Assalamu'alaikum wr wb,
Terlepas dengan adanya perbedaan, selama selisih masih 1 hari (bukan 2 hari 
atau lebih) masih bisa dimaklumi karena semua memiliki dalil masing2. Meski 
demikian ukhuwah Islamiyyah harus dijaga dan jangan bercerai-berai agar ummat 
Islam tidak menjadi lemah.

Perbedaan hari raya Idul Fitri yang terjadi selama ini sehingga ada yang 
merayakan di hari Jum’at dan ada yang di hari Sabtu (beda 28 jam) tak lepas 
dari perbedaan sistem penghitungan hari raya. Sebagai contoh, Arab Saudi dan 
negara-negara Arab yang kiblatnya adalah Ka’bah di Mekkah dan juga Malaysia 
serta Jepang hari Selasa ini sudah merayakan Hari Raya Idul Fitri pada tanggal 
30 Agustus 2011. Sementara Indonesia baru merayakannya hari Rabu tanggal 31 
Agustus 2011.

Ada yang memakai Hisab dengan perhitungan astronomi yang rumit, ada pula yang 
memakai Ru’yah atau melihat bulan / hilal. Jika bulan terlihat, itulah saat 
mulai berpuasa atau berbuka puasa (idul Fitri).



Dari hadits Nabi, yang dipakai sebenarnya adalah melihat bulan. Ummat zaman 
Nabi bukanlah astronomer atau ahli Falaq yang canggih. Mereka sederhana saja. 
Melihat bulan langsung.

”Dari Amir Mekkah, Al Harits Ibnu Hatib. Dia berkata, „Rasulullah SAW telah 
memerintahkan kami supaya puasa dengan melihat bulan. Jika kami tidak dapat 
melihat bulan itu, supaya kami puasa dengan kesaksian dua orang yang adil (yang 
melihat bulan).” (Riwayat Abu Daud dan Daruqutni).

Ada pun yang memakai sistem Hisab berpendapat mereka melihat bulan dengan 
memakai ilmu. Pegangan ummat Islam adalah Al Qur’an dan Hadits, jadi silahkan 
pilih mana yang mengikuti hadits dan mana yang berdasarkan pikiran sendiri. 
Hisab bisa dipakai sebagai alat bantu.

Ada pun sistem Ru’yah atau melihat bulan/hilal terbagi dua, Ru’yah Lokal dan 
Ru’yah Global.

Pada Ru’yah Lokal, tiap penduduk melihat bulan sendiri-sendiri, sehingga tiap 
kota atau tiap negara merayakan hari Idul Fitri sendiri-sendiri bisa berbeda 
satu negara dengan negara yang lain bahkan satu kota dengan kota yang lain. 
Mereka mengambil hadits gharib (asing yang diriwayatkan oleh hanya 1 orang) 
dari Kuraib. yang mengatakan bahwa dia dikirim oleh Ummul Fadli ke Syam 
(Damaskus) dan melihat bulan (awal Ramadan) pada malam Jum’at. Dia kembali ke 
Madinah pada akhir Ramadan. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka harus melihat 
bulan (Ru’yah 1 Syawal) karena Ru’yah penduduk Syam (1ramadan) tidak cukup bagi 
penduduk Madinah begitu yang dikatakan Nabi.

Ada pun yang memakai Ru’yah Global begitu ada minimal 2 orang saksi yang 
dipercaya melihat bulan, maka itulah awal Ramadhan atau awal Syawal. Haditsnya 
adalah sebagai berikut:

Ibnu Umar telah melihat bulan. Maka diberitahukannya hal itu kepada Rasulullah 
SAW. Lalu Rasulullah SAW berpuasa dan beliau menyuruh orang-orang agar berpuasa 
pula” (Riwayat Abu Daud)

“Dari Amir Mekkah, Al Harits Ibnu Hatib. Dia berkata, Rasulullah SAW telah 
memerintahkan kami supaya puasa dengan melihat bulan. Jika kami tidak dapat 
melihat bulan itu, supaya kami puasa dengan kesaksian dua orang yang adil (yang 
melihat bulan).” (Riwayat Abu Daud dan Daruqutni).

Berpuasalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadan) dan berbukalah kamu 
sewaktu melihat bulan (di bulan Syawal). Maka jika ada yang menghalangi 
(mendung) sehingga bulan tidak kelihatan, hendaklah kamu sempurnakan bulan 
Sya’ban tiga puluh hari.” (Bukhari)

Jadi jangankan jika ada penduduk 1 negara berhari raya Idul Fitri, ada 2 orang 
saksi yang adil saja mereka juga turut merayakan Idul Fitri. Menurut paham 
Ru’yah Global tidak wajar jika ada penduduk 1 negara sudah merayakan hari raya 
Idul Fitri sementara yang lain masih berpuasa.

“Abu Said Al Khudri ra berkata: “Bahwasanya Rasulullah SAW melarang puasa dua 
hari, yaitu pada hari raya Idul Fitri dan Hari raya Idul Adha”(Bukhari-Muslim).

Di hadits yang lain ditambahkan bahwa barang siapa puasa pada Idul Fitri/Idul 
Adha berarti dia telah mendurhakai Nabi.

Dalam Ibadah Islam dikenal Miqat Makani (Tempat) dan Miqat ZAMANI (Waktu). 
Puasa pada hari Raya itu HARAM. Begitu pula saat Wuquf di Arafah (9 
Dzulhijjah), harusnya di tempat lain orang-orang disunnahkan berpuasa. Jadi 
kalau dia berpuasa di tanggal 10 Dzulhijjah waktu Arafah, puasanya tidak sah. 
Oleh sebab itu penentuan tanggal tidak boleh asal-asalan.

Ada baiknya pemerintah Indonesia mengirim sebagian ulamanya untuk melihat 
Ru’yah di Mekkah. Bukan cuma dari Sabang sampai Merauke. Ka’bah adalah kiblat 
kita. Harusnya waktu Mekkah juga bisa jadi Kiblat penentuan tanggal Hijriyah di 
Indonesia. Meski waktunya tetap beda 4 jam, tapi tidak sampai 28 jam.

Umumnya Tim Ru’yah di Indonesia gagal melihat Hilal (bulan muda) karena memang 
langit berawan sehingga bulan muda sering tertutup awan. Selain itu Jawa yang 
merupakan pulau terpadat di dunia begitu terang oleh cahaya lampu-lampu gedung 
dan rumah-rumah sehingga langit juga terlihat lebih terang termasuk di Boscha. 
Akibatnya sinar-sinar bintang dan bulan terganggu dan terlihat kecil dan redup. 
Di Arab sebaliknya. Langit tidak berawan. Dengan luas darat yang lebih besar 
daripada Indonesia (2,4 juta km2) sementara jumlah penduduk cuma 1/5 pulau 
Jawa, banyak daerah tak bertuan yang tidak berlampu. Sehingga langit begitu 
hitam kelam, sementara bintang-bintang dan bulan jadi tampak lebih besar 
(sekitar 4-6x lipat daripada di Indonesia) dan lebih terang. Oleh karena itu, 
Hilal lebih mudah terlihat di sana.

Tak heran dengan langit yang cerah, banyak bintang-bintang dan rasi bintang 
yang namanya berasal dari Arab karena bangsa Arab yang melihat dan menemukannya:

http://id.wikipedia.org/wiki/Penamaan_bintang

Coba lihat nama-nama bintang seperti Aldebaran, Altair, Alphard, Betelgeuse, 
Deneb, Vega, dsb berasal dari bahasa Arab:

http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Arabic_star_names

Jadi sulit bagi astronom Indonesia mengungguli astronom Arab mengingat kondisi 
langitnya beda sehingga untuk ukuran dunia saja bangsa Arab jauh lebih unggul.

Ada juga yang berhari raya Idul Fitri mengikuti Pemerintah. Sudahlah, daripada 
ribut-ribut dan beda-beda, ikuti saja pemerintah. Kalau dosa juga kan yang 
menanggung pemerintah. Dalilnya adalah ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita 
agar mentaati ”Ulil Amri”

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan 
ulil amri di antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, 
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu 
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih 
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An Nisaa’:59]

Yang lain menafsirkan bahwa yang pertama ditaati adalah Allah, kemudian 
Rasulnya. Setelah itu baru mentaati Ulil Amri dengan syarat Ulil Amri tersebut 
mentaati perintah Allah dan Rasul. Apalagi di depan kata Ulil Amri tidak 
ditambahkan kata ”Athi’u” (taatilah). Jika tidak, tidak wajib bagi Muslim 
mengikutinya. Jika mengikuti malah bisa tersesat:

”Dan mereka berkata;:”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati 
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari 
jalan (yang benar).” [Al Ahzab:67]

Jadi begitu ada yang mengaku telah melihat bulan, apalagi satu negara telah 
beridul Fitri, mereka segera mengikutinya.

Paham Ru’yah Global juga menyatakan bahwa ummat Islam itu satu dan tidak 
terpecah-belah jadi banyak negara kecil seperti sekarang berdasarkan ayat:

”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu 
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu 
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu 
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara..” [Ali 
’Imran:103]

Islam tidak mengenal batas atau pemisahan dengan banyak negara-negara kecil. 
Hanya ada satu negara Islam yang meliputi seluruh dunia.

Nabi mengatakan, ”Jika ada seorang pemimpin, dan kemudian ada seorang lagi yang 
mengaku sebagai pemimpin, maka bunuhlah yang terakhir.” Perintah ini begitu 
tegas dan keras untuk menjaga kesatuan negara Islam.

Pada zaman Nabi, para Khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan juga 
raja-raja Bani Umayyah (sebelum munculnya Daulah Bani Abbasiyah) hanya ada satu 
negara Islam.

Pada paham Ru’yah Lokal, mereka mengakui pemecahan Islam menjadi banyak negara 
seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Qatar, Kuwait, Arab Saudi, dsb. 
Tiap negara merayakan Idul Fitri sesuai dengan Ru’yah yang dilakukan 
masing-masing negara tersebut.

Ada yang menyatakan wajar jika Idul Fitri di Indonesia beda dengan di Arab 
Saudi. Sholat Dzuhur saja kita tidak bisa kan pakai waktu Arab.

Yang lain menyatakan bahwa beda waktu di Arab Saudi dengan Indonesia hanya 4 
jam. Jadi seharusnya selisihnya hanya 4 jam. Bukan beda hari hingga 28 jam. 
Sebagai contoh, shalat Jum’at di Arab dan di Indonesia dilakukan pada hari yang 
sama, yaitu hari Jum’at. Hanya beda 4 jam. Kenapa hari Idul Fitri beda hari 
sampai 28 jam?

Jadi itulah sebab mengapa perayaan Idul Fitri berbeda-beda antar negara Islam. 
Kita sendiri wajib mencoba mengetahui yang benar berdasarkan dalil Al Qur’an 
dan Hadits, sebab bagaimana pun juga tiap-tiap orang akan dimintai 
pertanggung-jawaban masing-masing.

”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan 
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan 
diminta pertanggungan jawabnya.” [Al Israa”36]

Ijtihad manusia bisa berbeda-beda hasilnya. Meski demikian kita tetap harus 
bersatu dan menjaga ukhuwah Islamiyyah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.

Kirim email ke