Pada Jumat (3/8) berduyun-duyun orang di Jakarta turun ke jalan, menuntut 
dihentikannya pembantaian Muslim Rohingya. Itu protes wajar, mengingat tragedi 
kemanusiaan terhadap suku Rohingya di Myanmar (Burma) belakangan ini belum juga 
reda.

Juga belum ada tindakan nyata yang signifikan dari masyarakat dunia. Padahal 
aktivis hak asasi manusia (HAM) dunia telah menyatakan bahwa pihak berwenang di 
Myanmar nyaris tidak berbuat apa-apa untuk mencegah munculnya kekacauan sejak 
awal. Malah aktivis kemanusiaan juga dicegah masuk, bahkan ditangkapi saat 
hendak membantu warga tak-berwarga-negara (stateless) itu.
“Angkatan bersenjata Myanmar telah membunuh, memperkosa dan menangkapi Muslim 
Rohingya, setelah kericuhan komunal pada Juni lalu,” tulis laporan organisasi 
HAM Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York, Rabu 1 Agustus.
Laporan itu diterbitkan seminggu setelah penyerangan dan pembakaran di wilayah 
Rakhine, belum lama ini. Didasarkan pada 57 interviu dengan orang-orang Rakhine 
dan Rohingya, laporan itu dimaksudkan mencari penjelasan mengenai konflik yang 
lama terpendam di tengah masyarakat, dan menagih kejelasan janji-janji 
kemanusiaan pemerintah sipil Burma sejak mereka berkuasa pada 2011.
“Pihak keamanan Burma gagal melindungi orang-orang Arakan (Rakhine) dan 
Rohingya dari pertikaian (satu sama lain), dan kemudian membiarkan terjadinya 
kekerasan dan aksi massal terhadap orang-orang Rohingya,” kata Brad Adams, 
Direktur HRW Asia.
Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa mereka bertekad menghentikan konflik etnis 
dan kesewenang-wenangan yang ada, tetapi kejadian-kejadian terakhir di wilayah 
Arakan menunjukkan bahwa kekejaman dan diskriminasi yang disponsori negara 
terus berlangsung.
Menilik itu semua, banyak yang mempertanyakan komitmen Aung San Su Kyi, wanita 
Burma yang menjadi simbol perjuangan HAM paling terkenal di dunia.
Mempertanyakan Su Kyi
Tak heran bila banyak aktivis yang dulu mendukung Su Kyi pun kemudian 
menuduhnya telah membisu terhadap pelanggaran HAM paling berat itu. Selama 
lebih delapan minggu ia diam saja.
Mengecewakan. Mungkin Su Kyi memang dalam posisi sulit, “Tetapi banyak orang 
kecewa karena ia tak kunjung bicara lebih keras,” kata Anna Roberts, direktur 
eksekutif organisasi Burma Campaign, di Inggris.
Brad Adams juga menyayangkan mengapa Su Kyi tidak memanfaatkan kesempatan 
mempermasalahkan soal ini secara lebih serius.
Sejauh ini, maksimal yang dilakukan Su Kyi hanya bicara di parlemen Burma. Itu 
pun dalam bahasa yang ambigu.
Dalam pidato pertama di parlemen, Su Kyi menekankan pentingnya melindungi 
hak-hak minoritas, tetapi hal itu lebih ditujukan kepada kelompok mayoritas 
Budha seperti Karen dan Shan – dan bukan Rohingya.
Maka tak salah bila orang seperti Maung Zarni, akademisi Burma yang pernah 
duduk dalam panel yang sama bersama Su Kyi di universitas London School of 
Economics Juni lalu, mengatakan bahwa, ‘Su Kyi telah sangat menolak berkomitmen 
dalam masalah Rohingya.’
Sebagaimana dikutip Alex Spillius
 (The Telegraph), Zarni mengatakan bahwa sebagai orang yang juga pernah menjadi 
korban rezim militer Burma, Su Kyi, yang kini berusia 67 itu, hanya menunjukkan 
‘show’ yang mengejutkan lewat prasangka rasisnya terhadap orang-orang Islam.
“Kelompok pro-demokrasi juga seolah terputus oleh adanya fabrikasi ideologi 
rasis” yang sama dengan pemerintah militer. Banyak laporan menunjukkan bahwa 
para biksu Budha di Rakhine telah menyebarkan pampflet agar masyarakat 
memboikot pedagang dan toko-toko Muslim.
Seharusnya, sebagai sebuah ikon kemanusiaan, Su Kyi bisa membawa pengaruh opini 
publik jika ia lebih aktif dalam masalah ini.
Memang boleh jadi ada tujuan politik lain yang disasar Su Kyi. Sebagai pemimpin 
partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy) Myanmar, 
mungkin sekali Su Kyi kuatir jika dukungan terhadap minoritas Muslim kelak akan 
mengganggu mulusnya jalan baginya menghadapi pemilu 2015.
Itu sebabnya, di parlemen Rabu 25 Juli lalu itu Su Kyi hanya bicara sepintas – 
dan tidak tegas.
Pemenang Nobel Perdamaian itu minta agar pemerintah Myanmar melindungi hak-hak 
sipil kelompok minoritas. Su Kyi antara lain mengatakan, perlindungan hak-hak 
etnik diperlukan, lebih dari sekadar menjaga bahasa dan budaya mereka, dan 
bahwa kelompok berbagai minoritas masih berada dalam tingkat kemiskinan di 
bawah rata-rata.

“Saya meminta seluruh anggota parlemen mendiskusikan penegakan undang-undang 
yang dibutuhkan untuk melindungi hak yang sama terhadap kelompok-kelompok 
etnis,” kata Su Kyi.
Tetapi Su Kyi tidak menyebut secara spesifik nasib etnik Rohingya itu – dan 
seolah buta bahwa belakangan ini ada lebih 650 Muslim Rohingya Myanmar 
terbunuh,1.200 hilang dan 80 ribuan mengungsi.
Myanmar, yang dulunya disebut Burma, memang memiliki beragam etnik dan agama, 
tetapi sekitar 800.000 orang Rohingya sama sekali tidak diakui sebagai salah 
satu kelompok etnis di Myanmar.
Sementara, tetangga Myanmar, Bangladesh, tidak menerima mereka para pengungsi 
Rohingya, dan mengembalikan perahu-perahu yang hendak berlabuh di Banglades.
Meski pun PBB menyebut Muslim Rohingya sebagai Palestina di Asia Tenggara, dan 
salah satu minoritas paling teraniaya di dunia, pemerintah Myanmar tidak peduli.
Presiden Myanmar Thein Sein mengatakan bahwa pemerintahnya hanya 
bertanggungjawab terhadap generasi ketiga Rohingya, yang keluarganya datang ke 
Myanmar sebelum kemerdekaan 1948, dan bahwa tidaklah mungkin untuk menerima 
mereka yang masuk ‘secara illegal’ ke Myanmar.
Maka ia merekomendasikan agar badan PBB untuk pengungsi, UNHCR, mengurusi 
mereka yang ada di sejumlah kamp pengungsian atau ‘menempatkan mereka secara 
permanen’ di negara ketiga.
Tapi itu sulit. Kepala UNHCR Antonio Guterres menukas, bahwa pihaknya hanya 
bisa mengurus pengungsi yang lari dari sebuah negara ke negara lainnya.
Walhasil, kita miris melihat nasib Muslimin Rohingya. Kebencian etnis Rakhine 
terhadap minoritas Rohingya di situ sudah lama berurat berakar. Apalagi karena 
kebencian itu menular, dan dibiarkan menjalar oleh penguasa.
Tak cukup begitu. Pemerintah Myanmar malah mendeklarasikan ‘keadaan darurat’ di 
Rakhine, sehingga secara mudah mereka dapat menggunakan alasan ‘situasi 
genting’ itu untuk menutupi berbagai pelanggaran dan ketidakadilan.
Kini Myanmar dan Suu Kyi, bersama Presiden Thein Sein, berada dalam sorotan 
dunia.
Memang konsesi kebaikan, atau tepatnya ‘keadilan’, kepada orang-orang Rohingya 
mungkin tidak popular di mata rakyat Myanmar, namun perlakukan buruk terhadap 
mereka sesungguhnya membawa risiko kemarahan dunia.

Kita ingin melihat seberapa serius dunia, khususnya para pentolan demokrasi dan 
HAM di Barat, bertindak dalam hal ini. Kita juga ingin melihat pemerintah 
Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslimin paling besar di dunia, 
bersikap lebih tegas terhadap Myanmar.
http://web.inilah.com/read/detail/1890217/rohingya-di-mana-su-kyi -
Powered by Telkomsel BlackBerry®

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
 Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar 
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    daarut-tauhiid-dig...@yahoogroups.com 
    daarut-tauhiid-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    daarut-tauhiid-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke