dear dr.Billy dan sejawat sekalian, Ini posting pertama saya di grup setelah biasanya jadi pembaca setia dari tulisan para pakar,hehe.
Kalo saya sih liatnya implementasi SJSN ini ibarat Ujian jaman mahasiswa dulu. Kita ga pernah merasa benar2 100% siap, tapi tetap harus ujian. Meskipun ujiannya diundur jadi minggu depan pun kita biasanya tetap ga siap, hehe. Jadi semakin dini dimulai semakin baik sepertinya. Dan -seperti yang dibilang prof.Hasbullah- dengan sistem kapitasi untuk layanan primer, SJSN ini diharapkan bisa mendorong distribusi tenaga medis. Yang ga kebagian tempat praktek di kota besar otomatis harus legowo untuk pindahan ke wilayah yang masih belum ada nakesnya, tapi udah ada penduduknya. Bukan seperti fee for service yang makin melegitimasi ketimpangan sebaran nakes. Tapi klo saya liat dari seminar terakhir yang saya ikuti yang diadakan PFPI-PKFI, sepertinya pemerintah memang amat sangat tidak siap. Kayaknya lebih baik klo pemerintah bisa fokus mengerjakan regulasi2 yang belum rampung, infrastruktur, dan resources lain daripada bisnis jadi pembicara seminar SJSN yang makin menjamur dimana2. Haturnuhun, Hilmi SR Cita Sehat Foundation, - mahasiswanya Dr.Deni KS :D - ________________________________ From: Billy N. <bi...@mediator.web.id> To: Sent: Thursday, September 19, 2013 8:36 PM Subject: [des-kes] Fwd: Persebaran Bidan & Dokter Tak Merata, Siapkah Menghadapi SJSN? http://health.detik.com/read/2013/09/19/180139/2363884/763/persebaran-bidan-dan-dokter-tak-merata-siapkah-menghadapi-sjsn Persebaran Bidan dan Dokter Tak Merata, Siapkah Menghadapi SJSN? Menyambut diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sejak awal tahun 2014 mendatang, Kementerian Kesehatan tengah berupaya mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana penunjang. Namun salah satu yang menjadi permasalahan, tenaga kesehatan di lapangan masih timpang. Persoalan menumpuknya tenaga profesional di perkotaan dan meninggalkan daerah terpencil terbengkalai begitu saja masih menjadi masalah klasik yang menjerat dunia kesehatan Indonesia. Untuk proporsi dokter dan bidan saja, angkanya masih amat timpang. "Rasio ketersediaan bidan per desa di Indonesia ini masih banyak berpusat di kota besar. Jumlah desa yang memiliki bidan lebih dari 3 hanya ada di beberapa provinsi, bahkan masih ada 1 bidan yang harus menangani 3 - 4 desa," kata Julianto Wicaksono, Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dalam acara Media Briefing Hari Kontrasepsi Sedunia yang digelar di Ruang Serbaguna Gedung BKKBN Jl. Permata No. 1 Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (19/9/2013), Julianto mengemukakan bahwa kondisi serupa juga dijumpai pada persebaran dokter di Indonesia. Hal ini membuat pencapaian target MDG's pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan terancam sulit tercapai. Tak hanya itu, pencapaian target kependudukan dan KB pun menjadi sulit lantaran bidan sebagai ujung tombak tidak tersebar dengan rata. Memang pemerintah telah berupaya mencapai kedua target tersebut sekaligus lewat Jampersal atau Jaminan Persalinan. Prakteknya, ibu hamil yang menjalani Jampersal akan otomatis menjadi peserta program KB. Jadi biaya persalinan yang gratis tidak disalahgunakan untuk menambah jumlah anak seenaknya. Namun agaknya di lapangan sendiri pun program ini bisa dibilang gagal. Pasalnya menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian ibu melahirkan sendiri ternyata malah naik menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan di tahun 2007 angkanya hanya 227 per 100.000 per kelahiran hidup. Sedangkan pada program KB, angka kelahiran total atau Total Fertility Rate, yaitu jumlah anak yang dilahirkan setiap wanita masih mandeg di angka 2,6 sejak tahun 2002. Artinya, tiap wanita Indonesia rata-rata melahirkan atau memiliki 2,6 anak. Padahal ditargetkan angkanya akan turun menjadi 2 di tahun 2012. "Memang cukup banyak yang harus dilakukan untuk mengantisipasi berbagai macam kesulitan dalam melakukan operasional di lapangan, termasuk tentang kebijakan Jampersal. Jampersal itu kendalanya tidak populer adalah karena berkaitan degan mekanisme penagihan klaim pembiayaan," terang Julianto. Menurut Julianto, dana yang sedianya digunakan untuk Jampersal dipotong sebagian untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akibatnya, uang kompensiasi yang semestinya diberikan kepada bidan atau tenaga kesehatan tidak diterima dengan layak.