Assalamu’alaikum wr. wb.
Ada sebuah tulisan lama yang saya sampai saat ini, jika saya baca,ulang tetap 
saja menggetarkan dan mengetuk hati saya. Mohon ijin untuk saya sharingkan 
kembali kepada rekan-rekan semua, khususnya bagi yang belum pernah membacanya. 
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wrwb………

DIBALIK KERUDUNG
Sebelum aku memulai cerita aku ini, izinkanlah aku untuk memohon maaf apabila 
ada pihak-pihak yang tidak berkenan dengan cerita aku ini, terutama keluargaku. 
Untuk itu nama-nama orang dan tempat tidak akan aku sebutkan. Aku ucapkan 
terimakasih untuk Retno (bukan nama sebenarnya) dari Univ. T. di kotaku yang 
mau menuliskan kisah sejati aku ini. Semoga kisah sejati aku
 ini menjadi inspirasi buat orang yang membacanya atau mengalami hal yang sama. 
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah pada kita semua.
Aku, panggil saja "Mawar", berusia 30an tahun, dilahirkan di sebuah pulau di 
seberang pulau Jawa, di kota P. Aku lahir sebagai anak terakhir dari 4 
bersaudara. Kakakku yg pertama dan kedua laki-laki, sedangkan yang ketiga 
perempuan. Kami berasal dari keluarga keturunan dan kami merupakan generasi ke 
4 yang sudah menetap di negeri ini. Kakek buyut kami merupakan pendatang dari 
negeri jauh dari seberang di awal abad 20. Keluarga kami memulai bisnis 
benar-benar dari bawah. Menurut cerita orang tua kami, dulu kakek buyut kami 
hanya berjualan dengan pikulan bahan-bahan kebutuhan pokok seperti gula, garam, 
beras dll. keluar masuk kampung.
Usahanya baru berkembang dengan pesat setelah pada tahun-tahun awal setelah 
kemerdekaan, pemerintah pada waktu itu mulai menggalakkan usaha yang dilakukan 
oleh bangsa
 sendiri/pribumi. Waktu itu dikenal istilah AliBaba. Ali untuk pangggilan 
pribumi, sedangkan Baba untuk warga keturunan seperti kami. Waktu itu pengusaha 
pribumi asli diberikan kemudahan perizinan usaha, bahkan mengimport dari 
negara-negara lain, tapi umumnya mereka tidak punya banyak modal. Waktu itu 
banyak warga keturunan yang mempunyai banyak modal kemudian membeli ijin usaha 
yang diperoleh para pribumi tersebut, sehingga mereka secara mudah melakukan 
export import dengan negeri-negeri tetangga (Singapura, Malaysia, Hongkong, 
dll) yang pada waktu itu memang juga dikuasai olah warga dari etnis kami.
Singkat cerita, bisnis keluarga kami benar-benar menjadi semakin besar dan 
merambah ke segala bidang, mulai dari pertambangan, tambang emas, property, 
perkebunan, dll. Boleh dibilang kekayaan keluarga kami sudah diatas rata-rata 
dari orang kaya di negeri ini, above than ordinary rich.
Harta kekayaan kami yang amat melimpah itu sampai-sampai membuat
 orang tua kami kadangkala risau seandainya kami sekeluarga (tiba-tiba) 
meninggal sehingga tidak ada yang mengurus harta yang sedemikian banyaknya itu. 
Untuk itu kami sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan dengan pesawat 
secara bersama-sama. Andai kami sekeluarga akan melakukan liburan pada saat dan 
tempat yang sama, maka biasanya kami dibagi menjadi 2 atau 3 penerbangan, papa 
dan mama satu pesawat, dan kami sisanya juga dibagi 2 penerbangan yang lain. 
Sehingga apabila terjadi sesuatu musibah, maka akan tetap ada bagian keluarga 
kami yang masih selamat, dan tetap bisa mengurus bisnis dan kekayaan kami. Aku 
sengaja cerita panjang lebar tentang latar belakang keluarga kami, sebab ini 
akan berhubungan sekali secara emosi dengan kisah aku selanjutnya.
Papa kami lahir dan dibesarkan di pulau ini, selepas sekolah menengah atas 
beliau melanjutkan sekolah bisnis di negeri H, sehingga begitu kembali ke 
negeri ini, beliau manjadi business man yang amat
 handal, dan mempunyai banyak teman-teman bisnis di berbagai negara. Papa 
sebenarnya orang yang rendah hati, pendiam, bicaranya terukur dan seperlunya, 
jarang marah pada anak-anaknya. Sedangkan mama, sebenarnya berasal dari pulau 
lain, dia dulu pernah bekerja pada perusahaan kakek kami (orang tua dari papa), 
sebelum akhirnya bertemu papa dan menikah. Mama orangnya keras, pintar, lincah, 
banyak pergaulan, sehingga kadang kami berpikir, papa seperti takluk pada mama. 
Banyak kebijakan perusahaan yang berasal dari ide mama, dan memang selalu 
sukses. Papa dan mama memang pasangan yang serasi, saling mengisi kekurangan.
Masa kecil aku lalui dengan penuh kebahagiaan, dan sejak SD sampai SMA aku 
disekolahkan disebuah sekolah swasta terkemuka di kota kami, yang siswanya 
banyak berasal dari anak-anak pejabat, bupati, gubernur, dll. Aku berbaur 
dengan siapapun tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang 
untuk mampir bermain ke rumah mereka (anak
 bupati, gubernur) sepulang sekolah, sehingga aku mengenal lebih dekat dengan 
keluarga mereka. Ini pula yang kelak bermanfaat buat perusahaan keluarga aku.
Di sekolah kami, ada pelajaran agama untuk tiap-tiap pemeluknya. Pada saat itu 
setiap ada jadwal pelajaran agama tertentu, maka bagi pemeluk agama yang lain 
diperbolehkan keluar kelas, tapi boleh juga tetap tinggal di kelas apabila 
memang menghendaki. Jadi misalnya hari ini giliran pelajaran agama Islam, maka 
murid-murid non muslim diperbolehkan meninggalkan kelas, begitupula sebaliknya 
apabila ada pelajaran agama lain. Tapi aku sendiri sering tetap tinggal di 
kelas mendengarkan apa yang diajarkan ibu guru agama Islam di kelas kami.
Entah kenapa aku yang sejak lahir dididik secara non muslim, bahkan tiap minggu 
aku beribadah di tempat ibadah kami, merasa tertarik dengan ajaran agama Islam. 
Aku sendiri tak tahu datangnya dari mana. Semacam ada panggilan dari hati aku 
yang paling dalam, tapi saat
 itu aku pikir mungkin itu hanya rasa keingin-tahuan semata, bukan mendalami 
secara jauh dan mendalam. Tiap mendengar azan, entah kenapa hati aku selalu 
bergetar. Dirumah kami yang besar, kadang hanya aku seorang diri, orang tua 
kami selalu sibuk di Jakarta sehingga hanya beberapa hari di rumah dalam 
sebulan. Kakak-kakak aku ada yang sudah kuliah di luar negeri, sehingga rumah 
yang mempunyai 6 kamar yang besar-besar - yang seharusnya cukup untuk menampung 
20 orang - hanya dihuni oleh aku sendiri. Pembantu, sopir, satpam, tinggal di 
paviliun khusus untuk mereka yang terletak terpisah dengan rumah induk. Dalam 
kesunyian itu hati aku merasa sejuk setiap mendengar ayat suci Al Quran yang 
kadang
 tak sengaja aku dengarkan di TV.
(Kisah selengkapnya, klik disini)





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke