Artikel lama dari Suara Pembaruan (22 Des 98), mungkin bisa jadi bahan
diskusi.

SUARA PEMBARUAN DAILY
---------------------------------------------
http://www.suarapembaruan.com/News/1998/12/221298/Sorotan/sn01/sn01.htm

Peranan Agama Dalam Percaturan Politik

Oleh: Wartawan "'Pembaruan'" Harry Kawilarang
Pengantar:

Di tengah-tengah merebaknya isu penggunaan agama dalam politik dan anjuran
untuk menjaga diri, agar tidak secara salah menggunakan agama sebagai
senjata politik, maka perlu juga mencari contoh-contoh di berbagai kawasan
dunia mengenai hal itu.

Di Brasil, para pastor Katolik telah mengambil isu agama untuk menghadapi
rezim Presiden de Mello. Di Israel mendiang Yitzhak Rabin menghadapi kaum
ultrakanan Yahudi, bahkan dia tewas tertembak oleh seorang fanatik yang
mengambil ajaran Kitab Torat untuk menghabisi nyawa PM Israel itu. Contoh
lain adalah di Aljazair, Pakistan dan juga Jepang. Di bawah ini uraian
mengenai agama dalam politik, atau politik yang menggunakan agama sebagai
"perisai", untuk mengatur suatu (politik dan pemerintahan) negara.

- Redaksi


Pada bulan Januari 1992 Aljazair dihebohkan dengan masalah agama sebagai
pemeran utama dalam pemerintahan. Negeri di Afrika Utara ini menjadi
perhatian dunia, mengikuti proses tatanan demokrasi yang melibatkan agama
sejak partai Islamic Salvation Front atau Front Penyelamat Islam (FPI)
meraih kemenangan di tampuk pemerintahan pada pemilihan umum tahun 1991.
Namun situasi Aljazair tidak menentu karena dipengaruhi unsur radikal yang
dilakukan partai agama ini, hingga menggoyahkan stabilitas keamanan. Ini,
menyebabkan angkatan bersenjata di negeri 25 juta penduduk itu menghentikan
pemilihan umum tingkat parlemen pada bulan Januari 1992.

Karena meningginya suhu politik, Presiden Chadli Benjedid dipaksa mundur.
Tumbangnya kepemimpinan Benjedid menimbulkan kemarahan pendukung Partai FPI
dan menyebarkan isu antipemerintah. Akibatnya militer dituduh FPI sebagai
pengkhianat agama, hingga memperparah keadaan.

Pemaksaan agama juga dialami pemerintahan Perdana Menteri Israel, Yitzhak
Rabin waktu itu. Ia terdesak oleh barisan ultra-ortodoks dan ekstrim agama
sayap kanan di parlemen hingga dia harus mengeluarkan dana US$ 585 juta bagi
pembangunan jalan, sekolah dan pemukiman baru, untuk menampung 5.500 kepala
keluarga turunan Yahudi yang umumnya dari negeri-negeri Eropa Timur dan
Rusia.

Padahal dunia internasional melarang Israel membangun sarana pemukiman pada
tanah yang dirampas dari orang-orang Palestina. Akhirnya Yitzhak Rabin juga
tewas di tangan seorang pemuda Yahudi penganut ultrakanan yang mengaku
mengambil ayat-ayat dalam Kitab Taurat untuk alasan menghabisi nyawa PM
Rabin, pada November 1995.

Tekanan serupa juga dialami pemerintahan Presiden Fernando Collor de Mello
di Brasil oleh aksi barisan ekstrem Katolik yang digerakkan kalangan uskup
Katolik. Mereka berupaya mempengaruhi masyarakat memerangi kemiskinan. Semua
kesengsaraan dan derita masyarakat ditunjukkan kepada rezim de Mello yang
dinilai tidak becus. Para uskup menggunakan corong gereja mengumandangkan
konsep "Kampanye Persaudaraan" dalam memperbaiki tatanan ekonomi.

Aksi sektarianistik juga terjadi di Pakistan ketika para pemuka Islam
memaksa agar Shariah dimasukkan dalam konstitusi pemerintahan. Negeri
berpenduduk mayoritas Islam penganut sistem sekularisme, dalam mengelola
administrasi pemerintahan maupun pada kurikulum pendidikan, perbankan dan
tatanan hukum sosial ingin mengubah berbagai aturan dengan penggunaan kaidah
hukum Islam. Terapan Hukum Islam juga dikembangkan negeri-negeri bekas
Soviet di Asia Tengah dan Asia Barat yang berpenduduk mayoritas Islam.


Sebagai Instrumen Strategi


Akhir-akhir ini agama cenderung digunakan sebagai instrumen strategi, oleh
kalangan politisi guna meraih kemenangan politik untuk mendominasi tampuk
pimpinan eksekutif dan mendapat angin dari publik. Perkembangan peranan
agama dalam kancah politik, tidak terlepas dari keadaan kehidupan sosial dan
memanfaatkan reaksi kaum lemah yang menderita. Mereka menjadikan agama
sebagai alat perjuangan alternatif dan menuntut perbaikan asasi akibat tidak
menentunya gejolak politik, melarutnya korupsi dan krisis ekonomi suatu
pemerintahan. Tidak terjaminnya ketenteraman sosial dan melarutnya praktik
politik praktis serba impulsif, yang sering menyimpang dari aturan
konstitusi oleh para birokrat yang berkuasa.

Masyarakat awam jenuh karena menjadi mangsa slogan partai politik permainan
politisi dan menempatkan posisi agama sebagai penyalur aspirasi. Misalnya
publik Jepang yang jenuh terhadap perilaku para King Makers, yang tidak
lekang dari penyakit korupsi. Memang dominasi partai LDP selama 38 tahun
runtuh. Tetapi hak suara para pemilih menyebar pada berbagai sekte agama,
dan bukan pada partai politik di luar LDP.


Peran Agama Sejak Dekomunisasi


Dampak dari Perang Dingin mewarnai kehidupan tatanan politik dan konflik
ideologi selama 45 tahun, sejak usai Perang Dunia II. Konflik ini
menimbulkan sekitar 300 perang proksi dan menghilangkan sekitar 15 juta
nyawa manusia di berbagai penjuru dunia.

Namun keadaan dunia, sejak kapak perang ideologi dunia dikubur akhir
1980-an, mengalami transisi perubahan bentuk politik yang menimbulkan
kevakuman kultural pluralistik. Terutama pada pemerintahan yang dipengaruhi
pola politik perang dingin, hingga berusaha memperoleh jati diri sejak
ideologi komunis tidak lagi berperan sebagai alat kesatuan integrasi di
Eropa Timur hingga Asia Tengah yang tergabung dalam lingkungan imperium
Uni-Soviet.

Transisi ini membuka peluang kebangkitan tradisi agama, terutama yang
penganutnya mayoritas, sebagai alat penggalang pemersatuan identitas
nasional. Sejak komunisme surut, berbagai negeri Eropa Timur menempatkan
agama Kristen-Orthodoks selain sebagai panutan identitas, juga untuk
berperan menjadi perangkat integrasi dan garis politik nasional. Sedangkan
di Asia Tengah aturan diubah, dari sekularisme ideologi komunis, dan kembali
pada agama Islam.

Dasar-dasar keagamaan yang menjadi kebesaran dan peninggalan imperium
Ottoman di abad pertengahan dipakai sebagai media kesatuan. Cara serupa
dilakukan penganut Evangelis Protestan di Eropa-Timur dan Amerika Tengah,
untuk menggeser kultur politik tradisional.

Alat Mempertahankan Etnis


Masuknya agama di percaturan politik, umumnya berlatar belakang kepentingan
etos dan adat kebiasaan suatu rumpun etnis.

Peranan unsur agama bagi ketahanan etnis sebagai kekuatan, dapat menjadi
sumber konflik. Hal ini terjadi dengan timbulnya konflik antara Armenia
dengan Azerbaijan di bekas Uni Soviet. Atau bentrokan antara Kroasia dengan
Serbia di bekas negeri Yugoslavia dan wilayah Balkan.

Ancaman perpecahan menghantui pemerintahan sipil Nigeria yang dilanda
kerusuhan akibat persaingan etnis antara masyarakat utara dengan selatan di
negeri Afrika Hitam itu. Kedua pihak berlomba mendominasi pemerintahan,
hingga tatanan hidup berdampingan damai antarmasyarakat pluralistik di
Nigeria, terancam sirna.

India juga rawan dengan ancaman perpecahan. Pengaruh partai agama Hindu
turut memperpanjang konflik di Kashmir. Krisis ini bakal melebar ke jurang
konflik antara India dengan Pakistan, yang menjadikan dua negara tetangga
itu musuh bebuyutan.


Kegagalan Demokrasi


Tatanan demokrasi sekular tidak mudah membendung penetrasi pengaruh agama
dalam percaturan politik di Eropa. Padahal demokrasi menempatkan agama hanya
di lingkungan keluarga, pekerjaan, lingkungan pergaulan atau di waktu
senggang. Sekalipun proses modernisasi turut memperkaya norma gerejani,
namun tidak sedikit menimbulkan ekses punahnya unsur etika tradisi dan
jatidiri suatu bangsa.

Proses modernisasi dan pertumbuhan demokrasi juga menimbulkan berbagai ekses
buruk dengan menghilangnya nilai-nilai moral dan etika. Demokrasi juga
menjadi penyebab berbagai aksi protes yang menuntut aneka ragam perbaikan
serta memasukkan prinsip-prinsip tidak mendasar dan tidak proporsional.

Etos kerja Protestantisme yang mempengaruhi semangat bermotivasi
meningkatkan produktivitas cenderung memudar. Kelesuan bermotivasi dirasakan
masyarakat dunia ketiga, ditambah dengan proses modernisasi dan alih
teknologi mengembangkan proses pola pikir industrialistik. Yang terakhir ini
menimbulkan future shock bagi masyarakat berpola agrikultural.

Kemajuan teknologi dan ilmu kesehatan ternyata tidak berimbang dengan
ledakan kependudukan. Dampak dari kampanye keluarga berencana yang ketat
sejak 40 tahun terakhir yang berpengaruh terhadap pertambahan kelahiran,
dikaitkan dengan kemajuan medis, dapat mengakibatkan jumlah manusia usia
lanjut lebih besar dan tidak berimbang. Fenomena ini mengubah struktur
sosial lingkungan masyarakat.

Berbagai lembaga pemerintahan belum dapat mengantisipasi perubahan yang
berkembang begitu pesat, akibat terbentur oleh berbagai kebijakan dan
undang-undang yang masih menggunakan pola lama. Akibatnya dunia dilanda
berbagai ekses pergolakan. Desakan hidup juga dapat mempengaruhi sikap
pembawaan dan nilai nilai Kristiani.

Memudarnya peranan nilai-nilai Kristiani akibat modernisasi telah
menjerumuskan kehidupan masyarakat Eropa ke arah pengkotakan ketimbang
panutan integritas. Berbagai gereja bergumul guna mencegah pengkotakan yang
mengarah pada kebangkitan identitas supremasi rasialisme dan
ultra-nasionalisme. Di Prancis muncul kelompok Front Nasional sebagai
kekuatan ultrakanan, di Jerman timbul Neo-Nazi dan di Austria tampil
penentang integrasi hidup bersama dengan masyarakat dan kepercayaan di luar
Eropa. Denmark yang dikenal toleran juga goncang, ketika didirikan pusat
kebudayaan Islam dan mesjid di Kota Kopenhagen.

Pakar pengamat masalah gerakan agama, James Turner Johnson berpendapat,
"Agama digunakan sebagai alat politik dalam usaha merasionalisasi atau
memperoleh suatu identitas sebagai akibat timbulnya perubahan keadaan.
Faktor agama sebagai pemuka dalam percaturan politik terjadi saat timbulnya
kevakuman kultur, atau juga disebabkan tumbangnya sistem pemerintahan Orde
Lama. Agama tetap berperan di lingkungan sub-kultur dan memberi peluang
dalam keterlibatan politik.

Kemenangan partai Front Penyelamat Islam (FPI) pada pemilu babak pertama di
Aljazair, adalah karena menyurutnya popularitas Partai Front Pembebasan
Nasional (FPN) yang berkuasa sejak 1962. Padahal partai sekular ini menjadi
motor anti-kolonialisme Prancis dan sebelumnya ditopang kaum agama
mayoritas.

Munculnya Partai Bharatiya Janata dalam percaturan politik India juga akibat
kegagalan Partai Kongres yang berkuasa dan selama 45 tahun memimpin
pemerintahan di India. Namun perekonomian India tetap saja parah, hingga
mempengaruhi kehidupan bermasyarakat sekuler integratif. Sejak lama
pemerintahan New Delhi didominasi mayoritas turunan Hindu yang larut dengan
pergolakan aksi separatisme masyarakat Sikh dan Islam di provinsi Punjab dan
Kashmir.

Tetapi modernisasi ternyata juga tidak menjamin manusia memperbaiki moral
dan etika. Modernisasi bahkan cenderung menjauhi keyakinan agama dan tetap
hidup dalam keraguan di dunia yang fana.

"Hadirnya senjata peluru kendali membuktikan keraguan manusia terhadap
keyakinan berkembangnya peradaban sekularisme," demikian pendapat Nathan
Gardels pada majalah kwartalan Perpectives yang memfokuskan kegiatan
keagamaan di dunia. "Akhir-akhir ini timbul kerinduan mengembalikan tatanan
tradisi dan keyakinan terhadap beragama, sebagai kelanjutan hidup" tulis
Gardels. Kebangkitan kembali identitas tradisi kultural, aksi
fundamentalistik Islam, dari konservatisme Katolik hingga gerakan kemurnian
Alkitabiyah serta pengembangan tradisionalisme Jepang, merupakan fenomena
yang mewarnai kondisi trend globalisasi. "Beda persepsi mengenai
nasionalisme di alam modern cenderung mengembalikan identitas tribalisme.
Pengungkitan akar silsilah hubungan keturunan melalui ikatan mitos sejarah
telah memudarkan eksistensi hidup masyarakat pluralistik, yang terbentuk
dari proses nasionalisme hasil produk modernisasi," demikian pendapat Martin
Marty, pakar pengamat masalah agama dan politik internasional.


Kembali Pada Fungsi Semula


Perjuangan para pastor Katolik di Brasil mewujudkan "Kampanye Persaudaraan"
sebagai alat kontrol sosial ternyata tidak memperbaiki keadaan. Bahkan
konfrontasi tidak terhindarkan dengan pemerintah, karena dianggap mengganggu
stabilitas keamanan.

Aksi mogok buruh pabrik dan pelabuhan menuntut perbaikan hidup, tiupan
kalangan uskup, berdampak buruk yang merugikan produktivitas negeri produsen
kopi terbesar di dunia tersebut. Para uskup terjebak pada panutan utopis
yang bertolak belakang dengan kenyataan serba kompleks, dan tidak
menuntaskan keadaan. Mereka cenderung menjadi politisi hingga menjerumuskan
gereja dan mengorbankan umatnya.

Kepemimpinan unsur agama di tampuk pemerintahan di Aljazair juga tidak
berhasil meredakan keadaan. Kepemimpinan Chadli Benjedid dengan agama
sebagai panutan utama, telah mempengaruhi konstitusi. Urusan rumah tangga
juga dicampuri. Misalnya mewajibkan mengikuti aturan agama. Berlakunya hukum
agama telah mengorbankan kaum hawa kehilangan ruang gerak hak asasi wanita,
karena dilarang bekerja di luar lingkungan rumah dan tetap berfungsi sebagai
hamba para pria.

Timbulnya ekses keterlibatan agama meresahkan pemerintahan dan militer,
hingga terjadi pembatalan pemilu. Sekuat apapun pengaruh agama dalam
panggung kekuasaan, tidak pernah abadi. Yang menjadi penghalang, adalah bila
berhadapan dengan ekonomi. Karena bidang ini menjadi jaringan yang terkait
dalam konstelasi perekonomian dunia ke arah integrasi interdependensi dari
trend globalisasi ekonomi.

Tidak satupun pemerintahan ingin terkucil dari dunia luar sejak dunia
memasuki era globalisasi, sekalipun menggunakan agama sebagai pagar pemisah
dengan supremasi ketertutupan. Pemerintahan ulama di Iran yang didirikan
melalui "Revolusi Islam" oleh mendiang Ayatollah Khoumeini pada 1979 juga
tidak abadi. Teheran menghentikan aksi konfrontasi terhadap Washington dan
memerintahkan kelompok ekstrem membebaskan 58 tahanan Amerika yang disandera
dengan imbalan, agar Iran meraih perbaikan ekonomi dan terhindar dari
embargo. Iran juga meninggalkan unsur radikalisme dan berganti dengan
pragmatisme.

Semua kasus yang melibatkan agama, terbentur oleh hadangan krisis ekonomi
dan tuntutan nilai demokrasi. Sedangkan agama kembali berada pada posisi
sebagai lembaga moral dan melayani umat menjalankan dan mengamalkan
nilai-nilai memanusiakan manusia.***


Bahan-bahan Bacaan:

Eerdmans' handbook to World's Religions (WM B Eermans Publ, Michigan 1991).
Mordechai Nisan, Minorities in the Middle East: A History of StruggleAnd
Self-Expression (MacFarland: Jefferson, NC 1991). John Solecki, "Arabist And
The Myth" (The Middle East Journal, Summer 1990). Robin Wright, "The
Politics Of Worship," (Los Angeles Times, January 1992) dan berbagai sumber
lain.


To unsubscribe send a message to [EMAIL PROTECTED] with in the
message body the line:
unsubscribe demi-demokrasi

Kirim email ke