Kembali kepada Agama, Solusi Problematika Umat

Wahai saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah Subhanahu wata’ala, sudah 
sepatutnya kita banyak bersyukur kepada Allah, atas limpahan rahmat dan 
lindungan-Nya yang dianugerahkan kepada agama ini. Sehingga sampai hari ini, 
Allah masih menjaganya dari berbagai makar musuh-musuh Islam, yang ingin 
memadamkan cahaya agama-Nya.

Namun jangan lupa bahwa tidak ada yang bisa menjamin diri kita selamat dari 
fitnah dalam menempuh sirathal mustaqim ini, kecuali dengan mempelajari ilmu 
agama dan mengamalkannya. Fitnah penyimpangan dari jalan yang lurus ini 
merupakan gejala yang amat berbahaya. Sehingga bisa merusak sendi-sendi 
kehidupan manusia itu sendiri. Akibatnya manusia jauh dari kebenaran dan 
menganggap, bahwa jalan kembali kepada Dien ini hanya akan menghambat laju 
perkembangan modernisasi (baca : tidak sesuai dengan perkembangan zaman). 
Na’udzubillah. Model opini seperti inilah yang akan mengakibatkan lemahnya kaum 
muslimin di hadapan musuh-musuh mereka sehingga barisan mereka tercerai-berai.

Telah diriwayatkan dalam hadits shohih bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi 
wasallam bersabda : “Sebentar lagi akan muncul umat-umat yang berkerumun 
(memperebutkan) kalian seperti berkerumunnya orang-orang yang makan pada 
piringnya. Maka seseorang bertanya : “Apakah karena kami sedikit pada waktu 
itu? Rasulullah menjawab : “Bahkan jumlah kalian banyak, akan tetapi kalian 
seperti buih ombak di lautan. Dan sungguh-sungguh Allah akan mencabut rasa 
gentar di hati musuh-musuh kalian, kemudian Allah benar-benar akan melemparkan 
wahn ke dalam hati-hati kalian,” Maka seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, 
apakah wahn itu?” Rasulullah menjawab : “Cinta dunia dan benci pada kematian.” 
(Dishohihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Ash shahihah 958).

Riwayat ini menceritakan keadaan umat Islam yang memprihatinkan sepeninggal 
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Bukti kebenaran hadits ini semakin 
jelas, sejak munculnya fitnah besar. Yaitu sejak terbunuhnya khalifah Utsman 
bin ‘Affan radliyallahu’anhu, yang menyebabkan terpecahnya kalimat persatuan 
pada kaum muslimin dan tercerai-berainya barisan mereka. Sehingga kaum muslimin 
digambarkan bagai buih di lautan, diombang-ambing kesana kemari dan tidak 
memiliki kewibawaan lagi dihadapan musuh-musuh Islam. Dewasa ini percikan 
fitnah yang dahsyat itupun telah menimpa hati-hati kaum muslimin.

Dalam hadits di atas, Rasulullah juga memberikan gambaran tentang keadaan umat 
ini setelah Beliau wafat. Yaitu kabar kelemahan dan keterpurukan umat ini 
dihadapan musuh-musuh dikarenakan penyakit wahn yang melanda mereka. Penyakit 
ini jelas tidak dapat diobati Kecuali dengan kembalinya umat ini kepada 
pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, melalui bimbingan para 
ulama yang mengikuti jejak salafush sholeh (para pendahulu yang sholih).

Maka upaya untuk mengembalikan ‘izzah (kemuliaan kaum muslimin) adalah dengan 
mempelajari ilmu agama ini dan mengamalkannya. Sehingga umat ini dapat kembali 
kepada Dien dan terlepas dari berbagai macam problematika yang melanda.

Al Allamah Al Muhaqqiq Asy Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi Al Yamani 
mengatakan : “Telah banyak orang yang berilmu tentang Islam menetapkan, bahwa 
setiap kelemahan dan kehinaan serta berbagai bentuk kemunduran lainnya yang 
menimpa kaum muslimin ini, hanya dikarenakan jauhnya mereka dari pemahaman 
Islam yang benar. Saya berpendapat bahwa (seluruhnya itu) kembali kepada tiga 
perkara :

1. Tercampurnya perkara yang tidak termasuk Dien dengan perkara Dien.

2. Lemahnya keyakinan terhadap perkara Dien.

3. Tidak mau beramal dengan hukum-hukum Dien 

Oleh sebab itu, berilmu tentang adab-adab Nabawiyah As-Shahihah di dalam 
perkara ibadah dan mu’amalah –seperti mukim (bertempat tinggal), safar, 
bergaul, bersatu, bergerak, diam, bangun, tidur, makan, minum, berbicara, dan 
perkara-perkara lain yang terdapat pada manusia ketika hidupnya, dan beramal 
sesuai dengan kemampuan- adalah satu-satunya obat bagi problem itu. 
Sesungguhnya perkara-perkara adab tersebut adalah perkara yang mudah bagi jiwa. 
Maka apabila manusia beramal dengan perkara-perkara mudah dari adab-adab 
tersebut dan meninggalkan perkara yang menyelisihinya, Insya Allah dia 
senantiasa mempunyai keinginan untuk menambah amalannya.

Akhirnya, tidak ada sedetik pun waktunya kecuali akan menjadi tauladan yang 
baik bagi orang lain dalam perkara itu. Dia mengambil petunjuk yang lurus dan 
berperilaku dengan akhlak yang agung. Hati akan bercahaya dan dada akan lapang, 
jiwa akan tenang, keyakinan akan kokoh, dan amal akan menjadi baik. Apabila 
telah banyak orang yang berjalan di atas jalan ini, maka segala problematika 
itu, insya Allah akan sirna. (Muqaddimah Fadlullahis Shamad 1/17)

Asy Syaikh Al Albani rahimahullah menjelaskan bahwa jalan satu-satunya untuk 
terlepas dari keadaan muslimin yang menyedihkan ini adalah dengan kembali 
kepada Dien yang metodenya adalah dengan At Tashfiyah wat Tarbiyah (pembersihan 
pemikiran dan pendidikan). Beliau mengatakan : “Agar kita dapat memberikan 
dalil yang menunjukkan benarnya pendapat yang kita pegangi dalam manhaj (jalan) 
ini (yaitu) kita kembali kepada kitab Allah Al karim. Didalamnya ada satu ayat 
yang menunjukkan kesalahan orang-orang yang menyelisihi kita pada perkara yang 
sudah kita yakini, yaitu bahwa Al Bidayah (langkah pertama untuk kembali kepada 
Dien) adalah dengan melakukan At Tashfiyah dan At Tarbiyah.” Allah Ta’ala 
berfirman :

“Jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolong kamu.” (Muhammad : 7).

Inilah ayat yang dimaksudkan. Di sini para mufassirin (Ahli Tafsir) menerangkan 
bahwa makna Nashrullah (menolong Allah) adalah beramal dengan hukum-hukum Allah 
Subhanahu wata’ala. Allah Ta’ala berfirman :

"(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat". (Al 
Baqarah : 3) (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/293)

Maka, apabila pertolongan Allah tidak akan turun kecuali dengan menegakkan 
hukum-hukum-Nya, bagaimana kita dapat masuk ke dalam jihad. Yakni perang di 
medan tempur yang kita berharap pertolongan Allah turun di sana. Sedangkan kita 
tidak menolong Allah sesuai dengan yang telah disepakati oleh mufassirin. 
Bagaimana kita akan berjihad sedang akidah kita bobrok? Bagaimana kita bisa 
mendapat pertolongan dalam berjihad sedang akhlak kita rusak?

Jadi, sebelum berjihad hendaklah kita berusaha untuk membekali diri dengan ilmu 
terlebih dahulu. Sehingga dengan demikian kita dapat menegakkan hukum-hukum 
Allah yang bisa menyebabkan turunnya pertolongan Allah. Sesungguhnya saya 
mengetahui bahwa manhaj (jalan) kita dalam melakukan Tashfiyah dan Tarbiyah 
tidak luput dari pertentangan. Ada orang yang mengatakan : “Sesungguhnya 
perkara Tashfiyah dan Tarbiyah membutuhkan masa panjang !” Akan tetapi saya 
(Syaikh) katakan, bukan itu yang penting dalam perkara ini. Yang penting bahwa 
kita memulai dengan mengenal dien kita dan setelah itu, tidak menjadi soal 
apakah jalannya akan panjang atau pendek. Sesungguhnya perkataanku ini saya 
hadapkan kepada para da’i muslimin, para ulama dan para pembimbing. Saya 
mengajak mereka agar berjalan di atas ilmu yang sempurna tentang Islam yang 
shahih dari berbagai penyimpangan. Agar mereka dapat memerangi berbagai macam 
kelalaian dan kelengahan serta berbagai
 perselisihan dan pertentangan. Allah Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu berselisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang 
kekuatanmu.” (Al Anfal : 46)

Apabila kita telah menghilangkan perselisihan dan kelalaian ini, dan kita telah 
menempati Shahwah Islamiyah (Kemajuan Islam) yang bersatu dan bersepakat, 
berarti kita mulai mengarah untuk merealisasikan kekuatan materi. (Allah 
berfirman) :

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi 
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (dengan persiapan itu) kamu 
menggentarkan musuh Allah.” (Al Anfal : 60)

Merealisasikan kekuatan materi adalah suatu perkara yang harus dilaksanakan 
misalnya dengan membangun perekonomian yang baik dan lainnya. Tetapi sebelum 
itu semua, haruslah kembali kepada Dien yang benar, suluk (akhlak) dan seluruh 
perkara yang berkaitan dengan syari’at dengan meneladani Rasulullah 
Shallallahu’alaihi wa sallam. Oleh karena itu, saya ulangi kembali perkataanku 
: “Tidak ada jalan untuk terlepas dari kenyataan yang menyedihkan yang menimpa 
umat ini melainkan (kembali) kepada Al Kitab dan As Sunnah, dan melakukan At 
Tashfiyah wa Tarbiyah dalam rangka kembali kepada keduanya. Untuk itu kita 
dituntut untuk mengetahui ilmu hadits yang dapat membedakan antara yang shohih 
dan yang dhoif, agar kita tidak membangun hukum-hukum yang salah, sebagaimana 
yang telah terjadi di kalangan muslimin akibat banyaknya mereka berpegang 
kepada hadits dhaif (lemah)....(Hayatul Al Albani wa Aatsaruhu 1/389-391 karya 
Ibrahim As Syaibani).

Beliau (Asy Syaikh Al Albani) rahimahullah menyatakan lagi : “……Dan saya 
memandang bahwa problematika (keterpurukan dan kelemahan kaum muslimin di 
segala bidang) semacam ini, telah disebutkan dan digambarkan oleh Rasulullah 
dalam sebagian hadits-hadits shohih darinya. Dan beliau shallallahu’alaihi 
wasallam menjelaskan jalan keluar sekaligus obat penawar (terhadap segala 
problem yang dihadapi umat Islam tersebut). Diantara hadits-hadits itu adalah 
sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang berbunyi :

“Apabila kalian telah melakukan jual beli dengan sistim ‘iinah. Dan kalian 
telah mengambil ekor-ekor sapi. Juga kalian ridha dengan sawah ladang kalian 
serta kalian meninggalkan jihad. Maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada 
kalian. Dan tidak akan dicabut kehinaan tersebut hingga kalian kembali kepada 
agama kalian.” (Ash Shahihah 11)

Kami mendapati dalam hadits ini adanya penyebutan penyakit yang melanda kaum 
muslimin. Maka Rasulullah menyebutkan dua macam penyakit tersebut sebagai 
contoh -bukan suatu pembatasan- (sebagai berikut) :

1. Sebagian besar umat islam terperosok dalam perkara-perkara yang diharamkan 
dengan melakukan tipu daya (muslihat) sedangkan mereka mengetahuinya. Hal ini 
terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam : (Apabila kalian 
telah melakukan jual beli dengan sistim ‘iinah). Maka (defenisi) ‘iinah 
–sebagaimana yang dikenal di dalam kitab-kitab fiqih- adalah : satu sistim jual 
beli yang diisyaratkan oleh hadits ini tentang keharamannya. Walaupun sebagian 
ulama- terlebih lagi selain mereka- membolehkan sistim jual beli ini. 
Gambarannya seperti ; Seorang membeli sebuah barang dari penjual, misalkan 
sebuah mobil; dia membelinya dengan harga yang dibayar secara angsuran dan 
dengan tempo yang ditentukan. Kemudian pembeli ini kembali menjual mobil 
tersebut kepada penjual pertama tadi dengan harga yang lebih kecil dari harga 
yang dia beli sebelumnya. Namun dia menjualnya dengan harga kontan. Kemudian 
penjual pertama tadi –yang bertukar menjadi
 pembeli sekarang- membayar harga tersebut kontan dengan nilai nominal yang 
lebih kecil dari transaksi pembelian yang pertama secara angsuran dan hutang. 
Misalkan ; mobil ini dibeli dengan harga 10 ribu lira secara berkala 
(pembayarannya). Lalu pembeli menjualnya kembali dengan harga 8 ribu secara 
tunai kepada penjual yang pertama tadi. Maka (penjual pertama tersebut) 
memiliki hutang sebesar 2 ribu. (pembeli tadi mendapat dua keuntungan, pertama 
mobil miliknya kembali seperti semula dan mendapatkan tambahan sebesar 2 ribu, 
pent)

Maka tambahan ini (kata syaikh) adalah riba. Dan wajib atas setiap muslim –yang 
mendengar ayat-ayat Allah Azza wa Jalla dan hadits-hadits Nabi 
shallallahu’alaihi wasallam yang menerangkan tentang haramnya riba- agar jangan 
menganggap halal jenis jual beli seperti ini selama di sana masih ada bentuk 
tambahan yang harus dibayar. Karena tambahan ini adalah riba yang nampak jelas. 
Akan tetapi sebagian manusia memandang kebolehan perkara tersebut. Karena 
(menurut mereka) perkara tersebut diletakkan dalam bab jual beli. Dan mereka 
berdalilkan dengan keumuman (nash-nash) yang menunjukkan bolehnya jual beli 
seperti itu. Seperti ayat yang telah dikenal :

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al Baqarah : 275), 
mereka mengatakan : “ini kan (namanya) jual beli, maka tidak apa-apa adanya 
penambahan atau pengurangan!”

Kemudian beliau melanjutkan : “Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam 
adalah sebagai pemberi keterangan bagi manusia, sebagaimana firman Rabb kita 
Tabaraka wata’ala :

“Dan kami telah menurunkan pemberi peringatan, agar menjelaskan kepada manusia 
apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An Nahl : 44)

Demikian pula Rasulullah digambarkan oleh Rabb kita Tabaraka wata’ala dengan 
firman-Nya :

“…..dengan kaum mukminin dia adalah penyantun dan penyayang. “ (At Taubah : 
128). Maka diantara kelembutan dan kasih sayang beliau shallallahu’alaihi 
wasallam kepada kita, beliau memperingatkan tentang tipu daya syetan terhadap 
anak adam. Dan memperingatkan kita agar jangan terperosok ke dalam 
jeratan-jeratannya, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak hadits.

Kemudian lanjut beliau : “Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu’alaihi 
wasallam menasehati kita di dalam hadits tersebut agar tidak terjerumus di 
dalam tipu muslihat ini, yaitu menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Maka 
yang demikian itu lebih berbahaya daripada seorang muslim yang terjatuh dalam 
keharaman dalam keadaan dia mengetahui keharamannya. Dan masih diharapkan suatu 
hari dirinya akan kembali bertaubat kepada Rabbnya. Karena dia berada di atas 
pengetahuan bahwa apa yang dia lakukan itu adalah haram.”

2. Sabda Rasulullah : (Dan kalian mengambil ekor-ekor sapi dan ridha kepada 
sawah ladang kalian), maksudnya ; Kalian sibuk mencari harta dunia dan mencari 
rezeki dengan alasan bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengais 
rezeki. Maka kaum muslimin berlebihan-lebihan dalam hal itu dan melalaikan diri 
mereka dari apa yang Allah perintahkan kepada mereka berupa 
kewajiban-kewajiban. Dan mereka melupakan diri mereka dengan menggarap sawah 
dan ladang mereka dan yang semisalnya dari berbagai jenis mata pencaharian. 
Mereka lupa diri atas apa-apa yang Allah wajibkan. Dan Beliau 
shallallahu’alaihi wasallam memberikan contoh (kewajiban tersebut) yang 
dilalaikan adalah seperti jihad fi sabilillah. (Dan masih banyak lagi 
kewajiban-kewajiban yang dilalaikan oleh sebagian besar kaum muslimin 
disebabkan terlalu berlebihan dalam mencari penghidupan di dunia ini, pent).

Lalu beliau (Syaikh) katakan : “(Bahwa) hadits di atas merupakan tanda-tanda 
kenabian sebagaimana yang kalian lihat. Dan sungguh kehinaan tersebut telah 
menimpa kita, seperti yang dapat disaksikan. Maka (sudah saatnya) wajib bagi 
kita untuk mengambil obat penawar dari hadits ini setelah digambarkan tentang 
penyakit yang menimpa (umat) dan dan apa saja yang ditimbulkan dari penyakit 
ini berupa kehinaan. Dan sungguh kita telah digerogoti oleh penyakit-penyakit 
tersebut sehingga menghantarkan kita kepada kondisi yang lemah. Oleh karena itu 
wajib bagi kita untuk merealisasikan resep obat penyembuh yang telah 
diwasiatkan oleh Rasulullah, dimana Beliau shallallahu’alaihi wasallam 
menjelaskan bahwa apabila kita kembali kepada agama Allah, maka Allah Azza wa 
Jalla akan mengangkat kehinaan tersebut dari kita.” (At Tashfiyah wat Tarbiyah 
karya Asy Syakh Muhammad Nashiruddin Al Albani hal 6-11, cet Maktabah Islamiyah)

Dengan adanya beberapa keterangan di atas, maka kita mengetahui dengan yakin 
bahwa cara yang benar untuk keluar dari berbagai macam cobaan dan problem yang 
menimpa kaum muslimin adalah kembali kepada Dien dengan mengikuti Dakwah 
Salafush Sholih yang mengajak kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah di atas 
pemahaman shahabat ridlwanullahu ‘alaihim ajma’in.

Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar mengokohkan pijakan kaki kita di atas 
agama ini dan menganugerahkan kepada kita keistiqomahan dalam menjalani agama 
ini, serta semoga Allah menganugerahkan kembali ‘izzah kaum muslimin di hadapan 
musuh-musuh-Nya. Wallahul Muwafiq ilaa sawaais sabil

Sumber: www.darussalaf.or.id


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke