halo rekan-rekan dr.Adi, kalau diadakan di Jkt yang populasi spesialisnya sudah sangat besar, maka akan jadi masalah, nanti akan terjadi banyak benturan. Saya nggak tau bahwa di Jkt sudah dilakukan. Kemkes juga pernah coba lakukan untuk isi kebutuhan di tempat-tempat terpencil, tapi nggak ada kabarnya lagi, malah jadinya menambah jumlah peserta PPDS walau jauh melebihi kapasitas dengan dampak mutu lulusan turun drastis. Sekarang saja, banyak dokter penyakit dalam atau pediatri dilarang (catat: dilarang) untuk tangani kasus penyakit jantung atau paru sebagai diagnosis tunggal oleh komite medik di beberapa RS kota besar. Ini demi tetap bisa beri pasien sekaligus pertahankan keberadaan dokter SpJP & SpP di RS tersebut. Ini menggelikan, tapi inilah Indonesia. Kebutuhan akan semi spesialis justru ada di luar Jkt atau kota besar. Tapi kalaupun mau dilakukan di Jkt, saran saya adalah harus ada kesadaran dari FK-FK swasta yang nggak bisa buka PPDS untuk memberikan pendidikan semacam itu, tentunya dengan dukungan dosen/dokter spesialis terkait di FK-nya. Yang sekarang salah adalah semua kegiatan penambahan kompetensi itu diadakan lembaga di luar FK. Sekarang kita mau pilih mana, nggak ada bukti resmi kompetensi, belajar hanya dari buku atau yang lebih tua (tanpa kualifikasi pengajar), lalu lakukan suatu tindakan karena terpaksa seperti di tempat terpencil & membuat dokter-dokter tersebut terancam kena masalah hukum? Atau secara resmi lakukan program menambah kompetensi itu di bawah FK? Ada kurikulum, pengajar jelas, ada ujian, re-sertifikasi, dst. Contoh, ada rekan saya yang lebih dari 100 kali menjadi operator utama (sebetulnya tunggal) tindakan SC di RS swasta di daerah terpencil dalam 2 tahun masa tugasnya di sana. Di RS swasta sosial itu, spesialis hanya ada di papan nama, semua pelayanan dilakukan oleh dokter umum yang rata-rata baru lulus. Modal 'kompetensinya' hanya ingat-ingat waktu kepaniteraan jadi asisten operator, buka textbook, & diajari 1-2 kali oleh dokter umum sebelumnya. Untung saja waktu itu semua lancar, di sana juga jauh dari LBH atau advokat. Yang semacam ini banyak & pemerintah biarkan. Pemerintah baru 'ribut' ketika ada masalah & masuk media massa. Cerita lain, ada pemda menyekolahkan seorang dokter menjadi spesialis radiologi. Ketika selesai, di RSUD hanya ada alat rontgen konvensional yang 90%-nya hanya dipakai untuk foto toraks & USG 2D tua. SpRad itu yang belajar sampai CT-scan, MRI, dst merasa nggak betah karena ilmunya hanya terpakai sedikit, penghasilannya pun kecil, jauh dibanding rekan-rekannya yang ada di kota besar. Wajar karena tarif pemeriksaan untuk foto toraks & USG lebih rendah, juga tarif di daerah lebih murah. Kenapa nggak ada pendidikan lanjutan bagi dokter umum untuk bisa jadi sonografer atau ahli dalam foto toraks saja? Tapi harus diadakan di FK, bukan kursus. Juga untuk berbagai tindakan seperti SC atau berbagai tindakan obstetri patologi-operatif lain. Belum lagi di bidang-bidang lainnya. salam Billy
--- Adi Sasongko wrote: > Apakah ada yang punya informasi lebih lengkap siapa yang dulu memprakarsai > gagasan baik tersebut diatas, kenapa tidak berlanjut, bagaimana caranya > agar bisa dilanjutkan? ------------------------------------ Archives terdapat di http://www.yahoogroups.com/group/desentralisasi-kesehatan Situs web terkait http://www.desentralisasi-kesehatan.net Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/desentralisasi-kesehatan/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/desentralisasi-kesehatan/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: desentralisasi-kesehatan-dig...@yahoogroups.com desentralisasi-kesehatan-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: desentralisasi-kesehatan-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/