Fiqih Thaharah: Wudhu (Bagian ke-2)
dakwatuna.com - Wudhu adalah bersuci dengan air yang dilakukan dengan cara 
khusus. Kewajiban berwudhu ditetapkan dengan firman Allah swt., “Hai 
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah 
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu 
sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika 
kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) 
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah 
dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. 
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan 
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”(QS. Al-Ma’idah: 6)
Materi kali ini adalah kelanjutan materi sebelumnya, yang akan membahas 
mengenai mengusap sepatu, mengusap kaos kaki, dan mengusap pembalut luka tubuh 
dalam hal berwudhu.
Mengusap Al Khuff
1. Mengusap sepatu dalam berwudhu ditetapkan berdasarkan As Sunnah yang shahih. 
Hal ini disepakati oleh empat imam mazhab dan mayoritas ulama lain. Di antara 
hadits yang membahas hal ini adalah:
        * Hadits Al Mughirah bin Syu’bah ra berkata: saya pernah bersama 
Rasulullah saw yang sedang berwudhu, kemudian segera aku hendak melepas 
sepatunya. Beliau bersabda: Biarkan (jangan dilepas) karena aku memakainya 
dalam keadaan suci, kemudian ia mengusapnya”. Muttafaq alaih 
        * Hadits Jabir bin Abdullah AL Bajali ra bahwasannya ia kencing 
kemudian berwudhu dan mengusap sepatunya. Ada yang bertanya kepadanya: kamu 
lakukan ini? Ia menjawab: Ya. Aku menyaksikan Rasulullah saw buang air kecil, 
kemudian wudhu dan mengusap sepatunya.
2. Hukumnya
        * Syarat diperbolehkan mengusap sepatu dalam berwudhu adalah:  
Memakainya dalam keadaan suci, seperti yang disebutkan dalam hadits Al Mughirah 
di atas 
        * Kedua sepatu itu dalam keadaan suci, sebab jika ada najisnya maka 
tidak sah shalatnya 
        * Menutup sampai ke mata kaki,[1] demikianlah sepatu yang dikenakan dan 
diusap Rasulullah saw
3. Yang membatalkannya
        * Habisnya masa pengusapan (kecuali menurut Malikiyah yang tidak 
menghitus batas pengusapan) 
        * Melepas salah satu sepatu atau keduanya 
        * Wajib mandi karena junub atau sejenisnya. Seperti hadits Shafwan bin 
Assal yang disebutkan: “Agar tidak melepas sepatu selama tiga hari tiga malam, 
kecuali karena junub”. HR An Nasa’iy, At Tirmidziy dan Ibnu Huzaimah. 
        * Semua yang membatalkan wudhu
Jika sudah selesai masa pengusapan atau terlepasnya sepatu, dan dalam keadaan 
berwudhu maka ia cukup membasuh kakinya saja. Demikian menurut mazhab Hanafi 
dan Syafi’iy, karena bersambung dalam berwudhu menurut mereka adalah sunnah. 
Sedang menurut mazhab Maliki dan Hanbali, wajib mengulang wudhu secara 
keseluruhan karena bersambung dalam wudhu menurut mereka hukumnya wajib
4. Tempat Pengusapan adalah bagian atas sepatu tanpa ada pembatasan. Seperti 
dalam hadits Al Mughirah bin Syu’bah wa: “Aku melihat Rasulullah saw mengusap 
bagian atas sepatunya”. HR Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidziy
5. Batas waktu pengusapan, bagi orang yang mukim (tidak bepergian) sehari 
semalam, dan bagi musafir tiga hari tiga malam, seperti dalam hadits Ali ra: 
“Rasulullah saw memberikan tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam 
bagi muqimin, dalam mengusap sepatu. HR Muslim.
Mengusap Aljaura (kaos kaki)
Hukum mengusap kaos kaki ditetapkan dalam As Sunnah. Di antaranya adalah:
        * Hadits Al Mughirah bin Syu’bah: Bahwasannya Rasulullah saw berwudhu 
dan mengusap dua kaos kaki dan sandalnya”. HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan 
At Tirmidzi yang mengatakan hadits ini hasan shahih (Hadits Abu Musa Al 
Asy’ariy yang meriwayatkan seperti teks hadits di atas. HR Ibnu Majah. ) 
        * Hukum pembolehan mengusap kaos kaki diriwayatkan oleh banyak sahabat, 
di antaranya adalah: Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Anas bin 
Malik, Ammar bin Yasir, Bilal, Al Barra’ bin Azib, Abu Umamah, Sahl bin Sa’d, 
Amr bin Huraits dan Sa’d bin Abi Waqas. 
        * Mazhab Hanafi dan Hanbali memperbolehkannya. Sedang mazhab Syafi’iy 
memperbolehkannya dengan syarat kaos kaki itu dapat dipakai untuk berjalan. 
        * Kebolehan mengusap kaos kaki ini hukum-hukumnya seperti yang ada pada 
hukum mengusap sepatu.
Mengusap Al Jabirah
Al jabirah adalah pembalut tubuh yang terluka. Jika membasuh organ tubuh yang 
sakit dalam wudhu membahayakan atau sakti, atau terhalang oleh pembalut luka 
itu, maka pembasuhan itu diganti dengan pengusapan di atas pembalut itu. Hal 
ini berdasarkan hadits Tsauban ra berkata: Rasulullah saw mengutus satu pasukan 
sariyah (ekspedisi perang) lalu mereka menghadapi musim dingin. Maka ketika 
mereka bertemu Nabi Muhammad saw, mereka mengadukan dingin yang menimpanya, dan 
Rasulullah menyuruhnya mengusap pembalut lukanya dan sepatunya. HR Ahmad, Abu 
Daud, dan Al Hakim dalam Al Mustadrak, sesuai dengan persyaratan Imam Muslim, 
dan disetujui oleh Adz Dzhabiy
Mengusap pembalut luka ini batal jika dilepas, atau sembuh lukanya.[2]
________________________________

Catatan Kaki:
[1] Mazhab Syafi’iy menambahkan syarat mengusap sepatu:  tiga hari bagi musafir 
dan sehari semalam bagi muqim, dan tidak tembus air sampai ke kaki
[2] Menurut madzhab Syafi’iy, mengusap pembalut luka ini ada beberapa hukum, 
yaitu: Dipasang dalam keadaan suci, tidak berada pada organ tayammum, jika ada 
syarat yang tidak terpenuhi harus mengulang shalat.

Sumber: 
http://www.dakwatuna.com/2011/07/13297/fiqih-thaharah-wudhu-bagian-ke-2/#ixzz2FUR5kJnT

Wassalamu'alaikum
Jagalah Hati Selalu
Wisnu

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke