Tujuan Penciptaan Makhluk

Jika kita adakan sensus akbar di masyarakat Indonesia Raya dari Sabang sampai 
Merauke tentang alasan dan ghoyah (tujuan) Allah dalam menciptakan makhluk 
–khususnya, jin dan manusia-, maka banyak orang yang akan pusing mencari 
jawabannya. Ada yang terbata-bata, dan gagap serta diselimuti keraguan dalam 
memberikan jawaban tentang hal itu. Bahkan ada orang merasa aneh mendengar 
pertanyaan tersebut !!! Padahal Allah telah lama menjelaskan dalam Kitabullah 
Al-Aziz.

Lantaran itu, pembaca akan melihat keajaiban yang luar biasa saat melihat ada 
manusia yang melupakan asal, dan ghoyah penciptaan dirinya. Tak heran jika di 
sana terlihat ada sekelompok manusia –karena lalainya tentang hal itu- 
menyibukkan diri menumpuk harta, dan sibuk dengan pekerjaannya, tanpa 
memperhatikan hak-hak Allah -Ta’ala- atas dirinya. Dia menyangka bahwa dirinya 
akan hidup seribu tahun di dunia yang fana ini. Dia bekerja, dan menumpuk 
harta, tanpa memperhatikan apakah harta yang ia peroleh halal atau haram! 
Kehidupannya dilumuri dengan maksiat, dan pelanggaran. Dia lalai sampai ia tak 
lagi memperhatikan ridho dan cinta Allah di balik kesibukan dan pekerjaannya. 
Orang yang seperti ini amat bakhil dengan hartanya, sebab ia tak lagi merasa 
diawasi oleh Allah; ia amat berani melakukan dosa dan pelanggaran.

Padahal penciptaan dirinya sebagai makhluk ialah hanya untuk beribadah kepada 
Allah -Ta’ala- sebagaimana dalam firman-Nya,

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah 
kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzaariyaat : 56).

Lantas apa itu IBADAH ? Apakah ibadah itu hanya berupa sholat, membaca 
Al-Qur’an, berdzikir, haji, dan puasa?! Tidak, sama sekali tak demikian. Bahkan 
ia adalah kata yang mencakup segala bentuk ketaaan kepada Allah Robbul alamin.

Al-Imam Al-Marwaziy -rahimahullah- berkata, “Perkara yang telah dimaklumi dalam 
bahasa, dan di sisi para ulama bahwa ibadah kepada Allah adalah pendekatan diri 
kepada-Nya, dengan mentaati-Nya, dan bersungguh dalam hal itu”. [Lihat Ta'zhim 
Qodr Ash-Sholah (1/345)]

Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para 
ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ibadah. Tapi mayoritas ulama 
berkata,”Ibadah adalah ketaatan kepada Allah -Ta’ala-. Sedang ketaatan itu 
adalah mencocoki perintah Allah”. [Lihat Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab (1/313)]

Ulama’ Syafi’iyyah lainnya, Al-Imam As-Suwaidiy -rahimahullah- berkata berkata, 
“IBADAH adalah nama yang mencakup bagi segala sesuatu yang dicintai dan 
diridhoi oleh Allah berupa ucapan, dan perbuatan yang nampak, maupun yang 
tersembunyi”. [Lihat Al-Aqd Ats-Tsamin (hal.69)]

Jadi, seorang dianggap beribadah kepada Allah, jika ia mau  melakukan 
amalan-amalan ketaatan, sebab amalan-amalan ketaatan itu dicintai oleh Allah. 
Diantara amalan ketaatan tersebut, seorang menjauhi perkara yang dibenci oleh 
Allah berupa maksiat, kekafiran, kesyirikan, bid’ah, dan segala hal yang haram. 
Maka setiap orang yang taat adalah orang yang beribadah, dan setiap amalan 
ketaatan adalah ibadah.

Olehnya, Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Yang dimaksud dengan 
IBADAH adalah mengamalkan ketaatan, dan menjauhi maksiat”. [Lihat Al-Fath 
(24/134)]

Diantara amalan ketaatan yang paling tinggi, dan agung adalah TAUHID 
(mengesakan Allah dalam beribadah), dan tidak berbuat SYIRIK (mengangkat 
tandingan bagi Allah dalam beribadah kepada-Nya).

Inilah hikmahnya Allah -Ta’ala- mengutus para rasul kepada ummat manusia, agar 
mereka mengajak manusia hanya beribadah kepada Allah, tanpa selainnya. Bahkan 
selainnya harus dijauhi. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), 
“Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu”. Maka di antara umat itu ada 
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya 
orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka 
bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan 
(rasul-rasul)”. (QS. An-Nahl: 36).

Al-Hafzih Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat mengomentari 
ayat ini, “Allah -Ta’ala- senantiasa mengutus rasul-rasul kepada ummat manusia 
dengan membawa misi tersebut sejak munculnya syirik di kalangan anak cucu Adam, 
yaitu di kalangan kaumnya Nabi Nuh yang telah diutus kepada mereka Nuh. Beliau 
adalah rasul pertama yang diutus oleh Allah kepada penduduk bumi sampai Allah 
menutup mereka dengan Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang dakwahnya 
meliputi jin dan manusia, baik di timur, maupun barat”. [Lihat *Tafsir Ibnu 
Katsir *(2/750)]

Jadi, para nabi dan rasul, semuanya mengajak agar kita men-tauhid-kan 
(mengesakan) Allah saat beribadah kepada-Nya. Artinya, seorang hanya beribadah 
kepada-Nya dengan mengamalkan amalan-amalan ketaatan, dan menjauhi maksiat, 
karena mencari pahala di sisi-Nya, dan karena takut siksaan-Nya.

Diantara amalan ketaatan dan ibadah yang tak boleh dipersembahkan kepada selain 
Allah, bahkan hanya untuk Allah adalah sholat, baca Al-Qur’an, puasa, berdo’a, 
meminta berkah (tabarruk), kesembuhan, meminta hajat, meminta perlindungan 
(isti’adzah), memohon pertolongan di kala susah (istighotsah), menyembelih 
hewan, bernadzar, dan lainnya. Semua amalan ini dikerjakan untuk Allah, karena 
mencari pahala dan ridho-Nya, bukan untuk selainnya !!!

Dengarkan, Allah -Ta’ala- berfirman memerintahkan TAUHID,

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan 
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”. (QS. 
Al-Israa’: 23).

Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata dalam Al-Qoul 
As-Sadid Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 14), “Al-Qur’an Al-Karim (yang ada di 
depan kita) ini,  sesungguhnya telah memerintahkan tauhid, menetapkannya dengan 
sebenarnya, dan menjelaskannya dengan sungguh-sungguh, serta mengabarkan bahwa 
tak akan ada keselamatan, keberuntungan, dan kebahagian, kecuali dengan tauhid 
ini; seluruh dalil aksiomatik, naqliy, dan kejiwaaan merupakan dalil dan 
keterangan tentang perintah dalam perkara tauhid, dan wajibnya”.

Jadi, jelas bahwa para nabi, dan juga kitab-kitab samawi, semuanya mewasiatkan, 
dan memerintahkan kita agar mengikhlaskan (memurnikan) ibadah hanya untuk 
Allah. Maka seorang yang bertauhid, hanya berdo’a kepada Allah, bukan kepada 
Wali Songo atau orang-orang sholeh, siapapun dia !! Sebab do’a adalah ibadah 
yang tak boleh dipersembahkan kepada selain Allah -Azza wa Jalla-. Jika seorang 
sakit atau tertimpa bencana, maka mintalah jalan keluarnya kepada Allah. Jika 
mau jodoh dan rezqinya dilancarkan, maka mintalah dan berdo’a kepada-Nya; 
jangan datang ke tempat-tempat “bertuah” atau tempat yang dikeramatkan. Tapi 
mintalah semata-mata kepada Allah Sang Maha Pencipta segala sesuatu. Allah 
-Ta’ala- berfirman,

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan 
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, 
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman 
sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai 
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (QS. An-Nisaa’: 36).

Ahli Tafsir Negeri Yaman, Al-Imam Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata memaknai 
ayat ini, “Maksudnya, janganlah kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa 
pun, tanpa ada bedanya antara yang hidup dan mati; antara benda mati, dan 
hewan”. [Lihat Fathul Qodir (1/699)]

Mempersekutukan Allah dengan siapapun dalam beribadah kepada-Nya merupakan 
perbuatan haram !! Ingatkah kalian, mengapa Allah mencela kaum Nasrani??! 
Karena mereka mempersekutukan Allah dengan Isa bin Maryam, dan ibunya sehingga 
Allah mengkafirkan orang-orang Nasrani tersebut,

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah 
ialah Al-Masih Putera Maryam”. Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani 
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan kalian”. Sesungguhnya orang yang 
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya 
surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu 
seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, 
“Sesungguhnya Allah salah seorang dari yang tiga”. Padahal sekali-kali tidak 
ada tuhan (yang haq), selain dari Tuhan yang Esa (Allah). Jika mereka tidak 
berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir 
diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak 
bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya ?. Dan Allah Maha Pengampun 
lagi Maha Penyayang. Al-Masih Putera Maryam itu hanyalah seorang rasul yang 
sesungguhnya telah berlalu sebelumnya
 beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa 
memakan makanan. Perhatikan bagaimana kami menjelaskan kepada mereka (ahli 
Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami). Kemudian perhatikanlah bagaimana mereka 
berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat kami itu). (QS. Al-Maa’idah : 72-75).

Para Pembaca yang budiman, perhatikan celaan Allah atas orang-orang Nasrani 
saat mereka mempersekutukan Allah dengan manusia terbaik di zamannya, yaitu 
Isa. Jika hal itu terlarang pada Isa, maka lebih utama jika kesyirikan 
terlarang pada selainnya diantara manusia yang disangka sholeh atau wali! 
Karena ibadah adalah hak khusus bagi Allah.

Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

“Dahulu aku pernah dibonceng Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- di atas 
seekor keledai yang bernama Ufair. Beliau bersabda,”Wahai Mu’adz, apakah engkau 
mengetahui hak Allah atas para hamba-Nya, dan hak para hamba atas Allah?” Aku 
katakan, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya 
hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka hanya mengibadahi Allah, dan tidak 
mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun (saat beribadah kepada-Nya), sedang 
hak hamba atas Allah adalah Allah tak akan menyiksa orang yang tak 
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”. Aku katakan, “Tidakkah perlu aku 
kabarkan tentang hal itu kepada manusia?” Beliau bersabda, “Jangan kau kabari 
mereka. Lantaran itu, mereka akan berpangku tangan”. [HR. Al-Bukhoriy dalam 
Shohih-nya (2856), Muslim (30), At-Tirmidziy (2645), dan Ibnu Majah (4296)]

Syaikh Ibnu Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata, “Jadi, tauhid adalah hak 
Allah yang wajib atas para hamba-Nya. Tauhid adalah perintah agama yang paling 
agung, prinsip yang paling fundamental, dan asas segala amalan”. [Lihat Al-Qoul 
As-Sadid (hal.14)]

Sumber: 
http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/tujuan-penciptaan-makhluk.html


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke