam negara.

Akibat Sistem Sekular

Maraknya orang-orang amoral dan bodoh yang mencalonkan diri menjadi pemimpin 
tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi liberal yang diterapkan sekarang 
ini. Inilah yang menjadi pangkal kehancuran sistem politik kita. Dalam sistem 
demokrasi yang berasaskan sekularisme, persoalan agama dianggap persoalan 
pribadi. Dalam sistem seperti ini, syarat-syarat agama tidak dianggap penting, 
bahkan tidak boleh dijadikan ukuran. Masalah moral, serahkan kepada masyarakat. 
Begitu katanya.

Selain itu, atas nama suara rakyat, demokrasi memberikan kebebasan kepada 
saiapapun untuk dipilih menjadi pemimpin. Seperti yang dikatakan Gary Hart, 
calon presiden AS (1988) yang ketahuan selingkuh, "Let the people decide 
(Biarkan rakyat memilih)." Itulah yang menjadi slogan demokrasi.

Umat Jangan Diam!

Oleh karena itu, umat Islam khususnya para ulama perlu berperan aktif untuk 
melakukan nasihat dan koreksi terhadap para pemimpin yang amoral ini. Imam 
al-Ghazali menyatakan, "Dulu di antara tradisi para ulama adalah mengoreksi dan 
menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat. 
Pernyataannya pun membekas di hati. Namun, sekarang terdapat penguasa zalim, 
namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda 
dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat 
itu akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. 
Adapun kerusakan ulama akibat mereka digenggam cinta harta dan jabatan. 
Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai 
kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan para penguasa dan para pembesar." 
(Al-Ghazali, Ihyâ `Ulûmiddîn, VII/92).

Bahkan Rasullullah saw. pernah bersabda, "Siapa saja yang berdoa untuk orang 
zalim agar tetap berkuasa, berarti dia menyukai orang itu bermaksiat kepada 
Allah di bumi-Nya." (HR al-Baihaqi).


Pemimpin Sejati

Kepemimpinan itu ada dua jenis: kepemimpinan umat dan kepemimpinan negara. 
Namun, idealnya pemimpin negara adalah juga pemimpin umat; dia imam di masjid 
sekaligus imam dalam urusan politik sebagaimana Khulafaur Rasyidin dulu. Dengan 
itu keputusan-keputusan politik sang pemimpin selalu dilandasi syariah Islam 
dan demi kepentingan umat.

Sayang, saat ini kedua jenis kepemimpinan itu terpisah. Kepemimpinan umat 
Islam—sebagaimana tergambar dalam hasil/rekomendasi KUII di atas—sesungguhnya 
menghendaki syariah Islam. Namun, kepemimpinan negara sekular saat ini justru 
tidak menghendaki syariah Islam. Mereka cenderung pragmatis-kapitalistik. 
Akibatnya, umat selalu dipinggirkan. Akhirnya, nestapalah nasib rakyat!

Di sinilah pentingnya umat ini mengusung kepemimpinan yang sejati. Kepemimpinan 
sejati ini mensyarakatkan dua hal: kebaikan sosok pemimpin dan kebaikan sistem 
kepemimpinannya. Sosok pemimpin yang baik tentu saja adalah yang bertakwa 
kepada Allah SWT dan sistem kepemimpinan yang baik hanyalah yang berdasarkan 
syariah-Nya. Kepemimpinan yang bertakwa dan berlandaskan syariah Islam pasti 
akan membukakan pintu keberkahan Allah SWT dari langit dan bumi (QS al-A'raf 
[7]: 96). Sebaliknya, jika mereka menyimpang dari aturan Allah SWT, mereka 
pasti akan ditimpa kesempitan hidup (QS Thaha [20]: 123-126).

Pemimpin yang bertakwa tentu harus berkepribadian islami (imamul muttaqin) yang 
jauh dari sifat-sifat amoral. Tindakan amoral tentu tidak hanya terbatas 
tindakan pamer aurat, tetapi juga menipu dan mengkhianati rakyat, koruptif, 
nepotis, makelar penggadai sumber daya alam milik rakyat, perusak hutan, dll.

Dalam sistem Islam, yakni Khilafah Islamiyah, pemimpin yang bertakwa akan 
menjadi penggembala, pembela dan benteng (junnah) bagi seluruh rakyat yang 
dipimpinnya; dia akan mengurusi urusan rakyat (ri'ayah) dengan penuh amanah dan 
berlandaskan syariah. Dengan itu, terwujudnya kesejahteraan rakyat adalah 
niscaya; terjaganya harta, jiwa dan kehormatan rakyat adalah juga hal yang 
nyata.

Wallâhu a'lam bis ash-hawâb. []

Kirim email ke