Assalamu Alaikum wwb.
Kesulitan kita menjaga diri dari yang haram ditambah sikap kurang bersahabat, 
sinis bahkan menentang prilaku kita dalam menjaga agar hanya yang halal masuk 
ke dalam tubuh diri dan kelaurga kita kadang menjadi "dilema" bagi sebagian 
dari kita. Ketika kita ingin menerapkan secara utuh perintah Allah dalam halan 
dan haram ini, maka jadilah kita seperti orang yang "asing" atau "aneh" 
ditengah budaya permisif dan "menggampangkan" terhadap yang haram.

“Islam muncul
dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah
orang-orang yang terasing.” (HR Muslim). 

Memang jalan menuju Surga seringkali di hiasi dengan kesulitan dan sesuatu yang 
tidak menyenangkan, sedang jalan menuju Neraka dihiasi dengan kemudahan dan 
keindahan bagi nafsu manusia.


Semoga tulisan di bawah ini memberikan sedikit semangat untuk kita yang sedang 
berjuang untuk mewujudkan sikap hidup halalan toyyiban masyarakat kita.
Artikel dalam bentuk pdf dan artikel penting lain terkait halal haram dapat 
dilihat di www.pusathalal.com
 


Sikap Muslim Menghadapi Dilema Halal- Haram
Oleh : Eny Suherni & Ceppy Indra Bestari – PusatHalal.com

Pada artikel “Muslim Indonesia
Dikepung Produk Haram”, telah dibahas tentang realita di sekeliling kita dimana
produk haram dan syubhat beredar dengan bebas tanpa identifikasi yang jelas atau
bahkan sengaja dibuat tidak jelas. Belum lagi indikasi kecurangan pedagang
mencampurkan daging haram (babi, bangkai, anjing, tikus, sapi glonggongan dan
lain-lain) ke dalam barang dagangannya baik mentah maupun dalam bentuk olahan. 
Hal
ini menimbulkan kondisi serba salah, dilematis dan ketidak tentraman bagi umat
dalam menjaga diri dari makanan haram.


Karena masih
sedikitnya orang yang faham dan sadar akan kondisi ini, ketika kita mencoba
untuk ekstra hati-hati maka jadilah sepertinya kita bagai orang “aneh” atau
“asing” di tengah masyarakat. Ya Kita terlihat seperti orang aneh dan asing
ketika melakukan hal-hal yang diluar kebiasaan masyarakat saat ini, contohnya :
·         Asing, ketika makan di
restoran selalu menanyakan dulu memakai bahan haram atau tidak.
·         Asing, ketika pergi ke negeri
non-muslim sibuk dengan bekal makanan halal dan sibuk mencari informasi
sana-sini tentang resto yang halal.
·         Asing, juga ketika tidak
sembarangan menerima oleh-oleh, parcel atau hadiah produk makanan dari luar
negeri.
·         Asing, karena orang lain yang
mencermati kandungan gizi produk, namun yang kita cermati logo halal-nya.
·         Asing dan dikatakan
“fanatik”,  ketika menolak atau tidak
ikut dalam acara makan bersama yang diadakan kantor tempat kita kerja karena
restoran yang dipilih meragukan kehalannya.
·         Asing, ketika selalu
repot-repot menanyakan cara penyembelihan ayam pada pedagangnya di pasar; dan
masih banyak lagi …..
 
Suatu contoh saja beberapa bulan silam, ketika beberapa anggota millis HBE
(Halal Baik Enak) mencoba bertanya tentang status kehalalan salah satu produk
bakery ternama di halaman facebooknya, beberapa orang menanggapinya dengan
ketus dan merasa terganggu ( mungkin karena produk kegemarannya di
pertanyakan). Sampai ada komentar “jika ingin bebas dari yang haram, hidup saja
di hutan sana”.  Padahal jelas-jelas dia
mengaku dirinya Muslim.
Melihat komentar ini kami teringat satu sabda Rasullullah : “Islam muncul
dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah
orang-orang yang terasing.” (HR Muslim). 

Artinya ketika ada seseorang yang ingin melaksanakan perintah Allah dengan
sebenarnya seringkali tindakannya dianggap asing, aneh, tidak popular, bahkan
ditentang.

Kondisi repot untuk menyeleksi makanan kita ditambah tidak nyaman dianggap
sebagai “orang asing” atau “orang aneh” ini, bagi sebagian besar orang
sangatlah berat. Akibatnya ada sebagian kemudian menggunakan berbagai dalih
seperti “kalau tidak tahu kan tidak apa-apa” atau “tidak mungkin untuk 100%
bersih dari produk haram”, sehingga menganggap wajar jika sekali-kali mereka
terpaksa mengkonsumsi produk haram. Namun besar kemungkinan penyebab dari sikap
ini adalah “keengganan atau kemalasan” dalam melaksanakan perintah Allah,
karena resiko yang harus dihadapi seperti disebutkan diatas. 
Keengganan untuk bersusah payah dan menanggung resiko dianggap asing bisa
jadi dikarenakan kita belum memahami hakekat dari perintah dan larangan Allah.
Karena ketidak fahaman ini, maka timbulah salah persepsi dan tidak adanya
motivasi.

Sesungguhnya seperti halnya larangan dan perintah lainnya, menjaga diri dari 
yang haram merupakan
ujian bagi kita. Tentu saja yang namanya ujian jika tidak lulus akan
mendapatkan kesengsaraan, dan jika lulus akan mendapatkan “rewards” yang
setimpal.
Mungkin juga kita kurang faham bahwa setiap usaha kita bersusah payah
memilih hanya yang halal untuk tubuh kita dicatat sebagai amal sholih dengan
balasan pahala. Memang perlu pengorbanan, namun reward-nya juga tidak kecil
yaitu Surga. Teringat nasehat seorang ulama : Surga itu mahal dan perlu
pengorbanan besar untuk mendapatkannya. Jadi jangan mimpi untuk bisa masuk
surga jika tidak ada usaha dan pengorbanan untuk mendapatkannya. Cukuplah ayat
Al-Qur’an dan Hadis berikut ini menjadi dasar untuk kita akan konsep ujian ini
:
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu ? …….(QS 
Al Baqarah
2 : 214)
Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah)
dalam mencari rezeki yang halal. (HR. Ad-Dailami)
"Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan mengujinya.
Jika hamba itu bersabar dan redha maka Dia akan memilihnya menjadi
kekasihNya" (Hadis riwayat Ibnu Majah)
 
Lalu Bagaimana Seorang Mukmin Menghadapi Dilema Halal – Haram?
 
1.       Sami’na wa atho’n(kami dengar dan kami taat).
Salah satu karakter dasar orang
beriman adalah senantiasa mendengar dan taat terhadap apa pun yang menjadi
ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Mendengar berarti  berusaha
sungguh-sungguh memahami kehendak Allah dan Rasul-Nya, sedangkan taat berarti 
ketaatan dalam menjalankan
syariat baik berupa perintah maupun larangan yang ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya dalam al-Qu`ran dan As-Sunnah. Jadi, setelah mengetahui apa-apa saja
yang dihalalkan/diharamkan Allah maka segera mengikuti dengan kepatuhan dan
ketundukan untuk menjalankannya tanpa ada pengingkaran sedikitpun. Sebagaimana
firman Allah :
 “Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya
agar rasul memutuskan (perkara) di antara mereka ialah ucapan “kami mendengar
dan kami taat. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur
[24]: 51)

2.       Wara’ (sikap berhati-hati karena takut berbuat haram)
Seorang
muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat,
sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang
haram.Cara semacam
ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz
dzara'i).Disamping
itu cara tersebut merupakan salah satu macam pendidikan untuk memandang lebih
jauh serta penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.Hal ini
didasarkanpada hadits
Nabi saw:
Dari
Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya yang halal itu
jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara
yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa
yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan
terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang
menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk
memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap
raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.
Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka
baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh;
ketahuilah bahwa dia adalah hati “. (Hadits Riwayat
Bukhori dan Muslim)
Hikmah yang terkandung pada hadits tersebut:
·        Termasuk
sikap wara’ adalah meninggalkan syubhat .
·        Banyak
melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
·        Menjauhkan
perbuatan dosa kecil karena hal tersebut dapat menyeret seseorang kepada
perbuatan dosa besar.
·        Memberikan
perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik.
·        Baiknya
amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
·        Pertanda
ketakwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan
karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.
·        Menutup
pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana dan cara
ke arah sana.
Alkisah  sikap wara’ ini pernah
dicontohkan oleh sahabat Abu Bakar ra. yang meminum susu yang diberikan oleh
budaknya. Setelah diberitahu oleh budaknya mengenai asal-usul susu tersebut
yang diperoleh dari pekerjaan yang haram (meskipun susu itu sendiri halal), Abu
Bakar lantas memuntahkannya lalu berdoa : “Ya Allah Rabbku, sungguh aku
memohon ampunanMu atas sisa minuman yang masih terkandung di dalam aliran
darahku, dan yang nantinya bercampur menjadi dagingku.“
Begitupun halnya dengan Umar ibn Khattab ra. yang meminum susu unta dari
harta zakat karena sebuah kesalahan yang tidak ia ketahui sebelumnya sehingga
Umar memasukkan jari-jarinya ke mulutnya untuk memuntahkan susu unta tersebut.
Aisyahradhiyallahu’anha pun mengatakan bahwa ibadah yang utama adalah menjaga 
diri dari mengonsumsi
makanan yang diharamkan oleh Allah SWT.

3.       Ujian adalahpeluang mendapatkan pahaladan ridho Allah 
Seperti telah dijelaskan diatas, sesungguhnya pada perintah dan larangan
Allah terdapat ujian bagi orang-orang mukmin. Ujian ini diberikan oleh Allah
untuk melihat mana yang keimanannya benar dan mana yang dusta. Pada ujian ini
juga Allah memberikan kesempatan besar kepada kita untuk mengumpulkan pahala
dan mendapatkan ridhonya. Namun jika tidak dijalani sesuai dengan perintahNya
maka siksa Allah telah menanti.
Jika kita sadar tentang hakikat ini maka tidak ada lagi rasa berat untuk
bersusah payah dan dianggap aneh oleh orang lain, bahkan sebaliknya termotivasi
untuk menjadi orang aneh tersebut. (lihat point 4).
Lagi pula, sesungguhnya kita telah dijamin oleh Allah untuk bisa menanggung
ujian ini dengan syarat kita mau dan bersungguh-sungguh. Karena Allah tidak
akan membebani seseorang melebihi kemampuannya (QS Al-Baqoroh : 286).


4.       Jangan takut menjadi orang yang asing (ghuroba’).
Islam muncul
pada awalnya dengan asing diantara manusia yang berakhlak buruk. Rasulullah saw
diutus Allah SWT untuk memperbaikinya hingga manusia berakhlakul karimah. Namun
Islam akan kembali terasing pada akhir zaman. Maka berbahagialah orang-orang
yang terasing di akhir zaman itu karena mau memperbaiki dirinya, dan tetap
istiqamah dalam kebaikan itu ditengah rusaknya akhlak manusia lain.
Ia asing dalam
urusan dunia dan akhiratnya. Ia tidak mendapatkan ada yang membantunya dari
kalangan orang-orang pada umumnya. Ia adalah orang yang berilmu di tengah orang
bodoh, pemegang sunnah di antara penganut bid’ah, penyeru kepada jalan Allah
dan Rasul-Nya, pelopor kebaikan, pencegah dari kemungkaran di tengah kaum yang
menganggap hal yang baik sebagai mungkar dan hal yang mungkar sebagai sesuatu
yang baik.
Bersungguh-sungguh
dalam mencari hanya yang halal di akhir zaman ini bisa jadi akan menjadi
fenomena yang terasingkan. Maka berbahagialah orang-orang yang terasing itu
sebagaimana dinyatakan dalam beberapa hadits di bawah ini :
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam
keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah
orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)
“Orang yang asing,  orang-orang yang berbuat kebajikan ketika
manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk,
orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Islam itu pada
mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada
mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”. Beliau
ditanya, “Ya Rasulullah,  siapakah orang-orang yang asing itu ?”.
Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”. [HR.
Ibnu Majah dan Thabrani]

5.       Mulailah dari diri sendiri (ibda’ binafsik).
Tak ada
perubahan besar yang terjadi secara tiba-tiba.Sering
kali ia dimulai dari sesuatu yang sangat sederhana. Maka ubahlah dirimu,
niscaya engkau telah mengambil bagian dalam mengubah dunia dan peradaban. Empat
belas abad silam, Rasulullah saw pun telah mengingatkan;ibda’ binafsik(mulailah 
segala sesuatu itu dari dirimu sendiri).
Imam Asy Syahid Hasan Al Banna juga menegaskan pentingnya hal ini
sebagaimana ungkapan beliau, “ashlih nafsaka wad’u ghairaka… 
(perbaikilah dirimu sendiri kemudian serulah orang lain).” Beliau juga
menerangkan bahwa orang yang tidak memiliki sesuatu maka tak bisa memberikan
apapun pada orang lain, “faqidusy syai’ laa yu’tiih”
Pembinaan pribadi dan keluarga adalah dua hal yang sering terlupakan dalam
upaya kita menegakkan nilai-nilai islam di negeri ini. Padahal sudah diketahui
umum, bahwa sebuah masyarakat itu dibangun dari kumpulan individu dan keluarga.
Nah, bila kita menginginkan dan mengharapkan perubahan besar negeri ini,
pemimpinnya, masyarakatnya, maka kitalah yang harus memulai perubahan itu agar
menjadi pelaku dan pelopor kebaikan.
 
6.       Sampaikanlah kepada orang lain (dakwah), dahulukan keluarga terdekat.
Tahukah
Anda bahwa begitu besar dan banyaknya keutamaan berdakwah ini bagi kita.
Mensosialisasikan kesadaran halal bagi masyarakat merupakan salah satu bentuk
dakwah. Untuk lebih memotivasi kita semua, berikut adalah beberapa keutamaan
kita berdakwah tersebut:
·         Sebagai
Amalan terbaik.
“Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal shalih, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang menyerah diri?” (QS. Fushilat : 33)
 
Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan:
“Wahai
Ali, sesungguhnya Allah swt menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu,
maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya
(lebih baik dari dunia dan isinya). (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
 
·         Pahala
dakwah tidak terputus walau kita sudah mati
“Jika
manusia mati terputuslah darinya amalnya kecuali tiga hal : shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim).
Maka ilmu yang disebarkan oleh
seorang dalam rangka menyeru kepada Allah, dengan berbagai cara dan media,
pahalanya akan senantiasa mengalir dan memberikan manfaat hingga hari kiamat
kelak.
 
·         Mendapatkan
Pahala dari orang yang mengikuti seruan kita(passive income pahala)
“Siapa yang mencontohkan
perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang
lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya
tanpa dikurangi sedikit pun pahala mereka yang mencontoh nya. Dan barangsiapa
mencontohkan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain,
maka akan ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa
mengurangi mereka yang menirunya. (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah ra).
 
 
·         Dido’akan
oleh penghuni langit dan bumi
Rasulullah
saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt memberi banyak kebaikan, para
malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan
ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang
lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili).
 
Semoga tulisan
sederhana ini memberikan sedikit pencerahan dan motivasi kepada kita dalam
menghadapi dilema sulitnya melindungi diri dari yang haram.
 
Jadi orang asing???... Siapa takut!!?
 
*****

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke