Mutiara Hikmah Khalifah Abu Bakr AshShidiq Terhadap Orang-orang yang tidak mau 
Berzakat

KOTA MADINAH DISELIMUTI KESEDIHAN

Saat matahari menyingsing di hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriyah, 
Madinah diselimuti kesedihan dengan wafatnya Rasulullah. Musibah terbesar yang 
menimpa umat, khususnya para sahabat yang selama ini merasakan pahit getir 
perjuangan Islam bersama Rasulullah. Sebuah musibah yang benar-benar membuat 
galau hati orang-orang terbaik umat ini. Di antara mereka pun ada yang tak tahu 
harus berbuat apa. Sahabat ‘Ali bin Abi Thalib mengurung diri di rumah bersama 
sang istri Fathimah. Sahabat ‘Utsman bin Affan terdiam seribu bahasa. Sementara 
sahabat ‘Umar bin al-Khaththab tak dapat menguasai dirinya, hingga tidak 
terkontrol ucapannya. Dengan lantang beliau berseru, “Rasulullah tidak wafat! 
Beliau hanya dipanggil oleh Allah untuk sementara waktu sebagaimana yang pernah 
dialami Nabi Musa (selama 40 hari, pen.), serta akan kembali untuk memotong 
tangan dan kaki orang-orang (yang mengatakan bahwa beliau telah wafat).” (Lihat 
al-‘Awashim Minal
 Qawashim karya al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi, hlm. 37—39, dan ar-Rahiqul 
Makhtum, hlm. 468)

SAHABAT ABU BAKR ASH-SHIDDIQ[1] PELIPUR LARA KEGALAUAN UMAT

Demikianlah kondisi umum yang menyelimuti kota Madinah di hari kematian 
Rasulullah. Betapa rahmat Allah yang sangat luas menghendaki sahabat Abu Bakr 
ash-Shiddiq, manusia terbaik di umat ini setelah Rasul-Nya, sebagai pelipur 
lara bagi segala kegalauan di hari itu.

Alkisah, ketika itu sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq tidak berada di tempat 
kejadian. Beliau sedang berada di As-Sunh, sebuah tempat yang terletak di 
‘awali (dataran tinggi) kota Madinah. Saat mendengar berita kematian 
Rasulullah, dengan cepat beliau meluncur ke rumah sang putri, ‘Aisyah, tempat 
wafat Rasulullah. Sesampainya di rumah ‘Aisyah, sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq 
langsung mendatangi pembaringan Rasulullah. Disingkapnya kain yang menutupi 
wajah beliau, didekapnya tubuh beliau dan diciumnya, seraya mengatakan, 
“Sungguh engkau, wahai Rasulullah, selalu dalam kebaikan ketika hidup dan mati. 
Demi Allah, tidaklah Allah menjadikan untukmu dua kematian. Sungguh kematian 
yang Allah tetapkan untukmu telah tiba.”

Kemudian beliau keluar menuju Masjid Nabawi yang telah dipenuhi oleh para 
sahabat. Ketika itu, ‘Umar bin al-Khaththab tak dapat menguasai dirinya dan 
kata-katanya pun tak lagi terkontrol, sebagaimana tersebut di atas. Naiklah 
sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq ke atas mimbar. Beliau mulai pembicaraan dengan 
memuji Allah, kemudian berkata, “Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, barang 
siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat. Barang siapa 
yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Mahahidup dan tidak akan mati.” 
Setelah itu, beliau membacakan firman Allah:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu 
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu 
berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia 
tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan 
memberi balasan (kebaikan) kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali ‘Imran: 144)

Dengan jiwa yang teguh, ilmu yang tinggi, dan akhlak yang mulia, sahabat Abu 
Bakr ash-Shiddiq—biidznillah—berhasil mengondisikan umat dan membimbing mereka 
kepada kebenaran. Akhirnya, tidaklah mereka keluar dari masjid melainkan telah 
terbimbing di atas kebenaran. Ayat ke-144 dari Surah Ali ‘Imran tersebut 
kemudian dilantunkan di lorong-lorong kota Madinah, seakan-akan baru diturunkan 
di hari itu.

Kemudian—seiring berjalannya waktu—sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq yang sangat 
dekat posisinya dengan Rasulullah tersebut dibai’at oleh kaum Muhajirin dan 
Anshar sebagai pemimpin umat (khalifah). Di balai pertemuan (saqifah) Bani 
Sa’idah, beliau dipercaya untuk memimpin umat melanjutkan misi perjuangan Islam 
yang telah dilakukan Rasulullah. (Lihat al-‘Awashim Minal Qawashim, hlm. 42—45)

KONDISI UMAT DI AWAL MASA KEKHALIFAHAN ABU BAKR ASH-SHIDDIQ

Para pembaca yang mulia, kondisi umat di awal masa kekhalifahan sahabat Abu 
Bakr ash-Shiddiq sangat berbeda dengan kondisi mereka di masa Rasulullah. 
Mereka terbagi menjadi empat kelompok.

1. Sekelompok orang yang berteguh diri di atas jalan Rasulullah. Mereka adalah 
mayoritas umat.
2. Sekelompok orang yang masih menyatakan keislaman, namun tidak mau berzakat. 
Jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan kelompok yang pertama.
3. Sekelompok orang yang terang-terangan mengumumkan kekafiran dan keluar dari 
Islam, seperti pengikut Thulaihah dan Sajah. Jumlah mereka lebih sedikit 
dibandingkan dua kelompok sebelumnya. Hanya saja, di setiap suku ada 
orang-orang yang memerangi orang-orang murtad tersebut.
4. Sekelompok orang yang tidak menampakkan sikapnya, sambil menunggu pemenang 
dari tiga kelompok tersebut, untuk kemudian bergabung dengan mereka.” (Lihat 
Fathul Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, 12/288—289)

KEBIJAKAN KHALIFAH ABU BAKR ASH-SHIDDIQ DI TENGAH DERASNYA ARUS KEMURTADAN

Kondisi umat yang memprihatinkan tersebut tak membuat Khalifah Abu Bakr 
ash-Shiddiq putus asa. Berbagai kebijakan strategis pun beliau tempuh untuk 
stabilisasi keadaan. Dengan keilmuan yang tinggi dan perhitungan yang matang, 
beliau memutuskan untuk mengirim pasukan perang kepada kelompok orang-orang 
murtad dan orang-orang yang tidak mau berzakat. Berkat pertolongan Allah, 
tidaklah berlalu setahun melainkan beliau telah berhasil mengatasi semua itu.

Al-Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashl fil Milali wal Ahwa’i 
wan Nihal mengatakan, “Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq mengirim pasukan perang 
kepada mereka semua. Fairuz dan pasukannya yang dikirim ke markas al-Aswad (di 
Shan’a) berhasil membunuhnya.[2] Sementara Musailamah al-Kadzdzab yang 
bermarkas di Yamamah juga berhasil dibunuh (oleh pasukan Khalid bin al-Walid, 
pen.). Thulaihah dan Sajah kembali memeluk Islam. Demikian pula mayoritas 
orang-orang murtad lainnya. Tidak sampai setahun, semua telah kembali ke 
pangkuan Islam. Walillahil hamdu.”[3]

Subhanallah, ternyata kebijakan Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq yang terkesan 
keras tersebut sangat strategis dalam mengembalikan kepercayaan umat terhadap 
agamanya dan mengantarkan Islam kepada kejayaannya. Gerakan bersenjata para 
nabi palsu dan pengikutnya berhasil ditumpas. Bahkan, sebagian mereka kembali 
ke dalam agama Islam. Para penentang zakat yang juga melakukan perlawanan 
bersenjata berhasil dilumpuhkan dan ditundukkan di bawah naungan syariat Islam 
yang mulia. Syiar Islam kembali bercahaya di tengah umat, yang sebelumnya 
sempat redup. Panji-panji tauhid pun kembali berkibar, yang sebelumnya sempat 
melemah.

Tak heran, bila sahabat Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, Dzat yang tiada 
berhak diibadahi kecuali Dia, seandainya Abu Bakr ash-Shiddiq tidak diangkat 
sebagai khalifah, niscaya Allah tidak diibadahi.” Beliau mengulangi ucapan 
tersebut tiga kali, kemudian menyebutkan hujjahnya. (al-Bidayah wan Nihayah 
karya al-Imam Ibnu Katsir, 6/305)

Demikian pula al-Imam Ali Ibnul Madini, beliau berkata, “Sesungguhnya Allah 
mengokohkan agama ini dengan Abu Bakar ash-Shiddiq di tengah derasnya arus 
kemurtadan, dan dengan Ahmad bin Hanbal di tengah maraknya keyakinan sesat 
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah).” (Tadzkiratul Huffazh karya 
al-Imam adz-Dzahabi, 2/432)

SYUBHAT ORANG-ORANG YANG TIDAK MAU BERZAKAT DI MASA KEKHALIFAHAN ABU BAKR 
ASH-SHIDDIQ

Tidak diragukan lagi bahwa zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan 
dalam Islam. Di dalam Al-Qur’anul Karim, banyak sekali ayat yang menunjukkan 
perintah berzakat. Di antaranya adalah firman Allah:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan 
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka 
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang 
lurus.” (al-Bayyinah: 5)

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, serta taatlah kepada rasul, supaya 
kamu diberi rahmat.” (an-Nur: 56)

Dalam mutiara kenabian, terpancar petuah mulia bahwa menunaikan zakat merupakan 
bagian dari lima rukun Islam. Rasulullah bersabda:

“Agama Islam dibangun di atas lima hal: (1) bersyahadat bahwasanya tidak ada 
yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad itu utusan Allah, (2) 
mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) shaum di bulan Ramadhan, dan (5) 
berhaji ke Baitullah.” (HR. al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16, dari sahabat 
Abdullah bin Umar)

Menurut aturan syariat, tidak berzakat merupakan dosa besar. Di dalam 
Al-Qur’anul Karim, dengan tegas Allah mengancam orang-orang yang tidak mau 
berzakat. Allah berfirman:

“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya pada 
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) 
siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, 
lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan) 
kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, 
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (at-Taubah: 
34—35)

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil terhadap harta yang Allah 
berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi 
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka 
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat, dan kepunyaan 
Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi, dan Allah mengetahui 
apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imran: 180)[4]

Di dalam kitab-kitab hadits, didapati pula ancaman Rasulullah terhadap 
orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut.

Para pembaca yang mulia, kewajiban berzakat merupakan keyakinan yang telah 
terpatri dalam sanubari umat di masa Rasulullah. Namun, ketika Rasulullah wafat 
dan sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq menjadi khalifah, muncullah syubhat (kerancuan 
berpikir) pada sebagian elemen umat bahwa kewajiban zakat tersebut hanya 
berlaku semasa hidup Rasulullah, tidak berlaku sepeninggal beliau. Mereka 
berdalil dengan firman Allah:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan 
dan menyucikan mereka, serta berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu 
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (at-Taubah: 103)

Menurut mereka, selain Rasulullah tidak ada yang dapat membersihkan dan 
menyucikan jiwa mereka, sehingga bagaimana mungkin doanya dapat (menjadi) 
ketenteraman jiwa bagi mereka? Akhirnya, mereka tidak mau menunaikan zakat di 
masa kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq. (Lihat Fathul Bari, 12/290)

SIKAP KHALIFAH ABU BAKR ASH-SHIDDIQ DAN PARA SAHABAT

Para sahabat Nabi bersepakat bahwa orang-orang yang tidak mau berzakat di masa 
kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq tersebut bersalah, apapun alasannya. Namun, 
mereka berbeda pendapat dalam menyikapinya. Dengan pertimbangan kondisi dan 
lain hal, mayoritas sahabat berpendapat bahwa orang-orang yang tidak mau 
berzakat tersebut sementara waktu dibiarkan saja dan dilakukan upaya pendekatan 
persuasif kepada mereka, dengan harapan keimanan mereka bisa kokoh dan siap 
untuk berzakat. Disampaikanlah pendapat tersebut kepada Khalifah Abu Bakr 
ash-Shiddiq. Ternyata Khalifah tidak sependapat dengan mereka. Beliau lebih 
memilih bersikap tegas terhadap orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat 
tersebut dan bertekad bulat untuk memerangi mereka. (Lihat al-Bidayah wan 
Nihayah, 6/311)

Sikap tegas Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq tersebut, awalnya tidak mendapat 
respon dari para sahabat, termasuk ‘Umar bin al-Khaththab. Terjadilah diskusi 
ilmiah di antara mereka, hingga tampak jelas bahwa kebenaran berada di pihak 
Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq. Akhirnya, terhimpunlah kata sepakat di kalangan 
para sahabat bahwa orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut harus diperangi.

Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari no. 6924—6925, dari Abu Hurairah bahwa Umar 
bin al-Khaththab berkata kepada Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq, “Wahai Abu Bakr, 
mengapa engkau memerangi mereka padahal Rasulullah telah bersabda: ‘Aku 
diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laailaaha illallah 
(tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah). Barang siapa mengucapkannya 
niscaya akan terlindungi dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya, serta 
perhitungannya di sisi Allah’.”

Abu Bakr ash-Shiddiq berkata, “Demi Allah, aku akan memerangi siapa saja yang 
membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah hak harta (yang wajib 
ditunaikan, pen.). Demi Allah, jika mereka menolak untuk menyerahkan seekor 
anak kambing betina (sebagai zakat) kepadaku, yang dahulu mereka menyerahkannya 
kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka karenanya.”

Umar bin al-Khaththab berkata, “Demi Allah, tidaklah aku meyakini kecuali 
seperti apa yang telah dilapangkan oleh Allah pada dada Abu Bakr, yakni 
keharusan memerangi mereka. Aku menjadi tahu bahwa pendapat itulah yang benar.”

Asy-Syaikh Hafizh al-Hakami berkata, “Umar bin al-Khaththab dan sebagian besar 
sahabat memahami bahwa seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat 
berarti telah terlindungi dari hukuman dunia. Berdasarkan hal ini, mereka tidak 
menyetujui tindakan memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat (karena 
mereka masih mengucapkan dua kalimat syahadat, pen.). Adapun Abu Bakr 
ash-Shiddiq memahami bahwa seseorang (yang mengucapkan dua kalimat syahadat, 
pen.) boleh diperangi hingga benar-benar terbukti bahwa ia telah menunaikan 
hak-haknya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi, ‘Barang siapa menunaikannya niscaya 
akan terlindungi dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya, serta 
perhitungannya di sisi Allah.’ Kemudian beliau berkata, ‘Zakat adalah hak harta 
yang harus ditunaikan.’ Pemahaman Abu Bakr ash-Shiddiq tersebut ternyata juga 
diriwayatkan secara tegas oleh beberapa sahabat—di antaranya Ibnu Umar, Anas 
bin Malik, dan yang lainnya— bahwa
 Rasulullah bersabda, ‘Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka 
bersaksi bahwa tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bersaksi pula 
bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat…..’ 
Hal ini pula yang dikandung oleh firman Allah:

“Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka berilah 
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi 
Maha Penyayang.” (at-Taubah: 5)

Oleh karena itu, perlindungan (terhadap jiwa dan harta) tersebut tidak terwujud 
melainkan dengan menunaikan berbagai kewajiban yang datang dari Allah dan 
diiringi tauhid. Ketika Abu Bakr ash-Shiddiq menjelaskan hal ini kepada para 
sahabat, mereka pun sependapat dengannya dan meyakini bahwa itulah pendapat 
yang benar.” (Ma’arijul Qabul, 2/430)

Terkait dengan latar belakang kesepakatan para sahabat untuk memerangi 
orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut, para ulama yang tergabung dalam 
al-Lajnah ad-Da’imah lil-Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ menjelaskan bahwa 
kesepakatan para sahabat bersama Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq tersebut 
berdasarkan dua alasan.

1. Adanya kekufuran pada orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut.
2. Sikap mereka yang tidak mau berzakat.

Penolakan mereka terhadap perintah Allah (kewajiban berzakat) merupakan bentuk 
kekufuran, sedangkan penolakan mereka untuk menyerahkan zakat kepada Khalifah 
merupakan bukti nyata bahwa mereka tidak mau berzakat. Jadi, dua alasan itulah 
yang melatarbelakangi kebijakan memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat 
tersebut. (Majallah al-Buhuts al-Islamiyyah, 42/45)

Sebagai penutup kajian kali ini, ada satu faedah penting terkait rincian hukum 
terhadap orang-orang yang tidak mau berzakat. Berikut ini pemaparannya.

- Jika seseorang tidak berzakat karena penentangannya terhadap kewajiban 
syariat zakat, dia dihukumi sebagai seorang kafir murtad.
- Jika dia tidak berzakat karena sifat bakhil dan malas, namun tetap meyakini 
kewajiban syariat zakat, maka zakatnya diambil secara paksa dan dia diberi 
pelajaran.
- Jika dia tidak mau berzakat dan siap berperang karenanya, dia tergolong 
murtad, karena kesiapan berperang untuk mempertahankan sikapnya tersebut 
merupakan bukti penentangannya terhadap syariat zakat. Inilah kondisi 
(sebagian) orang-orang murtad (di masa kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq). 
Mereka tidak mau berzakat dan siap berperang karenanya. Kalaulah mereka tidak 
mau berzakat dan tidak siap berperang karenanya, niscaya para sahabat akan 
mencukupkan dengan mengambil (paksa) zakat dari mereka, memberi pelajaran 
kepada mereka, dan tidak memerangi mereka. Namun, ketika mereka tidak mau 
berzakat dan bersiap untuk berperang karenanya, ini adalah bukti penentangan 
mereka terhadap syariat zakat. (Lihat Syarh Risalah Kitab al-Iman Abi Ubaid 
Qasim bin Sallam karya asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah ar-Rajhi, 1/43)

Para pembaca yang mulia, demikianlah secercah cahaya dari kehidupan Khalifah 
Abu Bakr ash-Shiddiq yang penuh ilmu dan iman, khususnya ketika menghadapi 
berbagai fitnah dan gejolak besar yang terjadi di tengah-tengah umat. Semoga 
kita dapat mendulang mutiara hikmah darinya.

Amin Ya Rabbal Alamin.

Catatan Kaki:
[1] Sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq z terlahir dengan nama Abdullah bin Abi 
Quhafah Utsman bin Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b 
bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi at-Taimi. Nasab beliau bertemu dengan nasab 
Rasulullah n pada Murrah bin Ka’b. Sahabat Nabi n yang mulia ini akrab 
dipanggil dengan ‘Atiq (sebuah julukan beliau). Sebabnya ada beberapa versi. 
Menurut al-Imam al-Laits bin Sa’d, al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Imam Yahya bin 
Ma’in, dan yang lainnya, karena ketampanan wajah beliau. Adapun menurut al-Imam 
al-Fadhl bin Dukain, karena bersegeranya beliau dalam kebaikan. Menurut al-Imam 
Mush’ab bin az-Zubair, karena bersihnya nasab beliau dari keburukan. Menurut 
riwayat Ummul Mukminin Aisyah x, karena beliau terbebas dari azab api neraka.
Abu Bakr adalah kunyah beliau, sedangkan ash-Shiddiq adalah gelar kehormatan 
yang Allah l sematkan untuk beliau melalui lisan Rasulullah n. Sebabnya adalah 
beliau bersegera membenarkan segala yang datang dari Rasulullah n, senantiasa 
jujur dalam keimanannya, dan tidak pernah muncul dari beliau kejelekan dalam 
semua kondisi. (Lihat Tarikh al-Khulafa’ karya al-Imam as-Suyuthi, hlm. 31—33 
dan Tahdzib al-Asma’ wal Lughat karya al-Imam an-Nawawi, 2/181)

[2] Menurut al-Qadhi ‘Iyadh dan yang sependapat dengannya, terbunuhnya al-Aswad 
al-‘Ansi terjadi sesaat menjelang wafatnya Rasulullah n. (Lihat Fathul Bari, 
12/292)

[3] Dinukil dari Fathul Bari, 12/289.

[4] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang 
yang tidak menunaikan zakat. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.” 
(Fathul Bari, 3/318)

Sumber: 
http://asysyariah.com/mutiara-hikmah-khalifah-abu-bak-ashshidiq-terhadap-orang-orang-yang-tidak-mau-berzakat.html


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke