Wasiat Nabi : Jangan Marah

(Syarh Hadits Ke-16 Arbain anNawawiyyah)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata 
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Berilah wasiat kepadaku”. Sabda 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah engkau marah”. Maka diulanginya 
permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau: “Janganlah engkau marah”.(HR. 
al-Bukhari)

PENJELASAN HADITS

Seorang laki-laki datang kepada Nabi dan meminta  diberi wasiat. Nabi 
mewasiatkan kepadanya untuk jangan marah. Hal itu diulangi beberapa kali, 
menunjukkan pentingnya wasiat tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa menahan 
amarah memiliki kedudukan, manfaat, dan keutamaan yang tinggi. Sebagian ulama’ 
menyatakan bahwa wasiat Nabi disesuaikan dengan keadaan orang yang meminta 
wasiat. Orang yang meminta wasiat tersebut adalah seorang pemarah, maka Nabi 
memberikan wasiat kepadanya agar jangan marah.

“Janganlah engkau marah”, kata sebagian para Ulama’ mengandung 2 makna:

1. Latihlah dirimu untuk senantiasa bersikap sabar dan pemaaf, jangan jadi 
orang yang mudah marah.
2. Jika timbul perasaan marah dalam dirimu, kendalikan diri, tahan ucapan dan 
perbuatan agar jangan sampai terjadi hal-hal yang engkau sesali nantinya. Tahan 
diri agar jangan sampai berkata atau berbuat hal-hal yang tidak diridhai Allah.
(disarikan dari penjelasan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di)

MARAH SUMBER KEBURUKAN

Dalam hadits riwayat Ahmad, laki-laki yang meminta wasiat kepada Nabi itu 
berkata: “(kemudian aku memikirkan wasiat Nabi tersebut), ternyata kemarahan 
adalah mencakup keburukan seluruhnya”.

Jika seseorang marah dan tidak berusaha untuk mengendalikannya, ia akan 
berbicara atau berbuat di luar kesadaran sehingga nanti akan ia sesali. Betapa 
banyak kalimat talak diucapkan suami karena marah, dan setelah kemarahannya 
mereda ia sangat menyesal. Ada juga orangtua yang sangat marah kepada anaknya 
sehingga memukul dan menganiayanya, akibatnya anaknya menjadi cacat. Betapa 
banyak kemarahan menyebabkan hubungan persaudaraan menjadi putus, harta benda 
dirusak dan dihancurkan. Semua itu menunjukkan bahwa kemarahan yang tidak 
dikendalikan akan menyebabkan keburukan-keburukan.

KEUTAMAAN MENAHAN AMARAH

Menahan amarah adalah sebab memperoleh ampunan Allah dan surga-Nya:

Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang lebarnya 
(seluas) langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, yaitu orang 
yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang atau susah, dan orang-orang yang 
menahan amarah, dan bersikap pemaaf kepada manusia, dan Allah mencintai 
orang-orang yang berbuat baik (Q.S Ali Imran:133-134)

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Janganlah engkau marah, niscaya engkau mendapat surga (H.R at-Thobarony dan 
dishahihkan oleh al-Mundziri)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

Barangsiapa yang menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, Allah 
akan panggil ia di hadapan para makhluk pada hari kiamat, hingga Allah 
menyuruhnya untuk memilih bidadari (terbaik) yang ia inginkan (H.R Abu Dawud, 
atTirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata: Tidak ada luapan yang lebih 
besar pahalanya di sisi Allah selain daripada luapan kemarahan yang ditahan 
oleh seseorang hamba demi menggapai wajah Allah (riwayat al-Bukhari dalam 
Adabul Mufrad)

APA YANG HARUS DILAKUKAN KETIKA MARAH

Jika seseorang mulai tersulut emosinya untuk marah, hal yang harus dilakukan 
untuk menahan atau meredakan kemarahan adalah:

1. Diam, tidak berkata apa-apa

Jika engkau marah, diamlah (H.R al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan 
Syaikh al-Albany).

2. Mengingat-ingat keutamaan yang sangat besar karena menahan amarah.

3. Mengucapkan ta’awwudz: A’udzu billaahi minasysyaithoonir rojiim.

Nabi pernah melihat dua orang bertikai dan saling mencela, sehingga timbul 
kemarahan dari salah satunya. Kemudian Nabi menyatakan:Aku  sungguh tahu suatu 
kalimat yang bisa menghilangkan (perasaan marahnya):A’udzu billaahi 
minasysyaithoonir rojiim (H.R al-Bukhari dan Muslim)

4. Merubah posisi : dari berdiri menjadi duduk, dari duduk menjadi berbaring.

Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri hendaknya ia duduk. 
Jika dengan itu kemarahan menjadi hilang (itulah yang diharapkan). Jika masih 
belum hilang, hendaknya berbaring (H.R Abu Dawud)

Faidah : hadits yang menyatakan bahwa jika seseorang marah hendaknya berwudhu’ 
dilemahkan oleh sebagian Ulama’ di antaranya Syaikh al-Albany dalam Silsilah 
al-Ahaadits ad-Dhaifah no 582.

MARAH DALAM HAL SYARIAT ALLAH DILANGGAR

Bukanlah artinya seseorang tidak boleh marah sama sekali. Marah ketika ada 
penyelisihan terhadap syariat Allah adalah suatu hal yang diharapkan.

Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membalas perlakuan 
buruk terhadap diri pribadi beliau, namun jika ada penyelisihan terhadap 
syariat Allah, beliau bersikap marah dan bertindak dengan tegas. Kemarahan 
beliau adalah karena Allah.

Ummul Mu’minin ‘Aisyah –radliyallaahu ‘anha- menyampaikan kepada kita:

“ Tidaklah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam diberi pilihan di antara 2 
hal kecuali beliau ambil yang paling mudah di antara keduanya selama tidak ada 
(unsur) dosa. Jika ada(unsur) dosa, beliau adalah manusia yang paling jauh 
darinya. Tidaklah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam membalas (ketika 
disakiti) untuk dirinya sendiri, namun jika hal-hal yang diharamkan Allah 
dilanggar, beliau membalas untuk Allah ‘Azza wa Jalla “(H.R AlBukhari-Muslim)

Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah marah ketika melihat ada 
gambar makhluk bernyawa di rumahnya, kemudian beliau bersabda:

Sesungguhnya para Malaikat (penyebar rahmat) tidaklah masuk ke rumah yang di 
dalamnya ada gambar (makhluk bernyawa), dan barangsiapa yang menggambar 
(makhluk bernyawa) akan diadzab pada hari kiamat dan dikatakan kepadanya: 
Hidupkan makhluk yang kalian ciptakan (H.R al-Bukhari no 2985).

Sumber: http://www.salafy.or.id/wasiat-nabi-jangan-marah/


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke