Menghadirkan dan Mengikhlaskan Niat Dalam Amal Ibadah 

Kategori: Hadits , Manhaj 



Dari Umar bin Khathab, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 
bersabda:

ÅöäøóãóÇ ÇúáÃóÚúãóÇáõ ÈöÇáäøöíøóÇÊö¡ æóÅöäøóãóÇ áößõáøö ÇãúÑöÆò ãóÇ äóæóì¡ 
Ýóãóäú ßóÇäóÊú åöÌúÑóÊõåõ Åöáóì Çááåö æóÑóÓõæúáöåö ÝóåöÌúÑóÊõåõ Åöáóì Çááåö 
æóÑóÓõæúáöåö¡ æóãóäú ßóÇäóÊú åöÌúÑóÊõåõ áöÏõäúíóÇ íõÕöíúÈõåóÇ Ãóæö ÇãúÑóÃóÉò 
íóäúßöÍõåóÇ ÝóåöÌúÑóÊõåõ Åöáóì ãóÇ åóÇÌóÑó Åöáóíöåö

“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan 
sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang 
diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, 
maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa 
hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena 
seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang 
ditujunya.”

Takhrij Ringkas Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh: Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 1, 54, 
2529, 3898, 5070, 6689, 6953, dengan lafazh yang berbeda-beda) dan Muslim dalam 
kitab Shahih-nya hadits no. 1907. Dan lafazh hadits yang tersebut di atas 
dicantumkan oleh An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin dan kitab Arba’in dan 
Ibnu Rajab dalam kitab Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam.

Biografi Periwayat Hadits

Umar bin Al-Khaththab

Ibnu Hajar berkata, “Beliau adalah Umar bin Al-Khaththab bin Nufail Al-Qurasyi 
Al-’Adawi, Abu Hafsh Amirul Mukminin. Abu Nu’aim meriwayatkan melalui jalan 
Ibnu Ishaq, beliau menceritakan: ‘…Beliau (Umar) dilahirkan empat tahun setelah 
perang Fijar, yaitu 30 tahun sebelum Rasulullah diangkat menjadi nabi…’ Beliau 
bersikap keras terhadap kaum muslimin pada awal-awal kenabian Rasulullah; 
kemudian masuk Islam; dan keislaman beliau membuka kemenangan dan kelapangan 
bagi kaum muslimin. Abdullah bin Mas’ud berkata: ‘Kami baru dapat beribadah 
kepada Allah secara terang-terangan setelah Umar masuk Islam.’” (Kitab 
Al-Ishabah IV/484 no. 5752).

Syaikh Al-Mubarakfuri berkata, “Beliau masuk Islam pada bulan Dzulhijjah tahun 
ke-6 kenabian, yaitu tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Muththalib masuk Islam. 
Nabi pernah berdo’a kepada Allah agar Umar masuk Islam. Tentang hal ini 
At-Tirmidzi (Kitab Sunan At-Tirmidzi hadits no. 3681). Meriwayatkan dari Ibnu 
Umar dan sekaligus menilainya shahih, dan Ath-Thabarani dari Ibnu Mas’ud (Kitab 
Al-Mu’jam Al-Kabir hadits no. 10314) dan Anas (Kitab Al-Mu’jam Al-Ausath hadits 
no. 1860) bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah satu dari yang paling Engkau cintai: 
Umar bin Al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam.”

Kita mengetahui, ternyata Allah memilih Umar. (Kitab Ar-Rahiq Al- Makhtum hal. 
116).

Al-Mizzi berkata, “Beliau berhijrah ke Madinah sebelum Rasulullah shallallahu 
‘alaihi wasallam; ikut serta dalam perang Badar dan semua peperangan yang lain 
bersama Rasulullah; memegang tampuk kekhalifahan selama sepuluh tahun lebih 
lima atau enam bulan; terbunuh (mati syahid) pada hari Rabu tanggal 26 atau 27 
Dzulhijjah tahun 23 H. Abu Umar bin Abdul Barr berkata, ‘…Melalui tangannya 
Allah menaklukkan negeri Syam, Irak dan Mesir; membuat dewan-dewan 
(departemen-departemen dalam pemerintahan); dan menetapkan penanggalan 
hirjriyyah…’” (Kitab Tahdzibul Kamal II/1006).

Makna Ungkapan Hadits

ÅöäøóãóÇ ÇúáÃóÚúãóÇáõ ÈöÇáäøöíøóÇÊö

“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.”

Imam An-Nawawi berkata, “Jumhur ulama berkata, ‘Menurut ahli bahasa, ahli ushul 
dan yang lain lafadz ÅöäøóãóÇ digunakan untuk membatasi, yaitu menetapkan 
sesuatu yang disebutkan dan menafikan selainnya. Jadi, makna hadits di atas 
adalah bahwa amalan seseorang akan dihisab (diperhitungkan) berdasarkan 
niatnya; dan suatu amalan tidak akan dihisab bila tidak disertai niat.” (Kitab 
Syarah Shahih Muslim XIII/47).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Lafadz ÇáäøöíøóÉõ dalam bahasa Arab 
sejenis dengan lafadz ÇáÞóÕúÏõ (maksud), ÇáÅöÑóÇÏóÉõ (keinginan) dan 
semisalnya.” Niat dapat mengungkapkan jenis keinginan, dan dapat pula 
mengungkapkan yang diinginkan itu sendiri.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/251) .

Ibnu Rajab berkata, “Niat menurut para ulama mengandung dua maksud, yaitu:

Pertama, sebagai pembeda antara satu ibadah dengan yang lain, seperti 
membedakan antara shalat zhuhur dengan shalat ashar, puasa Ramadan dengan puasa 
yang lain; atau pembeda antara ibadah dengan adat kebiasaan, seperti membedakan 
antara mandi junub (mandi wajib) dengan mandi untuk sekedar mendinginkan atau 
membersihkan badan atau yang semisalnya. Niat semacam ini banyak dibicarakan 
oleh para ahli fikih dalam kitab-kitab mereka.

Kedua, untuk membedakan tujuan dalam beramal, apakah yang dituju adalah Allah 
semata yang tiada sekutu bagi-Nya atau semata-mata hanya untuk selain-Nya, atau 
untuk Allah tapi juga untuk selain-Nya. Niat semacam ini dibicarakan oleh para 
ulama dalam kitab-kitab mereka ketika membicarakan masalah ikhlas dan apa-apa 
yang berkaitan dengannya. Para ulama salaf juga banyak membicarakan masalah 
ini.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/28-29).

æóÅöäøóãóÇ áößõáøö ÇãúÑöÆò ãóÇ äóæóì

“Dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa 
yang diniatkannya).”

Ibnu Rajab berkata, “Perkataan ini menerangkan bahwa seseorang tidak akan 
mendapatkan hasil dari amalannya melainkan apa yang telah diniatkannya; jika 
dia meniatkan untuk kebaikan niscaya akan memperoleh kebaikan, dan jika 
meniatkan untuk kejelekan niscaya akan memperoleh kejelekan pula. Dan kalimat 
ini bukan semata-mata pengulangan dari kalimat pertama, (yakni innamal a’maalu 
binniyat), karena kalimat pertama menunjukkan bahwa baik dan buruknya amalan 
tergantung pada niat yang melakukannya, sedangkan kalimat kedua menunjukkan 
bahwa pelakunya mendapat pahala amalan kalau niatnya baik dan akan mendapatkan 
siksa kalau niatnya jelek. Niat bisa saja dalam hal yang mubah di mana 
amalannya pun mubah sehingga seseorang tidak memperoleh pahala maupun siksa. 
Jadi, amalan seseorang dianggap baik, buruk, atau mubah tergantung pada 
niatnya; apakah baik, jelek, atau mubah.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/27-28).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang dua kalimat 
ini (yakni innamal a’maalu binniyat dan wa innamaa likullimri-in maa nawaa). 
Sebagian ulama mengatakan bahwa kedua kalimat ini memiliki satu makna, dan 
kalimat kedua hanya merupakan penegas bagi kalimat pertama saja. Pendapat ini 
tidak benar, karena kalimat kedua juga merupakan pokok pembicaraan tersendiri, 
bukan hanya sebagai penegas. Apabila kita perhatikan secara seksama dua kalimat 
tersebut akan nampak bahwa keduanya mempunyai perbedaan yang jelas, yaitu: 
kalimat pertama berbicara tentang sebab, sedangkan kalimat kedua berbicara 
tentang hasil.” (Syarah Riyadhus Shalihin 1/12).

Ýóãóäú ßóÇäóÊú åöÌúÑóÊõåõ Åöáóì Çááåö æóÑóÓõæúáöåö ÝóåöÌúÑóÊõåõ Åöáóì Çááåö 
æóÑóÓõæúáöåö¡ æóãóäú ßóÇäóÊú åöÌúÑóÊõåõ áöÏõäúíóÇ íõÕöíúÈõåóÇ Ãóæö ÇãúÑóÃóÉò 
íóäúßöÍõåóÇ ÝóåöÌúÑóÊõåõ Åöáóì ãóÇ åóÇÌóÑó Åöáóíöåö

“Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya 
itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena 
(harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang 
ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.”

Imam An-Nawawi berkata, “Maksudnya ialah, barangsiapa tujuan hijrahnya 
mengharap wajah Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia akan mendapatkan pahala dari 
Allah ‘Azza wa Jalla; barangsiapa tujuan hirahnya untuk mencari hal-hal yang 
sifatnya keduniaan atau untuk menikahi seorang wanita maka itulah yang akan ia 
peroleh dan tidak ada bagian baginya di akhirat karena hijrahnya itu. Kata 
hijrah arti asalnya ialah meninggalkan. Yang dimaksud dalam hadits di atas 
adalah meninggalkan negeri.” (Syarah Shahih Muslim 13/47-48).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hijrah menurut zahir hadits ini berarti 
bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Dan bepergian adalah suatu ungkapan 
yang masih umum sehingga sangat tergantung dengan niat pelakunya. Bisa jadi 
seseorang bepergian untuk hal yang wajib, seperti berhaji atau berjihad, dan 
bisa jadi bepergian untuk hal yang haram, seperti bepergian untuk merampok, 
bepergian untuk keluar dari jama’ah kaum muslimin, perginya budak yang kabur 
dari pemiliknya, dan perginya wanita yang dalam keadaan nusyuz (durhaka pada 
suami).” (Majmu’ Al-Fatawa 18/253-254).

Ibnu Rajab berkata, “Kata hijrah arti asalnya ialah meninggalkan negeri syirik 
menuju ke negeri Islam, sebagaimana kaum muhajirin –sebelum penaklukkan kota 
Mekkah– berhijrah dari Mekkah ke Madinah. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/37).

Ibnu Hajar berkata, “Hijrah artinya meninggalkan. Hijrah kepada sesuatu; 
artinya berpindah kepada sesuatu dari sesuatu yang lain sebelumnya. Secara 
syar’i, hijrah berarti meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. Hijrah yang 
pernah terjadi dalam Islam ada dua bentuk, yaitu:

Pertama, hijrah dari negeri yang tidak aman menuju negeri yang aman, 
sebagaimana dua hijrah yang pernah dilakukan kaum muslimin, yaitu dari Mekkah 
ke negeri Habasyah dan dari Mekkah ke Madinah.

Kedua, hijrah dari negeri kafir ke negeri iman, yaitu hijrahnya siapa saja dari 
kalangan kaum muslimin yang sanggup melakukannya ke Madinah setelah Nabi 
menetap di sana. Waktu itu, hijrah memang dikhususkan untuk perpindahan dengan 
tujuan ke Madinah saja. Namun, pengkhususan ini berakhir hingga ditaklukkannya 
kota Mekkah. Untuk selanjutnya, hijrah kembali dipakai secara umum, yaitu untuk 
segala perpindahan dari negeri kafir ke negeri iman bagi siapa yang sanggup 
melakukannya.” (Kitab Fathul Bari I/23).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Hijrah ialah berpindahnya seseorang dari negeri 
kafir menuju negeri Islam. Sebagai misalnya, seseorang yang tinggal di Amerika, 
-Amerika saat ini adalah merupakan negeri kafir- kemudian dia masuk Islam, 
tetapi tidak bisa melaksanakan ajaran Islam secara leluasa di sana, lalu dia 
berpindah ke (salah satu dari) negeri-negeri Islam. Begitulah yang namanya 
hijrah.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/14-15).

Faedah Hadits:

1. Imam As-Syafi’i berkata, “Hadits ini telah mencakup sepertiga ilmu, dan 
mengandung tujuh puluh masalah fikih.” (Kitab Jami’ Al ‘ulum Wa Al Hikam I/23. 
Lihat juga kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47, kitab Fathul Bari I/17).

2. Imam Ahmad berkata, “Dasar-dasar Islam ada pada tiga hadits, yaitu

Hadits Umar:

ÅöäøóãóÇ ÇúáÃóÚúãóÇáõ ÈöÇáäøöíøóÇÊö

Hadits A’isyah:

ãä ÃóÍúÏóËó Ýöíú ÃóãúÑöäóÇ åóÐóÇ ãóÇ áóíúÓó ãöäúåõ Ýóåõæó ÑóÏøñ

dan hadits An-Nu’man bin Basyir (Kitab Jami’ Al ‘ulum Wa Al Hikam I/23):

ÇóáúÍóáÇóáõ Èóíøöäñ æóÇáúÍóÑóÇãõ Èóíøöäñ

3. Ibnu Hajar berkata, “Al-Baihaqi menjelaskan bahwa hadits ini mencakup 
sepertiga ilmu. Penjelasannya: amal usaha seorang hamba bisa dihasilkan dengan 
hati, lidah, dan anggota badannya. Niat adalah salah satu amalan hati dan 
merupakan sarana beramal yang terkuat dari ketiganya, karena niat bisa menjadi 
suatu ibadah yang berdiri sendiri dan sangat dibutuhkan oleh ibadah-ibadah yang 
dihasilkan oleh anggota badan lainnya.” (Kitab Fathul Bari I/17).

4. Ibnu Rajab berkata, “Bukhari mengawali kitab Shahih-nya dengan hadits ini 
dan menempatkannya sebagai khutbah pendahuluan. Ini merupakan isyarat dari 
beliau bahwa semua amalan yang tidak ditujukan untuk memperoleh wajah Allah 
adalah batil; tidak ada hasilnya di dunia maupun akhirat.” (Kitab Jami’ Al 
‘Ulum wal Hikam I/23).

5. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Bagi siapa yang ingin mengarang sebuah kitab 
hendaknya memulai dengan hadits ini untuk mengingatkan penuntut ilmu agar 
memperbaiki niat.” (Kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47).

6. Yahya bin Abi Katsir berkata, “Pelajarilah niat, karena niat lebih utama 
dari amal.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/34).

7. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tidak ada sesuatu yang paling berat yang aku 
hadapi daripada niat, karena niat selalu berubah-ubah.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum 
Wa Al Hikam I/34. Lihat juga kitab Tadzkirah As Sami’ karya Al-Kittani hal. 
681).

8. Al-Fadhl bin Ziyad berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdullah -yakni 
Ahmad- tentang niat dalam beramal. Aku bertanya, ‘Apakah niat itu?’ Beliau 
menjawab, ‘Seseorang mengendalikan dirinya ketika hendak beramal agar tidak 
menginginkan pujian manusia.’” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/26).

9. Mutharrif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati karena baiknya amal, dan 
baiknya amal karena baiknya niat.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam 1/35).

10. Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Bisa jadi amal saleh yang kecil 
dibesarkan nilainya oleh niat, dan bisa jadi amal saleh yang besar dikecilkan 
nilainya karena niat pula.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam 1/35).

11. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Tidaklah amalan itu bertambah 
nilainya dan besar pahalanya melainkan tergantung pada keimanan dan keikhlasan 
yang terdapat dalam hati pelakunya, sampai-sampai jika seorang berniat jujur 
(untuk melakukan kebaikan) -khususnya apabila berhubungan dengan amalan yang 
disanggupinya- maka dia sama seperti orang yang melakukannya (sekalipun ia 
belum melakukannya).

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

æóãóäú íóÎúÑõÌú ãöäú ÈóíúÊöåö ãõåóÇÌöÑÇð Åöáóì Çááåö æóÑóÓõæúáöåö Ëõãøó 
íõÏúÑößúåõ ÇáúãóæúÊõ ÝóÞóÏú æóÞóÚó ÃóÌúÑõåõ Úóáóì Çááåö

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan 
Rasul-Nya, kemudian mati (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka dia akan 
mendapatkan pahala hijrahnya dari Allah.” (QS. An-Nisa’: 100)

Dan dalam sebuah hadits shahih yang marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu 
‘alaihi wasallam) disebutkan,

Åöäú ãóÑöÖó ÇáúÚóÈúÏõ Ãóæú ÓóÇÝóÑó ßõÊöÈó áóåõ ãóÇ ßóÇäó íóÚúãóáõ ÕóÍöíúÍÇð 
ãõÞöíúãÇð

“Jika seorang hamba sakit atau bepergian, maka dicatat untuknya apa yang biasa 
dikerjakannya ketika dia sehat dan mukim.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam 
Ahmad IV/410 dan 418, Bukhari hadits no. 2996 dari Abu Musa Al-Asy’ari)

Åöäøó ÈöÇáúãóÏöíúäóÉö ÃóÞúæóÇãÇð ãóÇ ÓöÑúÊõãú ãóÓöíúÑÇð¡ æóáÇó ÞóØóÚúÊõãú 
æóÇÏöíÇð ÅöáÇøó ßóÇäõæúÇ ãóÚóßõãú -

Ãóíú Ýöíú äöíøóÇÊöåöãú æóÞõáõæúÈöåöãú æóËóæóÇÈöåöãú – ÍóÈóÓóåõãõ ÇáúÚõÐúÑõ

“Sesungguhnya di Madinah ada sekelompok orang yang tidaklah kalian melalui 
suatu jalan, dan melintasi suatu lembah melainkan mereka sama seperti kalian – 
yakni dalam niat, hati, dan pahala – karena mereka terhalang sesuatu udzur.” 
(Kitab Bahjah Qulub Al Abrar hal. 14)

12. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Seseorang yang telah bertekad ingin 
melakukan suatu kebaikan yang biasa sudah dia kerjakan, tetapi tidak bisa 
melakukannya karena terhalang oleh sesuatu hal, maka akan dicatat untuknya 
pahala amalan tersebut dengan sempurna. Contohnya, apabila seseorang yang biasa 
shalat berjamaah di masjid, akan tetapi terhalang oleh sesuatu seperti 
tertidur, sakit atau semisalnya, maka akan dicatatkan untuknya pahala (seperti 
pahala) orang yang shalat berjamaah dengan sempurna; tidak dikurangi sedikit 
pun. Adapun apabila bukan sesuatu yang biasa diamalkannya, maka hanya akan 
dicatatkan untuknya pahala niatnya saja; tidak dengan pahala amalnya.” (Kitab 
Syarah Riyadhus Shalihin I/29).

13. Al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:

áöíóÈúáõæóßõãú Ãóíøõßõãú ÃóÍúÓóäõ ÚóãóáÇð

“…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)

Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar dan (sesuai 
tuntunan Allah). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka 
tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan 
diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila 
dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah.” 
(Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/36).

14. Ibnu Rajab berkata, “Dan apa yang dikatakan oleh Al-Fudhail sesuai dengan 
yang dijelaskan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:

Ýóãóäú ßóÇäó íóÑúÌõæú áöÞóÇÁó ÑóÈøöåö ÝóáúíóÚúãóáú ÚóãóáÇð ÕóÇáöÍÇð æóáÇó 
íõÔúÑößú ÈöÚöÈóÇÏóÉö ÑóÈøöåö ÃóÍóÏÇð

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah mengerjakan 
amal saleh dan janganlah mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada 
Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110). (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/36).

Syaikhul Islam berkata, “Dasar amal saleh seseorang adalah keikhlasan niat 
semata-mata untuk Allah, karena Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan 
kitab-kitab, mengutus para rasul, dan menciptakan makhluk melainkan agar mereka 
beribadah kepadanya. Begitulah dakwah para rasul yang mereka tujukan untuk 
semua manusia, sebagaimana yang Allah telah sebutkan di dalam Kitab-Nya melalui 
lisan para rasul-Nya dengan sejelas-jelasnya. Oleh karena itu, para ulama Salaf 
senang membuka dan memulai majlis-majlis, kitab-kitab mereka, dan hal-hal 
lainnya dengan hadits .” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/246)

ÅöäøóãóÇ ÇúáÃóÚúãóÇáõ ÈöÇáäøöíøóÇÊö

15. Beliau juga berkata, “Mengikhlaskan amalan merupakan dasar agama Islam. 
Oleh karena itu Allah membenci riya’ sebagaimana tersebut dalam firman-Nya 
‘Azza wa Jalla:

Ýóæóíúáñ áøöáúãõÕóáøöíúäó¡ ÇáøóÐöíúäó åõãú Úóäú ÕóáÇóÊöåöãú ÓóÇåõæúäó¡ 
ÇáøóÐöíúäó åõãú íõÑóÇÁõæúäó

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai 
dari shalatnya; orang-orang yang berbuat riya.’” (QS. Al-Ma’un: 4-6)

dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla:

æóÅöÐóÇ ÞóÇãõæúÇ Åöáóì ÇáÕøóáÇóÉö ÞóÇãõæúÇ ßõÓóÇáóì íõÑóÇÁõæúäó ÇáäøóÇÓó æóáÇó 
íóÐúßõÑõæúäó Çááåó ÅöáÇøó ÞóáöíúáÇð

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka 
bermaksud riya’ (dengan shalat mereka) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka 
menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)

dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla:

ßóÇáøóÐöíú íõäúÝöÞõ ãóÇáóåõ ÑöÆóÂÁó ÇáäøóÇÓö

“…seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia.” (QS. 
Al-Baqarah: 264)

dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla:

æóÇáøóÐöíúäó íõäúÝöÞõæúäó ÃóãúæóÇáóåõãú ÑöÆóÂÁó ÇáäøóÇÓö

“Dan juga orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya’ kepada 
manusia.” (QS. An-Nisa’: 38)

16. Ibrahim At-Taimi berkata, “Orang yang ikhlas niatnya adalah orang yang 
menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya.” (Kitab 
Majmu’ Al-Fatawa XVIII/257).

17. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Dalam semua amalan, niat tempatnya di hati, 
bukan di lidah. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengucapkan niat dengan lisan 
ketika hendak shalat, puasa, haji, wudhu, atau amalan yang lain, maka dia telah 
melakukan bid’ah; mengamalkan sesuatu yang tidak ada asalnya dalam agama Allah. 
Hal itu karena Nabi berwudhu, shalat, bersedekah, berpuasa, dan berhaji tidak 
pernah mengucapkan niat dengan lisan, karena niat memang tempatnya di hati. 
Allah mengetahui apa yang ada dalam hati; tidak ada sesuatu pun yang 
tersembunyi bagi-Nya,” sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ‘Azza wa Jalla 
dalam ayat yang dibawakan oleh pengarang (yakni Imam Nawawi):

Þõáú Åöäú ÊõÎúÝõæúÇ ãóÇ Ýöíú ÕõÏõæúÑößõãú Ãóæú ÊõÈúÏõæúåõ íóÚúáóãúåõ Çááåõ

“Katakanlah: ‘Jika kamu menyembunyikan sesuatu yang ada dalam hatimu atau kamu 
menampakannya, pasti Allah mengetahui.’” (QS. Ali Imran: 29) (Kitab Syarah 
Riyadhus Shalihin I/9-10).

18. Beliau juga berkata, “Setiap amalan yang dikerjakan oleh seorang manusia 
yang berakal dan memiliki kemampuan berikhtiyar, maka amalannya mesti bersumber 
dari niat; tidak mungkin orang yang berakal lagi memiliki kemampuan berikhtiyar 
mengerjakan suatu amalan tanpa niat.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/12).

19. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sebagian pengikut Imam Syafi’i telah 
salah memahami perkataan Imam Syafi’i ketika beliau menyebutkan perbedaan 
antara shalat dan ihram. Dalam penjelasannya itu Imam Syafi’I mengatakan, “…
shalat permulaannya adalah ucapan.” Sebagian pengikutnya itu memahami bahwa 
yang beliau maksudkan adalah mengucapkan niat, padahal yang beliau maksudkan 
tidak lain adalah takbiratul ihram.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/362).

20. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Niat itu akan mengikuti pengetahuan 
seseorang. Barangsiapa mengetahui apa yang hendak dia kerjakan, maka pasti dia 
akan meniatkannya, seperti seorang yang disajikan makanan di hadapannya. Maka, 
bila dia tahu dan secara sadar ingin memakannya mesti hatinya akan 
meniatkannya; demikian halnya dengan orang yang hendak mengendarai kendaraan 
atau amalan lainnya. Bahkan, kalau para hamba dibebani untuk mengerjakan suatu 
amalan tanpa niat, berarti mereka dibebani dengan sesuatu yang tidak mereka 
sanggupi.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/262).

21. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Dan wajib atas seseorang mengikhlaskan niat 
kepada Allah dalam seluruh ibadahnya dan hendaklah meniatkan ibadahnya 
semata-mata untuk mengharap wajah Allah dan negeri akhirat. Inilah yang 
diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

æóãó ÃõãöÑõæúÇ ÅöáÇøó áöíóÚúÈõÏõæÇ Çááøóåó ãõÎúáöÕöíúäó áóåõ ÇáÏøöíúäó

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan 
ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Yakni, mengikhlaskan niat setiap amalan hanya kepada-Nya. Hendaknya kita 
menghadirkan niat dalam semua ibadah, misalnya ketika wudhu; kita niatkan 
berwudhu karena Allah ‘Azza wa Jalla dan untuk melaksanakan perintah Allah 
‘Azza wa Jalla. Tiga perkara berikut (yang harus dihadirkan dalam niat): (1). 
Berniat untuk beribadah, (2). Berniat beribadah tersebut karena Allah semata, 
dan (3). Berniat bahwa ia menunaikannya demi melaksanakan perintah Allah.” 
(Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/10).

22. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Hadits Umar, yaitu:

ÅöäøóãóÇ ÇúáÃóÚúãóÇáõ ÈöÇáäøöíøóÇÊö

adalah timbangan bagi amalan batin (yang tersembunyi), sedangkan hadits 
‘Aisyah, yakni

ãóäú ÃóÍúÏóËó Ýöíú ÃóãúÑöäóÇ åóÐóÇ ãóÇ áóíúÓó ãöäúåõ Ýóåõæó ÑóÏøñ

adalah timbangan amalan lahir (yang tampak).” (Kitab Bahjah Qulub Al Abrar hal. 
10).

23. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Manusia berhijrah berbeda-beda niatnya. 
Pertama, ada yang berhijrah meninggalkan negerinya menuju Allah dan Rasul-Nya, 
yakni menuju syari’at Allah yang Allah syari’atkan melalui lisan Rasul-Nya. 
Hijrah seperti inilah yang akan memperoleh kebaikan dan pahala. Oleh karena 
itu, Nabi mengatakan: ‘… maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya,’yakni 
dia memperoleh apa yang telah diniatkannya.

Kedua, ada yang berhijrah karena (harta perhiasan) dunia yang ingin dia 
dapatkan. Misalnya, ada seseorang senang mengumpulkan harta; kemudia dia 
mendengar bahwa di negeri Islam ada lahan subur untuk dia olah; lalu dia 
berhijrah dari negeri kafir yang dia tempati ke negeri Islam tanpa ada niatan 
sedikit pun agar di negeri Islam itu dia bisa secara baik melakukan agamanya; 
dan dia juga tidak memiliki perhatian kecuali untuk kepentingan harta semata.

Ketiga, seseorang berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam karena ingin 
menikahi seorang wanita, karena (pihak wali wanita tersebut) mengatakan 
kepadanya, ‘Kami tidak akan menikahkanmu kecuali di negeri Islam dan kamu tidak 
boleh membawanya pergi ke negeri kafir.’ Jadi, dia pun berhijrah dari negerinya 
ke negeri Islam demi wanita tersebut.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/14-15).

24. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hijrah dari negeri kafir ke negeri 
Islam wajib hukumnya bagi siapa saja yang mampu. Dan suatu negeri dikatakan 
sebagai negeri kafir, negeri iman, atau negeri fasik bukanlah karena dzatnyanya 
negeri tersebut, akan tetapi bergantung kepada keadaan penduduknya. Suatu 
negeri yang pada waktu tertentu penduduknya orang-orang beriman dan bertakwa 
berarti negeri tersebut adalah negeri iman, negeri para kekasih Allah pada saat 
tersebut. Suatu negeri yang penduduknya orang-orang kafir berarti negeri 
tersebut dinamakan negeri kafir pada saat itu. Begitu juga, suatu negeri yang 
penduduknya orang-orang fasik, maka berarti negeri tersebut dinamakan negeri 
fasik pada saat itu. Kemudian jika yang menempati negri tersebut adalah selain 
yang kami sebutkan dan penduduknya berganti dengan selain mereka, maka berarti 
ia adalah negeri (sebagaimana masyarakat yang menghuninya).” (Kitab Majmu’ 
Al-Fatawa XVIII/281-282).

25. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, “Hijrahnya seseorang dari tempat 
yang kafir dan maksiat ke tempat iman dan taat sama seperti dia bertaubat dan 
berpindah dari kekufuran dan kemaksiatan menuju keimanan dan ketaatan; dan hal 
itu akan senantiasa ada sampai hari kiamat.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/284).

26. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Berhijrah itu bisa terhadap perbuatan, atau 
pelaku suatu perbuatan, atau terhadap tempat.

Yang pertama, hijrah atau meninggalkan tempat. Yaitu, seseorang berpindah dari 
suatu tempat yang banyak kemaksiatan dan kefasikan di dalamnya; bisa dari 
negeri kafir menuju ke negeri (tempat) yang tidak ada hal seperti itu, 
(meskipun bukan negeri Islam); namun yang paling utama adalah berhijrah dari 
negeri kafir ke negeri Islam. Para ulama telah menyebutkan bahwa berhijrah dari 
negeri kafir ke negeri Islam hukumnya wajib bila sesorang muslim tidak bisa 
secara leluasa melakukan agamanya. Adapun apabila dia bisa secara leluasa 
melakukan agamanya dan tidak ada yang menentang bila dia melaksanakan 
syiar-syiar Islam, maka tidak wajib berhijrah baginya, tetapi hanya dianjurkan 
saja. (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/15-16).

Yang kedua, hijrah atau meninggalkan perbuatan. Yaitu seseorang meninggalkan 
kemaksiatan dan kefasikan yang dilarang oleh Allah, sebagaimana yang disabdakan 
oleh Nabi:

ÇáúãõÓúáöãõ ãóäú Óóáöãó ÇáúãõÓúáöãõæúäó ãöäú áöÓóÇäöåö æóíóÏöåö¡ æöÇáúãõåóÇÌöÑõ 
ãóäú åóÌóÑó ãóÇ äóåóì Çááøóåõ Úóäúåõ

“Muslim hakiki adalah yang orang-orang muslim lainnya bisa selamat dari 
keburukan lidah dan tangannya. Muhajir (orang yang berhijrah) hakiki adalah 
orang yang meninggalkan apa-apa yang Allah larang.” (Kitab Syarah Riyadhus 
Shalihin I/19-20).

Yang ketiga, hijrah atau meninggalkan pelaku perbuatan. Seseorang yang 
melakukan suatu perbuatan terkadang wajib ditinggalkan. Kata para ulama, 
misalnya seseorang yang suka berbuat maksiat; bila kita pandang dengan 
berhijrah ada manfaat dan faedah maka kita disyari’atkan meninggalkannya. 
Faedah dan kemaslahatan dimaksud adalah, setelah kita tinggalkan kita 
perkirakan akan tahu kondisi dirinya, lalu sadar terhadap kemaksiatan yang 
selama ini dilakukannya, lalu meninggalkan kemaksiatan tersebut.” (Kitab Syarah 
Riyadhus Shalihin I/20).

Kesimpulan
1.  Niat merupakan sepertiga ilmu yang harus kita pelajari.
2.  Niat semakna dengan maksud dan keinginan hati.
3.  Niat menurut para ulama mengandung beberapa maksud, yaitu:a. Untuk 
membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti antara shalat 
fardlu dengan shalat sunnah.

b. Untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan, seperti antara puasa 
ibadah dengan puasa diet.

c. Untuk membedakan yang dituju dalam ibadah, apakah yang dituju Allah semata 
atau selain-Nya semata, atau Allah tapi dengan selain-Nya.
4.  Hakikat niat adalah bagaimana seseorang menguasai dirinya agar tidak 
menginginkan pujian manusia ketika hendak beramal.
5.  Semua amalan selalu bersumber dari niat.
6.  Setiap orang akan memperoleh balasan dari apa yang telah diniatkannya; bila 
niatnya baik akan meperoleh pahala kebaikan dan bila niatnya jelek akan 
memperoleh balasan kejelekan.
7.  Besar kecilnya nilai suatu amal saleh dipengaruhi oleh niat.
8.  Niat tempatnya di hati. Siapa yang mengucapkannya berarti telah jatuh 
kepada bid’ah.
9.  Seorang yang meniatkan suatu amalan yang biasa dikerjakannya atau dalam 
usaha mengerjakannya, lalu terhalang oleh sesuatu udzur maka nilainya sama 
seperti orang yang mengerjakannya (yakni dia akan memperoleh pahala niat dan 
pahala amalannya).
10.              Seseorang yang telah meniatkan suatu amalan sementara dia 
belum ada usaha untuk merealisasikannya, dan amalan tersebut juga bukan amalan 
yang biasa dilakukannya, maka ia hanya memperoleh pahala niatnya saja.
11.              Tiga niat yang harus dihadirkan setiap kali kita hendak 
melakukan perbuatan:
i. Berniat untuk berbuat.ii. Berniat karena Allah.

iii. Berniat karena ingin melaksanakan perintah Allah.
12.              Wajib bagi kita mengikhlaskan segala ibadah untuk Allah 
semata, karena ibadah menjadi tujuan diciptakannya manusia, diturunkannya 
kitab-kitab, dan diutusnya para rasul.
13.              Setiap perbuatan hanya akan diterima bila diikhlaskan untuk 
Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah.
14.              Riya’ termasuk salah satu pembatal amalan seseorang.
15.              Hijrah secara bahasa artinya meninggalkan.
16.              Secara syar’i, hijrah ada tiga macam:i. Hijrah terhadap 
tempat, seperti hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam.

ii. Hijrah terhadap amal, seperti hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan.

iii. Hijrah terhadap pelaku perbuatan, seperti meninggalkan teman yang buruk 
lalu mendekati dan bergaul dengan teman yang baik lagi shaleh.
17.              Berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam hukumnya wajib 
bagi yang mampu dan tidak bisa leluasa melaksanakan agamanya. Untuk yang selain 
itu hukumnya sunnah saja.
18.              Berhijrah dari negeri kafir dan maksiat ke negeri Islam sama 
dengan bertobat dari kekufuran dan kemaksiatan menuju keimanan dan ketaatan.
19.              Meninggalkan pelaku kemaksiatan dan kejelekan hukumnya bisa 
wajib atau sunnah saja bila dipandang membawa faedah dan maslahat.

Referensi
1.  Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar 
Al-’Asqalani (773-852 H.), Cet. ke-2 Th. 1407 H./1987 M., Dar Ar-Rayyan 
Lit-Turats, Kairo.
2.  Syarah Shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi (607 H.), Cet. ke-1 Th. 1415 
H./1995 M., Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut – Lebanon.
3.  Tahdzib Al Kamal Fi Asma’ Ar-Rijal, karya Al-Hafizh Al-Mizzi (654-742 H.), 
kopian manuskrip dari Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, Cet. Dar Al-Ma’mun 
Lit-Turats, Beirut.
4.  Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash-Shahabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani 
(773-652 H.), Tahqiq Syaikh ‘Adil Ahmad Abdul Maujud dan Syaikh Ali Muhammad 
Mu’awwadh, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut – 
Lebanon.
5.  Majmu’ Al-Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H.), 
dikumpulkan dan disusun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim An-Najdi 
dibantu oleh anaknya, Muhammad.
6.  Jami’ Al ‘Ulum Wal Hikam, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab (736-395 H.), Tahqiq 
Syaikh Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar 
Ibnul Jauzi, Dammam – KSA.
7.  Bahjah Qulub Al Abrar, karya Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di (1307-1376 
H.), Cet. ke-3 Th. 1408 H./1987 M., Maktabah As-Sundus, Kuwait.
8.  Syarah Riyadhus Shalihin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 
Cet. ke-1 Th. 1415 H./1995 M., Dar Al-Wathan, Riyadh – KSA.
9.  Ar-Rahiq Al Makhtum, karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Cet. ke-6 
Th. 1411 H./1991 M., Dar Al-Qiblah Lits-Tsaqafah Al-Islamiyyah, Jeddah – KSA.
10.              Min Akhlaq As-Salaf, karya Ahmad Farid, Cet. Th. 1412 H./1991 
M., Dar Al-’Aqidah Lit-Turats, Iskandariyyah.

***

Sumber: Majalah Fatawa
Penulis: Ustadz Abu Sa’ad Muhammad Nur Huda
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id 

Dari artikel 'Menghadirkan dan Mengikhlaskan Niat Dalam Amal Ibadah — 
Muslim.Or.Id '

***** This message may contain confidential and/or privileged information. If 
you are not the addressee or authorized to receive this for the addressee, you 
must not use, copy, disclose or take any action based on this message or any 
information herein. If you have received this communication in error, please 
notify us immediately by responding to this email and then delete it from your 
system. PT Pertamina (Persero) is neither liable for the proper and complete 
transmission of the information contained in this communication nor for any 
delay in its receipt. *****


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
 Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar 
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    daarut-tauhiid-dig...@yahoogroups.com 
    daarut-tauhiid-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    daarut-tauhiid-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke