INI .......... SAYA dan ITU ........... SAYA Jakarta, 12 Januari 2010 "Itu lo Bu, masa sih nga tau ! aku kan sering banget pake - emang ga pernah liat ya?", ucap seseorang ibu kepada seorang ibu yang lain yang duduk di sampingnya. Ibu yang diajak bicara hanya diam sambil tersenyum kecil. "Aku juga punya lo warna yang lain, emang sih modelnya sama tapi kan aku belinya biar matching sama baju yang satunya lagi". "Masa pake yang itu-itu aja sih," lanjutnya. Ibu lawan bicaranya masih diam sambil tetap tersenyum. "Eh..Bu, inget nga kemarin waktu kita ke rumah ibu Dery", tanya ibu tersebut. Ibu yang tadi tersenyum itu kini mengangguk. "Rumahnya bagus ya ? Aku juga tadinya mau ambil ke kawasan perumahan itu, tapi tau tuh bapaknya anak-anak nga setuju katanya jauh dari kantor", lanjutnya. "Emang sih rumahnya di tempat lain tapi Ibu udah pernah liatkan rumahku ga kalah bagus kan?", katanya bersemangat. Kali ini ibu yang diajak bicara mulai membuka mulutnya, katanya,"Kalo saya sih yang penting ada tempat berteduh itu sudah cukup". "Iya sih Bu masih banyak orang-orang yang ga punya rumah ya Bu", jawabnya. Saya lalu mengalihkan perhatian saya ke tempat lain. Memang jam-jam segini dan pada tanggal seperti saat hari itu rata-rata bank memang penuh. Apalagi bank ini merupakan salah satu bank yang memberikan fasilitas pembayaran tagihan bulanan dari mulai telepon, listrik, hingga tagihan-tagihan rutin lainnya. Perhatian saya tertuju pada dua orang pria dewasa yang duduk samping kanan saya. "Merurut saya pasti ada yang disembunyikan tuh masa bukti-bukti sudah ada masih belum bisa ditahan juga tuh orang", kata seorang bapak yang sedang bicara dengan lelaki berumur lainnya. "Ya mungkin mereka coba cari bukti yang....", jawab lelaki berumur itu yang terputus karena segera disanggah bapak tersebut. "Bukti apa lagi sih, orang dah jelas-jelas kok - orang se Indonesia juga tau - ada tuh beritanya di TV," kata bapak itu bersemangat. "Temen saya yang di lembaga *** juga bilang begitu, belum lagi temen saya yang di *** juga cerita begitu," lanjutnya. "Bapak tau kan Bpk **** itu temen saya deket - posisi dia kan memungkinkan untuk dapet informasi duluan," katanya lagi menambahkan. "Saya pernah loh pak ketemu Bpk **** yang sekarang menjabat sebagai **** - dirumah temen saya itu dan akhirnya saya dikenalin di situ. Orangnya nga banyak omong tapi baik, anak saya aja dibantu masuk kerja di ********* kalo ga dibantu dia, susah deh masuk situ", katanya. Lelaki berumur yang diajak bicara kali ini diam sambil memperhatikan kertas nomor antriannya. "Saya itu kenal juga lo Pak sama pejabat-pejabat di lingkungan *** jadi kalo masuk ke sana saya nga perlu tuh tinggalin KTP", kata bapak tersebut terdengar lebih keras suaranya. "Saya tinggal bilang mau ketemu Pak ***** terus resepsionisnya telp ga lama saya langsung disuruh masuk", lanjutnya. "Bapak kenal Pak ***** kan?", tanya bapak tersebut lanjutnya. "Dia itu masih famili sama adik iparnya adik Bapak saya. Dia itu sekarang duduk di **** mewakili Jakarta Selatan bahkan Kakanya juga dah masuk ke *** - kalo mau ketemu aja harus janji dulu, istilahnya di agendakan", lanjutnya dengan nada bangga. Lelaki berumur lawan bicara itu senyum-senyum saja sambil sesekali melihat ke arlojinya. Raut mukanya dan gesture tubuhnya menampakan perasaan tidak nyaman. Tak lama kemudian Lelaki itu bicara, "Pak maaf ya saya ke kamar kecil dulu". Bergegas dia pergi meninggalkan bapak tersebut. Tiba-tiba "Kamu tau siapa saya," dengan nada keras yang berasal dari meja customer service. "Bisa dilihat kan pada komputer anda siapa saya," kata seorang bapak di meja customer service tersebut kepada petugas bank yang melayaninya. Dalam sekejap ruangan bank tersebut hening dan hampir semua mata mengarah kekejadian itu. "Ini nga bener, saya itu nasabah lama dan belum pernah dipersulit dengan macem-macem syarat seperti itu," katanya dengan nada aga cukup keras dari sebelumnya. Tidak lama kemudian seorang petugas bank yang lain (mungkin atasannya) keluar dari ruangannya dan mengajak bapak yang bicara dengan nada tinggi tersebut ke ruangannya yang tertutup. Saya jadi ingat teman saya yang sukanya mendominasi pembicaraan dan tiap ucapannya selalu menyatakan ke"saya"annya. Entah itu soal keluarga "saya" atau soal pekerjaan "saya" atau rumah "saya" atau hanya pendapat "saya" dan atau teman-teman hebat "saya". Jarang sekali dia menanyakan tentang bagaimana keluarga "kamu" atau bagaimana pekerjaan "kamu" atau bagaimana rumah "kamu" atau bagaimana pendapat "kamu" dan atau bagaimana teman-teman hebat "kamu". Sering kali saya merasa tidak nyaman kalo sudah terpaksa harus meladeninya ngobrol dengannya dan dengan alasan menghormati yang lebih tua - tidak jarang saat ngobrol saya mencari alasan untuk pergi (hehehehe...jahat ya). Belum lagi rasa bangga berlebihan pada keluarganya, saudaranya, temannya dan orang-orang sekelilingnya yang kadang membuat saya berkata dalam hati, "siapa mereka juga saya tidak tahu". Banyak da'i dan ulama yang bilang dan mengajarkan pada kita bahwa tinggalkanlah pembicaraan yang tak berguna (pekerjaan sia-sia) dan Islam mengajarkan pada kita untuk selalu memberikan manfaat bagi orang lain - yang menurut saya meskipun itu hanya berupa kenyamanan menjadi teman bicara dengan menunaikan hak-haknya. "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu permainan & sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbanga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Alloh serta keridaan-NYA dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu". (QS. Al Hadiid 57:20) ----------------------------------- Kampanye mengembalikan Kelembutan Hati atas sesama kita#
[Non-text portions of this message have been removed]