Sumber : http://www.rumahfiqih.com/art.php?id=59&=matang-sebelum-waktunya.htm
 
 
Matang Sebelum WaktunyaTweet  By : Ahmad Zarkasih, S.Sy. - [ baca semua tulisan 
] 
18 May 2013, 11:47:28 
Dibaca : 1372 kali | Baca Versi HP Disini 

Wassalamu'alaikum
Jagalah Hati Selalu
Wisnu
Saya terkejut dan bingung beberapa hari kemarin, ketika chat dengan salah 
seorang anak remaja yang masih dalam jenjang sekolah dari salah satu kota besar 
di seberang pulau sana. Rudi namanya, katakanlah demikian. 

Dia bilang dapat pin Blackberry saya dari internet setelah searching soal 
artikel syariah. Dia menambahkan kalau memang dia sering mencari-cari artikel 
agama di mesin pencari gugel itu. 

Awalnya chating kami biasa-biasa saja sama seperti kontak-kontak yang lainnya. 
Bertanya soal beberapa masalah syariah. Tapi makin lama, saya agak heran dan 
sepertinya khawatir. 

Dia tidak saja bertanya, tapi seakan mengkritik syariah karena banyaknya 
perbedaan di sana sini. Dia menemukan Islam di sekolah tidak seperti yang ia 
temukan di rumahnya dari kedua orang tua. Berbeda juga apa yang ia temukan di 
jalanan umum. 


Bukan seperti anak kebanyakan yang seumur dengannya, yang saya tangkap dari 
chat kami tadi siang, sepertinya dia matang sebelum waktunya. Artinya banyak 
materi agama yang rumit yang seharusnya tidak dan belum layak dilahap tapi 
sudah terlanjur masuk otaknya lebih dulu. 

Dia terlalu lihai untuk mengatakan "Kenapa tidak bersatu, dan kembali kepada 
Al-Quran?" Dia juga masih terlalu dini dan masih bau kencur untuk mengkritik 
para Imam mazhab yang berbeda pendapat dalam menentukan hukum-hukum fiqih, yang 
kebanyakan memang masalah ijtihadiy. 

Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan 
adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau dia membawa-bawa label 
"Kembali pada Qur'an dan Sunnah" kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, 
seakan-akan mereka semua tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.
 
Justru mereka orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding 
kita-kita yang masih berlabel "Muqollid", bahkan dengan starata taqlid paling 
rendah.

Keluar Kandang Macan, Masuk Kandang Singa

Dia bilang "Saya tidak mau terpaku dngn ajaran orang tua da guru saya. Saya mau 
mencari ajaran yg benar". Ini yang bikin saya makin khawatir. Dengan umur yang 
masih segitu, dia begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang 
memang seharusnya ia taqlid. 

Dia menolak untuk menerima sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari rumah, juga 
dari gurunya. Tapi statusnya masih riskan, karena setelah di cek, saya tidak 
mendapati dia sedang dalam bimbingan salah seorang ustadz atau guru agama. Sama 
sekali tidak ada. 

Dia menolak ajaran orang tua dan murid, tapi dia tidak punya pegangan untuk 
bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri. Akhirnya, yang dilakukan kembali 
mencari di jalanan dengan buka laptop, searching gugel dan akhirnya bertemu 
dengan ratusan bahkan ribuan hal yang sejatinya ia belum siap menerimanya 
semua. 

Ini sama saja seperti ia terbebas dari gangguan macan, tapi malah masuk kandang 
singa. Diluar dan didalam sama-sama bahayanya. 

Yang saya khawatir, nantinya dia besar menjadi muslim yang membenci para imam 
mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam ini sudah kita 
temui banyak disekitar kita sekarang. 

Dengan dalih "Kembali kapada al-quran dan sunnah", mereka dengan pongah berani 
mecemooh para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu memang benar-benar 
masalah yang sama sekali tidak berdampak negatif kalau kita berbeda didalamnya. 

Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang yang anti dengan syariahnya sendiri. 
Karena sejak kecil sudah terlalu matang dengan banyak keraguan di sana sini. 

Seperti orang yang belum matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah 
belajar perbandingan agama. Ujung-ujungnya dia jadi Atheism, karena banyak 
kerancuan yang dia temui. 

Sama juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian dia tiba-tiba 
belajar perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah 
dibanding-bandingkan. Ujung-ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa 
ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana saja. Jadi sebebas-bebasnya lah 
dia menfasirkan ini itu. 

Harus Belajar Satu Mazhab

Ini kewajiban bagi para orang tua, pendidik, guru, dan seluruh pemangku 
kepentingan yang bersentuhan langsung dengan anak-anak dalam urusan pendidikan 
agama.

Yaitu memberikan pengajaran fiqih kepada peserta didik dengan manhaj salah satu 
mazhab tertentu, tidak dicampuri-campur. Penguatan dengan kedalaman materi satu 
mazhab membuatnya nanti tidak goyah dan tidak kebingungan. 

Dan ini yang memang dipegang oleh para ulama sejagad raya ini. Anak-anak tidak 
serta merta diajak berfikir tentang ijtihad imam ini dan imam itu. Tapi mereka 
disodorin fiqih satu mazhab tertentu. Kalau di indonesia yaa mazhab syafi'I.

Karena otak mereka belum siap untuk menerima segala perbedaan. Bagaimana bisa, 
satu mazhab belum matang, kemudian masuk dalam perbandingan mazhab? 

Kemudian jangan biarkan anak-anak kita meluncur sendirian tanpa pembimbing 
dalam masalah agama. Membiarkannya mencari dengan kesiapan otak yang masih 
minim, ini suatu mudhorot yang harus dicegah bersama.

Sampai saat ini saya masih tidak memandang gugel sebagai sumber pencarian ilmu 
yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah dengan beliau itu yang 
diajarkan syariah dan jalan yang paling aman.

Wallahu A'lam

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke