Assalamu'alaikum wr wb,

Menghormati dan Mengikuti Ulama Pewaris Nabi

Kita tidak bisa belajar Islam langsung dari Al Qur’an dan Hadits. Saat Allah 
menurunkan Al Qur’an pun Allah tidak menurunkannya langsung dalam bentuk buku 
kepada manusia. Tetapi secara bertahap ayat demi ayat melalui Nabi Muhammad SAW 
selama 23 tahun. Nabi menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an tersebut serta memberi 
contoh bagaimana cara melaksanakan perintah Allah seperti Sholat, Puasa, Zakat, 
dsb.

Firman Allah:

“…Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak mengetahui” [An Nahl 43]

Nah kita kalau tak tahu harus bertanya kepada Ulama yang senang berzikir kepada 
Allah. Bukan ulama Su’ yang lupa kepada Allah.

Allah meninggikan ulama dibanding orang2 awam. Pemahaman Ulama terhadap Al 
Qur’an dan Hadits atau masalah, itu lebih baik daripada pemahaman orang-orang 
awam:

” ….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang 
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa 
yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58] : 11)

Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang 
tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima 
pelajaran. Az-Zumar [39]: 9).

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah 
ulama”. (TQS.Fathir [35]: 28)

„Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak 
mengetahui? (Az-Zumar:9)

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang 
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah:11)

Kita harus memuliakan apa yang dimuliakan Allah:

“Demikianlah, dan barangsiapa mengagungkan perkara-perkara yang dihormati oleh 
Alloh, maka hal itu lebih baik baginya di sisi Alloh.” [al-Hajj: 30]

“Demikianlah, dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Alloh, maka sesungguhnya 
hal itu termasuk ketakwaan hati.” [al-Hajj: 32]

Muliakanlah Ulama:

Dari Abu Musa r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Setengah daripada 
cara mengagungkan Allah Ta’ala ialah dengan jalan memuliakan orang Islam yang 
sudah beruban serta orang yang hafal al-Quran yang tidak melampaui batas 
ketentuan -dalam membacanya- dan tidak pula meninggalkan membacanya. Demikian 
pula memuliakan seorang sultan -penguasa pemerintahan yang adil-.” Hadits hasan 
yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari neneknya r.a., katanya: “Rasulullah 
s.a.w. bersabda: “Tidak termasuk golongan kita -umat Islam- orang yang tidak 
belas kasihan kepada golongan kecil diantara kita -baik usia atau kedudukannya- 
serta tidak termasuk golongan kita pula orang yang tidak mengerti kemuliaan 
-cara memuliakan- yang tua diantara kita.” hadits shahih yang diriwayatkan oleh 
Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah 
hadits hasan shahih.

Allah juga menyatakan bahwa hanya dengan ilmu orang bisa memahami perumpamaan 
yang diberikan Allah untuk manusia.

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada 
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al ‘Ankabut:43)

Tuhan juga menegaskan hanya dengan ilmulah orang bisa mendapat petunjuk Al 
Qur’an.

“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat2 yang nyata di dalam dada orang-orang 
yang diberi ilmu” (Al Ankabut:49)

Dalam Kitab Ihya ‚Uluumuddiin susunan Imam Al Ghazali disebut bahwa Nabi 
berkata: „Di akhirat nanti tinta ulama ditimbang dengan darah para syuhada. 
Ternyata yang lebih berat adalah tinta ulama!“

Nabi Muhammad SAW juga sangat menghargai orang yang berilmu.

“Ulama adalah pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat di HR Abu 
Dawud.

Bahkan Nabi tidak tanggung2 lebih menghargai seorang ilmuwan daripada satu 
kabilah. “Sesungguhnya matinya satu kabilah itu lebih ringan daripada matinya 
seorang ‘alim.” (HR Thabrani)

Hilangnya ilmu bukan karena ilmu itu dicabut oleh Allah. Bukan karena Kitab Al 
Qur’an dan Hadits menghilang dari peredaran. Tapi hilang dengan wafatnya para 
Ulama yang menguasai ilmu tersebut.

Hadis riwayat Abdullah bin Amru bin Ash ra., ia berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak 
mengambil ilmu dengan cara mencabutnya begitu saja dari manusia, akan tetapi 
Allah akan mengambil ilmu dengan cara mencabut (nyawa) para ulama, sehingga 
ketika Allah tidak meninggalkan seorang ulama pun, manusia akan mengangkat 
pemimpin-pemimpin yang bodoh yang apabila ditanya mereka akan memberikan fatwa 
tanpa didasarkan ilmu lalu mereka pun sesat serta menyesatkan. (Shahih Muslim 
No.4828)

Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggut tetapi 
dengan mewafatkan para ulama sehingga tidak lagi tersisa seorang alim. Dengan 
demikian orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang dungu lalu ditanya dan 
dia memberi fatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. 
(Mutafaq’alaih)

Sehingga akhirnya orang-orang bodoh yang tidak faqih lah yang membaca kitab Al 
Qur’an dan Hadits dengan pemahaman yang keliru.

Seorang ‘alim juga lebih tinggi dari pada seorang ahli ibadah yang sewaktu2 
bisa tersesat karena kurangnya ilmu.

“Keutamaan orang ‘alim atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaan diriku 
atas orang yang paling rendah dari sahabatku.” (HR At Tirmidzi).

Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat 
bulan purnama terhadap seluruh bintang. (HR. Abu Dawud )

Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya 
jalan ke surga. (HR. Muslim)

Duduk bersama para ulama adalah ibadah. (HR. Ad-Dailami)

Termasuk mengagungkan Allah ialah menghormati (memuliakan) ilmu, para ulama, 
orang tua yang muslim dan para pengemban Al Qur’an dan ahlinya[1], serta 
penguasa yang adil. (HR. Abu Dawud dan Aththusi)

Jangan merendahkan ulama:

Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan 
untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan 
pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan 
untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka 
baginya neraka … neraka. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Saat ini ada beberapa “ulama” yang pendapatnya bukan cuma berbeda. Tapi 
bertentangan. Bahkan ada yang saling mengkafirkan satu sama lain. Nah, ulama 
manakah yang harus kita ikuti?

Imam Al Ghazali membagi ulama jadi 2: 1. Ulama Akhirat yang lurus, 2. Ulama Su’ 
/ Ulama Dunia yang jahat dan sesat.

Saat itu terjadi, ikutilah Jumhur/Mayoritas Ulama. Karena merekalah yang lurus:

“Untuk golongan kanan, yaitu segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. 
dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian.” [Al Waaqi'ah 38-40]

Mungkin ada yang berpendapat dengan mengutip ayat bahwa sebagian besar MANUSIA 
sesat. Mereka tidak paham yang disebut adalah SEBAGIAN BESAR MANUSIA. Bukan 
SEBAGIAN BESAR MUSLIM. Kalau Muslim, sebagaimana ayat di atas, sebagian besar 
adalah lurus. Justru sebagian kecil/firqoh itulah yang sesat. Ada tambahan 
dalilnya:

Dua orang lebih baik dari seorang dan tiga orang lebih baik dari dua orang, dan 
empat orang lebih baik dari tiga orang. Tetaplah kamu dalam jamaah. 
Sesungguhnya Allah Azza wajalla tidak akan mempersatukan umatku kecuali dalam 
petunjuk (hidayah) (HR. Abu Dawud)

Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Karena itu jika terjadi 
perselisihan maka ikutilah suara terbanyak. (HR. Anas bin Malik)

Kekuatan Allah beserta jama’ah (seluruh umat). Barangsiapa membelot maka dia 
membelot ke neraka. (HR. Tirmidzi)

Jika ada “ulama akhir zaman” yang mencaci ulama Salaf misalnya Imam Abu Hasan 
Al Asy’ari yang hidup di abad 3 Hijtriyah, maka ulama akhir zaman itulah yang 
sesat:

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang sesudah 
mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).”

dalam lafazh lain disebutkan bahwa,

“Sebaik-baik zaman adalah zamanku (zaman para sahabat), kemudian yang 
setelahnya (zaman tabi’in), kemudian yang setelahnya (zaman tabi’ut tabi’in).”
(HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533 hadits ini adalah Mutawatir)

Meski demikian, kita tidak boleh taqlid buta kepada para ulama. Khususnya para 
Ulama Firqoh/Sempalan yang pendapatnya bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits 
serta Jumhur Ulama:

Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka 
mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk 
apa yang telah mereka kerjakan itu. “ [Al Maa-idah:63]

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan 
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal 
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak 
disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. “ [At 
Taubah:31]

Hati-hati pula kepada Dai Neraka yang malah mengajak kita masuk neraka. Saat 
Allah melarang kita untuk Su’u Zhon, Ghibah, Fitnah, Mengkafirkan sesama 
Muslim, membunuh sesama Muslim, mereka justru mengajak kita melakukan itu meski 
mereka mengaku-ngaku sebagai menegakkan Tauhid, Menghidupkan Sunnah, dsb. 
Padahal apa yang mereka lakukan bertentangan dengan Al Qur’an:

Dari Hudzaifah Ibnul Yaman ra berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah SAW 
tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena 
khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, 
sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh 
mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan?

Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang 
kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”.

Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang 
mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. 
Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”.

Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, 
dai – dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, 
maka akan dilemparkan ke dalamnya.

Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau 
bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa 
kita”.

Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau 
bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”.

Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?”

Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok 
pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. 
(Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh 
Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 
4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 
391-399)

Jadi jika antar firqoh2 itu saling bermusuhan, bertentangan, bahkan saling 
bunuh, hindari firqoh2 tersebut agar kita tidak tersesat. Jauhi 
Fitnah/Pembunuhan:

Jangan mendekati fitnah jika sedang membara dan jangan menghadapinya bila 
sedang timbul, bersabarlah bila fitnah datang menimpa. (HR. Ath-Thabrani)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Akan terjadi fitnah di mana orang yang duduk 
(menghindar dari fitnah itu) lebih baik daripada yang berdiri dan orang yang 
berdiri lebih baik daripada yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik 
daripada yang berlari (yang terlibat dalam fitnah). Orang yang mendekatinya 
akan dibinasakan. Barang siapa yang mendapatkan tempat berlindung darinya, 
hendaklah ia berlindung. (Shahih Muslim No.5136)

Fitnah juga akan muncul dari arah Timur (Najd – di antaranya kota Riyadh):

Ibnu Umar berkata, “Nabi berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam 
dan Yaman kami.’ Mereka berkata, Terhadap Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, 
berkahilah Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, ‘Dan Najd kami.’ Beliau 
berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam. Ya Allah, berkahilah kami 
pada negeri Yaman.’ Maka, saya mengira beliau bersabda pada kali yang ketiga, 
‘Di sana terdapat kegoncangan-kegoncangan (gempa bumi), fitnah-fitnah, dan di 
sana pula munculnya tanduk setan.’” [HR Bukhari]

Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda sambil menghadap ke arah timur: 
Ketahuilah, sesungguhnya fitnah akan terjadi di sana! Ketahuilah, sesungguhnya 
fitnah akan terjadi di sana. Yaitu tempat muncul tanduk setan. (Shahih Muslim 
No.5167)

Dari ‘Abdullah dari Abu Sa’id mawla bani hasyim dari Uqbah bin Abi Shahba’ dari 
Salim dari ‘Abdullah bin Umar berkata:

Rasulullah SAW mengerjakan shalat fajar kemudian mengucapkan salam dan 
menghadap kearah matahari terbit seraya bersabda “fitnah datang dari sini, 
fitnah datang dari sini dari arah munculnya tanduk setan” [Musnad Ahmad 2/72 no 
5410 dengan sanad shahih]



Ciri-ciri Ulama yang lurus pewaris Nabi adalah memiliki Akhlaq yang mulia 
seperti Nabi:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik 
bagimu…” [Al Ahzab 21]

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap 
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka 
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah 
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…” [Ali 
'Imran 159]

Nabi berdakwah dengan cara yang baik. Tidak kasar dan menebar kebencian:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik 
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS An-Nahl: 125).

Bahkan terhadap Yahudi yang kafir dan dilaknat Allah pun Nabi tidak 
menggeneralisir semuanya kafir dan memaki mereka dengan kata2 kafir dsb. Tapi 
mendakwahi mereka dengan lembut sehingga banyak orang2 Yahudi seperti Abdulllah 
bin Salam dsb masuk Islam:

Anas r.a. berkata, “Ada seorang Yahudi melayani Nabi, kemudian ia jatuh sakit. 
Maka, Nabi datang menjenguknya, duduk di dekat kepalanya seraya bersabda 
kepadanya, ‘Masuk Islamlah.’ Lalu, ia melihat ayahnya yang ada di sisinya. 
Ayahnya berkata kepadanya, ‘Taatilah Abul Qasim saw.’ Lalu ia masuk Islam, 
kemudian Nabi keluar seraya mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah 
menyelamatkan ia dari neraka.’

“Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” 
(HR. al-Bukhari, 10/378 dan Muslim no. 2321)

Sebaliknya orang yang kasar dan kaku/ekstrim dan suka mengadu-domba ummat Islam 
sehingga saling berkalahi/bunuh jangan diikuti. Karena itu cuma menyeret kita 
ke neraka:

“Tidak akan masuk jannah orang yang kasar dan kaku.” (HR. at-Tirmidzi)

Nabi senang mendamaikan sesama Muslim. Bukan justru mengadu-domba mereka karena 
tidak akan masuk surga orang yang gemar mengadu-domba.

“Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak dapat masuk surga seorang yang gemar 
mengadu domba.” (Muttafaq ‘alaih)

Allah Ta’ala berfirman: “Jangan pula engkau mematuhi orang yang suka mencela, 
berjalan membuat adu domba.” (al-Qalam: 11)

Begitu pula “Ulama” yang mudah mengkafirkan sesama Muslim, padahal menurut 
Jumhur/Mayoritas Ulama mereka tidak kafir/sesat, jangan diikuti karena 
bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, 
maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan 
“salam” kepadamu (atau mengucapkan Tahlil): “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu 
kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena 
di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu [dulu 
juga kafir], lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. 
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” [An Nisaa' 94]

Tiga perkara berasal dari iman: (1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan 
“Laailaaha illallah” karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya 
dari Islam karena sesuatu perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak 
Allah mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal 
tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang 
adil; (3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)


Jangan mengkafirkan orang yang shalat karena perbuatan dosanya meskipun (pada 
kenyataannya) mereka melakukan dosa besar. Shalatlah di belakang tiap imam dan 
berjihadlah bersama tiap penguasa. (HR. Ath-Thabrani)

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia 
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama 
mereka...” [Al Fath 29]

Kalau ada “Ulama” yang memfitnah Muslim lainnya sebagai Musyrik, dialah yang 
musyrik:

“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah 
membaca (menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebagusannya 
terhadap al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’ân, 
membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang 
dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah 
yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau 
menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân 
dan al-Bazzâr. Disahihkan oleh Albani dalam ash-Shahîhah, no. 3201)

Jauhi juga “Ulama” yang menghasud untuk membunuh sesama Muslim sejalan dengan 
kepentingan Yahudi dan Nasrani:

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya 
(orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya 
berkata: “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan 
mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari 
sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka 
rahasiakan dalam diri mereka.” [Al Maa-idah 52]

Kirim email ke