Istidraj
Wednesday, 19 June 2013, 03:00 WIB 

Komentar : 0  

Blogspot.com 
 
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Ahmad Kusyairi Suhail, MA

Jika ada di antara kita, saat ini bergelimang banyak harta dan kemewahan atau 
meraih tahta dan menduduki jabatan bergengsi, jangan buru-buru mengucapkan 
Alhamdulilah, sebagai ungkapan syukur. Melainkan hendaknya, ia berkaca diri dan 
intropeksi. 

Sebab, apabila semua itu didapat dari korupsi, suap atau cara-cara haram 
lainnya, semua kemewahan dunia dan jabatan yang nyaman itu bukanlah ni'mah 
(nikmat) yang harus disyukuri, melainkan justru merupakan niqmah (malapetaka) 
yang mesti diwaspadai. 

Dalam terminologi syar'i (Islam) hal ini disebut dengan istidraj. Sebagaimana 
ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin 'Aamir 
RA, "Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas 
maksiat-maksiatnya, apa yang ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu adalah 
istidraj".

Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat 44 dari QS Al An'aam [6], yang artinya 
"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, 
Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila 
mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa 
mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa" 
(HR Ahmad no. 17349 dan dishahihkan Al Albani di As Silsilah Ash Shahihah no. 
414).

Hadits dan ayat di atas menggariskan sunnatullah dalam kehidupan pendosa dan 
pelaku maksiat. Terkadang Allah SWT membukakan beragam pintu rizki dan pintu 
kesejahteraan hidup serta kemajuan dalam banyak aspek kehidupan seperti 
termaktub dalam redaksi ayat di atas, "Kami pun membukakan semua pintu-pintu 
kesenangan untuk mereka". 

Bisa berbentuk kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, militer, 
kesehatan, kebudayaan, stabilitas keamanan dan lain sebagainya. 

Ini merupakan istidraj (mengulur-ulur) dan imlaa' (penangguhan) dari Allah bagi 
mereka sebagaimana firman Allah, "Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku 
(urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan 
menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang 
tidak mereka ketahui, Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya 
rencana-Ku amat tangguh" (QS Al Qalam [68]: 44-45).

Jadi, ketika ada orang yang tidak shalat, tidak puasa Ramadhan, hidup dalam 
kubangan maksiat, namun hidupnya makmur, sejahtera dan bergelimang banyak 
kemewahan, ini adalah istidraj. 

Ketika ada kelompok atau organisasi menghidupi kelompok dan organisasinya 
dengan uang haram, tapi kelihatannya tambah maju dengan semakin bertambah 
banyaknya anggota dan pendukungnya serta semakin meluasnya pengaruh dan 
cabang-cabangnya, ini pun termasuk istidraj. 

Ketika seseorang meraih pangkat dan jabatan atau kemenangan dengan cara-cara 
yang zhalim dan menghalalkan segala cara, sesungguhnya hal ini juga istidraj. 

Demikian pula, kalau ada negara yang kufur kepada Allah, menghalalkan apa yang 
diharamkan oleh Allah, melegalkan beragam bentuk maksiat, memerangi orang-orang 
yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, membatasi atau melarang berbagai aktifitas 
dakwah, namun secara zhahir tampak maju di beragam aspek kehidupan, hal ini 
masuk katagori istidraj.

Begitu bahayanya istidraj, sampai-sampai Umar bin Khaththab ra pernah berdoa, 
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang yang 
ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan)" (Al Umm, Imam Sayfi'i, 
IV/157). Maka, waspadalah terhadap istidraj, karena ia adalah kenikmatan yang 
membinasakan. Na'udzbillahi min dzalik.

Kirim email ke