FYI Ingin saya ingatkan, bahwa kami dinegeri Belanda tiap tahun dulu berdemonstrasi menolak IGGI.. Saya juga menolak INGI (yang kemudian berubah menjadi INFID) dulu karena INGI menerima IGGI. Makanya saya brrdemonstrasi (sendirian) di konferensi INGI di Zeist (negeri Belanda) dengan t-shirt yang bertuliskan: INGI = ngeloco rame-rame, INGI = masturbasi kollektif. Disamping alasan ekonomis dan juridis (izin DPR) , saya menolak IGGI juga karena alasan moral: rezim diktator tukang tindas tidak pantas diberi bantuan. Jusfiq ------- Forwarded Message Follows ------- Date sent: Mon, 12 Apr 1999 11:32:55 -0600 (MDT) To: [EMAIL PROTECTED] From: [EMAIL PROTECTED] Subject: [INDONESIA-L] GAMMA - Bawazier Mengaku Boros From: "abul hassan" <[EMAIL PROTECTED]> To: [EMAIL PROTECTED] Subject: GAMMA: Bawazier Mengaku Boros Date: Sun, 11 Apr 1999 21:20:17 PDT Pemborosan Memang Terjadi Jumlah utang Indonesia sebetulnya cukup separo saja dari yang ada sekarang. Inisiatif pinjaman sering datang dari mitra luar negeri demi mendapatkan proyek. PRAKTEK korupsi dan sogok-menyogok di Indonesia agaknya sudah menjadi tumor ganas. Terakhir, ribut-ribut pemberian komisi pada pejabat Indonesia demi lancarnya proyek, yang ironisnya dibiayai dari dana pinjaman luar negeri. Kini, masalah itu sedang gencar disuarakan harian Jepang, <I>Yomiuri Shimbun.<$> Kebetulan atau tidak, pekan lalu bekas Menteri Keuangan, Fuad Bawazier, melontarkan pernyataan bahwa memang terjadi pemborosan sekitar 50% pinjaman luar negeri yang diterima Indonesia. "Itu ekses akibat kelebihan dana," katanya kepada Yuyuk Andriati Iskak, Ahmad Husein, dan fotografer Moriza Prananda, dari G<h>amma<$>, Rabu pekan lalu. Di rumahnya, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Fuad menceritakan seluk-beluk pinjaman luar negeri dan trik pengusaha memuluskan proyeknya, termasuk meminta bantuan pejabat. Sembari <I>ngobrol<$>, ia sekali-sekali mengepulkan asap rokoknya. Berikut kutipannya: <B>>Anda menyebut sekitar 50% dana pinjaman luar negeri kepada Indonesia masuk ke kantong pejabat. Bisa dijelaskan?<$> Yang saya maksudkan, pinjaman luar negeri yang kita terima lebih banyak dari yang sebenarnya dibutuhkan. Ini kesalahan pemerintah sejak dulu. Padahal, menurut amanat GBHN, kita harus menjadi bangsa yang mandiri. Sejak 1988 saya sudah mengajukan keluhan atas banyaknya pinjaman itu. Kita selalu cari gampangnya, dengan meminjam dan membayarnya dengan pinjaman lagi. Padahal, negara-negara pengutang lain seangkatan kita sekarang sudah menjadi donor. <B>Apa yang menyebabkan sehingga terjadi demikian?<$> Pada 1988, saya mulai melakukan observasi dan menemukan bahwa sejumlah besar utang-utang itu ternyata bukan murni dari kebutuhan yang mendesak. Inisiatifnya kadang-kadang datang dari <I>supplier<$> luar negeri. <I>Supplier<$> dalam negeri, yang sebenarnya tidak terlalu membutuhkan dana, ada yang diajak patungan oleh perusahaan asing untuk mendapatkan pinjaman. Lalu, uangnya dibagi-bagi. <B>Dalam hitungan Anda, berapa jumlah pemborosan itu?<$> Jumlahnya sih bisa relatif. Tapi hitungannya begini, kalau dulu kita pinjam cuma separo dari jumlah sekarang, itu sebenarnya sudah memadai. <B>Penggunaan dana yang separo lagi ke mana?<$> Pertama, membuat proyek yang sebetulnya tidak diperlukan. Kedua, proyeknya ada, tapi kita mengeluarkan jumlah dana yang lebih besar. Itu yang --menurut Pak Soemitro Djojohadikusumo-- bocor sampai 30%. Dana pinjaman itu juga digunakan untuk hal-hal tidak berguna, misalnya studi banding, <I>technical assistant<$>, dan konsultan luar negeri. Belum lagi, untuk proyek yang dibiayai dana luar negeri, asing dibebaskan dari pajak. Sementara, yang menggunakan biaya dalam negeri malah <I>nggak<$> dapat fasilitas. <B>Kontrol atas pinjaman itu bagaimana?<$> Seharusnya, seluruh pinjaman mendapat persetujuan dahulu dari DPR, sehingga bisa dilihat mana yang perlu dan tidak. Di mana-mana, pinjaman luar negeri selalu ada persetujuan dari DPR. Amerika saja, untuk menambah modal IMF US$ 18 milyar, harus menunggu persetujuan Kongres. Nah, di sini kan enaknya <I>nggak<$> ada kontrol, semuanya lepas begitu saja. <B>Kabarnya ada pejabat yang berinisiatif mendapatkan pinjaman, tapi penggunaannya tidak efisien atau masuk ke kantongnya sendiri?<$> Memang ada, banyak. Dulu, saya pernah menjadi ketua tim penyusunan UU tentang Keuangan Daerah. Ada dana pinjaman luar negeri yang disediakan, tapi saya tolak. Uang itu ternyata <I>nggak<$> dikembalikan. Alasannya, sayang sudah ada pinjaman kok <I>nggak<$> dipakai. Lebih baik untuk pelatihan ini dan itu. <B><I>Yomiuri Shimbun<$> <B>mengungkap pembayaran komisi dari pengusaha Jepang yang dana proyeknya juga berasal dari Jepang. Ini memang sering terjadi, ya?<$> Itu kan ekses saja akibat kelebihan dana. Macam-macam caranya. Ada yang nilai proyeknya dibuat lebih mahal. Atau sebetulnya tak perlu, dan lain-lain. <B>Pengusaha Jepang memanipulasi pajak dengan memberi komisi pada pegawai Ditjen Pajak yang memberikan advis, agar mereka menghapuskan beberapa pajak yang seharusnya dibayarkan. Apakah praktek itu terjadi saat Anda menjabat sebagai dirjen?<$> Saya <I>nggak<$> begitu bisa membuktikan atau melihat kasus-kasus seperti itu. Saya meragukan dan tidak punya informasi yang cukup tentang itu. Tapi, kalau pembelian barang dari luar negeri, konsultan, kontraktor asing, tenaga kerja asing, dan barang modalnya, yang mendapat fasilitas bebas pajak, itu memang benar. <B>Kabarnya, perusahaan asing itu mengangkat pejabat Indonesia sebagai konsultan, sehingga mendapat komisi khusus. Dana proyek dari pinjaman luar itu akhirnya masuk kantong pejabat. Komentar Anda?<$> Itu memang sering terjadi. Banyak kok yang langsung ke departemen-departemen, dan mereka umumnya minta dibantu oleh orang kita. <B>Di zaman Anda dulu, apa trik-trik yang dipakai pengusaha kita untuk mengakali pajaknya?<$> Modusnya seperti mengecilkan omzet atau penjualan. Dari sini, kerugian negara adalah berupa PPn dan PPh yang berkurang. Modus lain, meninggikan biaya untuk mengurangi keuntungan dan mengurangi pajak penghasilan. Selain itu, banyak transaksi yang sebetulnya menjadi objek pajak, tapi digeser sebagai transaksi yang bukan objek pajak, sehingga terbebas dari pajak. <B>Kalau trik pengusaha asing?<$> Biasanya, mereka membuat biaya pengeluaran dari luar negeri, seperti pembelian bahan baku, dengan harga setinggi mungkin. Sebaliknya, mereka menjual produksi ke perusahaan induk dengan harga lebih murah. Ada juga perusahaan asing yang laporannya rugi terus, sehingga perusahaan lokal mitranya tidak pernah mendapat dividen. Tapi, anehnya, usaha itu tidak bubar-bubar, dan ketika mau diambil alih, malah tidak diperbolehkan. Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo = ====================================== To unsubscribe send a message to [EMAIL PROTECTED] with in the message body the line: unsubscribe demi-demokrasi