salam. berikut ini ada sebuah pencerahan yg dapat menambah wawasan pemikiran 
Islam kita. selamat membaca!
 

BERTEMU dan berdialog dengan Prof. Dr. Afif
Muhammad, M.A., guru besar pemikiran Islam dari Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung, selalu menyenangkan. Sosoknya tak pernah pelit dengan
ilmu yang dimilikinya. Kita dibawa pada cakrawala Islam yang sangat luas,
powerfull, dan menyediakan jawaban untuk setiap persoalan kehidupan manusia.
Akan tetapi, pembicaraan kemudian menukik pada satu pertanyaan besar,
"Kenapa Islam di Indonesia ’hanya’ seperti sekarang?"



Islam di Indonesia saat ini belum bisa
memberikan jawaban konkret pada korupsi yang akut, angka kemiskinan yang terus
bertambah, dan sebagainya. Pak Afif, demikian ia biasa disapa, merasa gelisah.
Sebagai intelektual, ia ditantang untuk memberikan solusi pada realitas yang
menyesakkan dada itu.



Setelah tuntas mengemban tugas sebagai
direktur Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, dalam status Facebook-nya ia
menuliskan profesi sebagai marbot Masjid Al-Huda. Namanya pun menjadi
"Afif Marbot". Statusnya cukup banyak peminat, misalnya ketika ia
melempar kegelisahan tentang kenaikan gaji guru dan dosen serta banyaknya 
beasiswa
yang tidak berdampak pada mutu pendidikan.



Menurut dia, sewaktu ia kuliah, jarang sekali
dosen yang berkualifikasi doktor dan profesor, tetapi kualitas pendidikan saat
itu dianggap bagus. Komitmen dosen untuk mengajar mahasiswa sangat kuat.
Keinginan mereka untuk membuat anak didiknya lebih pintar itu bisa dirasakan.
"Nah, sekarang, ketika terdapat lebih banyak doktor dan profesor, kok ya
segitu-gitu saja," tuturnya dengan nada gusar.



Pak Afif sedih karena gelar akademik dikejar
sekadar untuk menaikkan uang tunjangan, bukan demi mutu pendidikan itu sendiri.
Bagi penerjemah yang dulu sangat produktif ini, keinginan menaikkan kuantitas
pengajar dengan kualifikasi tertentu seharusnya jangan sampai mengabaikan
kualitas.

Ketimpangan ini bermuara pada persoalan
budaya yang akut, yakni budaya kerja yang lemah. Ada aturan, misalnya soal
kedisiplinan, tetapi tidak dijalankan. Lalu ada "sesuatu" yang
hilang, yaitu komitmen guru atau dosen untuk mengajar dengan baik juga komitmen
siswa dan mahasiswa untuk belajar dengan baik. Padahal, setidaknya komitmen
itu, sebagai bentuk untuk tanggung jawab pada diri sendiri, harus tetap dijaga.



Tak pelak, lemparan kegelisahan itu menjadi
semacam autokritik bagi dunia pendidikan yang digelutinya. Tanggapan pun
berdatangan.



"Dulu kita bersuara lantang bahwa
kualitas pendidikan yang rendah disebabkan oleh kesejahteraan guru/dosen yang
rendah. Nah, apakah sesudah kesejahteraan itu ditingkatkan ada kemajuan?"
ujarnya.



Ia mengakui bahwa peningkatan kualitas tidak
bisa serta merta, tetapi komitmen untuk berbuat yang terbaik itu harus tetap
dijaga. Paling tidak guru/dosen menjadi lebih rajin, itu sudah dianggapnya
bagus.


Lalu, apa solusinya? Pembicara di berbagai
seminar keislaman itu menekankan pada harus adanya budaya baru. "Budaya
baru hanya bisa lahir dari sebuah ideologi. Oleh karena itu, saya menawarkan
ideologi aktivis-positivistik," tuturnya.



Aktivis, agar dapat mejawab berbagai
tantangan, tetapi positivistik agar tetap menjaga rambu-rambu moralitas. Yang
menarik, ideologi yang bisa melahirkan budaya kerja yang lebih produktif itu,
menurut dia, bisa muncul dari penafsiran baru pada mazhab pemikiran muktazilah.


Berikut ini petikan wawancara bersamanya
mengenai aliran muktazilah.


Mengapa Anda tertarik pada aliran muktazilah?

Muktazilah adalah mazhab pemikiran yang
sangat berjasa pada peradaban Islam, tetapi kurang mendapatkan pendukung. Di
Indonesia, setelah Prof. Harun Nasution wafat, hampir tidak ada yang berbicara
tentang aliran tersebut. Sementara aliran lain seperti suni, salafi, syiah,
banyak pendukungnya.


Apa urgensinya membicarakan muktazilah?

Aliran ini memberikan andil besar terhadap
pemikiran yang rasional, suatu pemikiran yang tanpa sadar telah banyak menjadi
bagian dari kehidupan kita. Mazhab pemikiran ini telah mendorong tumbuhnya
kajian sains dalam peradaban Islam yang melahirkan banyak tokoh seperti Ibnu
Sina dan Ibnu Rusyd. Kalau sekarang kita menyebut bahwa sunnatullah itu hukum
alam, itu adalah buah pemikiran muktazilah. Aliran ini bisa menjadi "lawan"
tangguh bagi pemikiran barat yang sekular.


Apa yang akan Anda lakukan?

Saya ingin menyegarkan kembali pemikiran
muktazilah itu, mengapresiasi, dan memberikan penafsiran baru. Muktazilah ini
suatu mazhab kolektif, gabungan dari berbagai pemikiran. Memang secara singkat
selalu dikaitkan dengan Washil bin Atha, padahal beliau ini hanya salah satu
tokoh yang menerapkan mazhab muktazilah.


Apa sebenarnya yang "ditakuti" dari
muktazilah?

Lebih pada soal takwil, mendahulukan akal
pikiran dibandingkan dengan wahyu. Pada bagian ini yang nantinya akan saya
berikan interpretasi baru. Mazhab ini tetap dalam koridor Islam kok, tidak
seperti filsafat yang bisa "liar" sampai menihilkan Tuhan. Imam
Al-Ghazali masih menganggap kaum muktazili adalah saudaranya, sedangkan ahli
filsafat ia anggap telah terpeleset.


Apakah pemikiran ala muktazilah ini bisa
aplikatif untuk kondisi sekarang?

Sangat aplikatif. Ketika diri kita atau
perusahaan kita mengalami kegagalan, pasti akan mencari penyebabnya lalu
berusaha menemukan jalan keluarnya. Kita akan berpikir rasional dan mencari
solusi, itulah sikap muktazili. Kondisi bangsa Indonesia saat ini sangat
membutuhkan pemikiran-pemikiran yang rasional. Pemikiran muktazilah
mengakomodasi kebutuhan tersebut.


Bisa juga menjawab kegelisahan pada kondisi
Islam di Indonesia sekarang ya?

Ya, itu yang saya harapkan. Kalau agama tidak
bisa memberikan jawaban konkret pada realitas kehidupan, maka jangan kaget
kalau pada akhirnya agama itu sendiri yang akan dipertanyakan keberadaannya.



Apa yang Anda siapkan untuk
"menyegarkan" kembali mazhab muktazilah ini?

Saya sedang menyiapkan sebuah buku tentang
muktazilah dengan pendekatan sosial. Agar lebih aplikatif, di dalamnya saya
tidak membahas lagi tipologi dan pemetaan. Mudah-mudahan bisa segera
diterbitkan.


Boleh tahu judulnya?

Muktazilah dan Neo Muktazilah. (Iip D.
Yahya)***


http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=154352



www.ahmadsahidin.wordpress.com



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke