http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/09/130805_heath_readyforbpjs.shtml Siapkah Indonesia masuki pelayanan kesehatan universal?
Meski banyak suara meragukan, pemerintah menyatakan tetap akan memberlakukan sistem asuransi kesehatan universal untuk seluruh warga negara mulai Januari 2014. Skema jaminan ini diatur dengan payung UU Badan Pengelola Jaminan Kesehatan (BPJS) yang disahkan dua tahun lalu. UU tersebut mewajibkan pemerintah memberikan jaminan layanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, dimana jaminan untuk warga miskin didanai dengan bea premi yang dibayar pemerintah. “Memang belum seratus persen karena kita masih jalan, tapi yang penting-penting sudah kita siapakan,” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi kepda BBC. Diantara bagian terpenting itu menurut Menkes Nafsiah, adalah kepastian turunnya dana senilai sedikitnya Rp16 triliun sebagai jaminan pembayaran penerima bantuan iuran (PBI) dana kesehatan. Dana sebesar itu akan dipakai sebagai pembayar iuran (premi) bagi 86,4 juta warga miskin, atau sama dengan penerima fasilitas Jamkesmas secara nasional saat ini, dengan jumlah rata-rata mencapai Rp15.500 per kepala/ bulan. “Memang belum ideal tetapi memang itulah kemampuan pemerintah kita saat ini,” kata MenKes. Menurut hitungan Kementrian Keuangan, secara total pada tahun 2014 pemerintah akan menggelontorkan dana lebih dari Rp26 triliun termasuk untuk menambah inrafstruktur, serta perbaikan jaminan kesehatan bagi PNS dan TNI/Polri. RS mundur Dalam skema UU BPJS disebutkan bahwa setiap warga negara akan mendapat jaminan kesehatan yang dikelola seperti asuransi dalam model komersial. Perusahaan penyelenggara layanan ini adalah BPJS, yang merupakan alih wujud dari PT Askes yang ada saat ini. Sementara ini sudah ada tiga provinsi yang menjadi proyek percontohan BPJS yakni Jakarta(dengan program Kartu Jakarta Sehat KJS), Jawa Barat dan Aceh. Tetapi belum lagi dimulai pada April lalu, sejumlah rumah sakit swasta memilih mundur dari daftar penyedia layanan karena merasa dirugikan dnegan pola penghitungan tarif model INA CBGs yang diterapkan pemerintah. “Kalau dulu dengan Jamkesmas kami biasa mendapat pembayaran antara 75-85% klaim, sekarang cuma 10-30%,” kata Wakil Dirut RS Thamrin Internasional, Barry Radjak, yang sempat terang-terangan memilih mundur. Pola penghitungan tarif dalam system Jamkesmas yang memakai model tarif per layanan (fee for service) memang sangat berbeda dengan model tarif paket layanan. Kalau dalam hitungan sebelumnya dokter boleh menentukan tindakan medis, jenis obat hingga jenis alat yang dipakai pasien, kini semua biaya dihitung per satu paket pengobatan. Akibatnya sering kali menurut rumah sakit, hanya sebagian kecil layanan yang diakui pemerintah, padahal rumah sakit mengklaim mengeluarkan biaya besar untuk menyediakan layanan itu. “Misalnya dalam simulasi kami tariff NICU (ruang rawat intensif untuk bayi baru lahir) mencapai Rp24 juta untuk 4 hari. Tapi dalam INA CBGs hanya diakui Rp3,1 juta,” protes Barry masygul. Barry mengatakan operator rumah sakit swasta lain mencontohkan dalam kasus bayi baru lahir yang harus dirawat selama 30 hari di ruang NICU hingga menghabiskan dana Rp120 juta, ternyata hanya dibayar Rp10 juta. ”Akhirnya kami sampaikan surat pada Dinkes Pemda DKI, kami mundur dulu.” Pemakai layanan kesehatan Indonesia Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) 86,4 juta (36,3%) Asuransi kesehatan (Askes) Pegawai Negeri Sipil 16,5 juta lebih jiwa (6,7%) Askes TNI/Polri 1,4 juta (0,6 %) Jamsostek 7 juta (3%) Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) 45,5 juta (16,7%) Asuransi perusahaan 17 juta (7,1%) Asuransi swasta 2,9 juta (1,2%) Sumber: Kementrian Kesehatan Ujug-ujug Kasus RS Thamrin dan 14 rumah sakit ini –belakangan diberitakan Pemda DKI hanya dua RS yang secara resmi meminta mundur– membuka mata banyak pihak tentang rumitnya persoalan BPJS. Pemda DKI yang menggelar evaluasi tentang kebijakan pola tarif ini mengatakan tengah menghitung ulang besaran tarif yang dianggap pas untuk penyedia dana maupun rumah sakit. Tidak seperti program nasional yang hanya mematok subsidi iuran dana kesehatan warga miskin sebesar Rp15.500, pemda Jakarta memberikan Rp23.000 untuk tiap pasien per bulan sebagai dana kesehatan dalam skema Kartu Jakarta Sehat (KJS). Tetapi menambah besaran iuran untuk memberikan pembayaran lebih besar pada rumah sakit akan mengganggu keseimbangan anggaran daerah, danKlik langsung ditolak Gubernur Joko Widodo. "Ya tidak bisa, jelas akan mengganggu APBN wong sudah disahkan," tegasnya. Menurut Ketua Panitia Kerjaja penyusunan UU BPJS DPR, Supriyatno, pangkal masalahnya ada pada kecilnya dana yang dialokasikan untuk membayar iuran rakyat miskin. “Saya yang pimpin rapatnya di DPR. Ada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), ada Menkes, ada IDI yang lainnya hadir juga. Tadinya usulannya Rp27.000,"kata anggota Fraksi Gerindra ini. Belakangan setelah sampai ke meja Kementrian Keuangan ternyata iuran ditetapkan tinggal Rp15.500. “Ujug-ujug dipotong sendiri, tidak pakai alasan. Maaf kemampuan fiskal negara terbatas, gitu aja,” serunya dalam sebuah forum diskusi tentang BPJS jengkel. Kritik juga datang dari asosiasi dokter, rumah sakit, tenaga medis dan sejumlah kalangan lain. Sebaliknya menurut hitungan Kementrian Keuangan, angka Rp15.500 sudah memperhitungkan besaran layanan dan kemampuan keuangan negara dalam jangka panjang. “Kalau kita memaksakan mendapatkan layanan ini secara generous, itu berisiko secara fiskal,” kata Isa Rachma Parwata, Wakil Menkeu dalam acara diskusi yang sama. Meski dianggap kecil, jumlah itu juga dinilai cukup aman karena tak akan seluruhnya dipakai oleh 86 juta orang berbarengan. Jumlah ini juga dianggap lebih masuk akal mengingat dalam pola Jamkesmas sebelumnya, pemerintah hanya mengucurkan rata-rata Rp6.000 sd 6.500 per pasien sebagai dana kesehatan. "Artinya sudah ada kenaikan lebih dari 100%, kenapa harus pesimistis, ayo kita jalan saja dulu," seru Menkes Nafsiah Mboi. Buruh bertahap Di sisi lain, diharapkan terjadi susidi silang pada pembayar premi yang lebih besar terutama dari kalangan pekerja/buruh yang mendapat jaminan dari perusahaan dengan iuran rata-rata Rp35 ribu untuk sekitar 36 juta pekerja. Tidak seperti kemampuan negara yang minim, dana segar dari kelompok buruh ini dianggap mampu menyeimbangkan anggaran layanan kesehatan untuk kelompok lebih miskin yag ditanggung pemerintah. Namun Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr dr Zainal Abidin membantah kalkulasi subsidi silang tersebut. “Iuran/premi PBI yang rendah tidak akan mampu mendongkrak premi (peserta) lain. Karena jumlah orang miskinnya terlalu banyak sementara pembayar premi (pekerja) dengan nilai yang lumayan, itu hanya sedikit sehingga subsidi silangnya tidak terjadi,” kata Dr Zainal. Apalagi dalam rancangan pemerintah baru rakyat miskin berjumlah 86,4 juta yang akan diikutkan dalam BPJS 2014, sementara buruh akan diikutkan secara bertahap hingga 2019. “Saya rasa ini yang harus dijadikan catatan penting pemerintah: kenapa buruh yang sejak awal berdarah-darah memperjuangkan BJPS justru ditinggal di belakang? Padahal mereka punya daya dorong luar biasa untuk subsidi silang dengan iuran sebesar Rp35 ribu?” gugat Odang Muchtar dari Persatuan Rumah Sakit Indonesia, Persi. Meski ada masalah dengan besaran premi, Odang juga berpendapat kalangan praktisi medis tak layak meragukan pemberlakuan BPJS mulai tahun depan. "Jamkesmas dengan dana sekian bisa jalan, kenapa BPJS dengan dana yang lebih besar justru dipandang akan gagal?" serunya. --- http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/09/130919_health_jamkesmasjampersal.shtml Sukseskah Jamkesmas & Jampersal? Program Jamkesmas dan Jampersal dipandang merupakan cerminan keberhasilan dan tantangan yang akan dihadapi dalam skema asuransi kesehatan universal Indonesia mendatang. Meski masih banyak mendapat kritik skema program layanan kesehatan pemerintah dinilai punya kontribusi penting dalam upaya memperbaiki taraf kesehatan masyarakat. Penilaian ini ditujukan terhadap Jamkesmas (digulirkan sejak 2006) dan Jampersal (sejak 2012) yang diklaim memberi layanan gratis pada sedikitnya 89 juta orang pada tahun lalu. "Tentu banyak kekurangannya, tetapi karena kita anggap cukup baik maka kita teruskan menjadi Klik BPJS," kata Nizar Shihab dari Komisi X DPR, yeng membawahi isu kesehatan dan menjadi ketua tim pembahas UU Badan Penyelenggara Jaminan Ssosial tahun 2011. Nizar mencontohkan adanya perbaikan di sektor layanan primer kesehatan termasuk dalam kualitas, akses dan infrastruktur setelah digulirkannya Jamkesmas. "Dari berbagai model layanan kesehatan yang pernah ditawarkan pemerintah selama ini, Jamkesmas adalah yang terbaik karena bahkan meng-cover fasilitas cuci darah dan operasi jantung," tambah Nizar. Marius Widjajarta, pegiat kesehatan, membantah berbagai klaim ini. "Anda bisa saja mengobati jutaan orang tiap hari, tetapi dengan kualitas seperti apa? Sembuh atau malah tambah sakit?" serunya. Teriak-teriak Marius adalah pendiri Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia yang sejak lama menjadi salah satu pengkritik utama layanan kesehatan di Indonesia. Pangkal persoalan penetapan anggaran serta tolok ukur layanan kesehatan Indoensia, menurut Marius tak kunjung dapat disepakatai karena tak ada standar baku yang disebutnya Standar Pelayanan Medis. "Kalau standar nya belum ada, bagaimana kita mau menentukan demam typhoid harus dirawat dengan apa, rujukannya bagaimana?" tambahnya. Akibat ketiadaan acuan ini menurut Marius, masing-asing praktisi kesehatan termasuk rumah sakit membuat sendiri-sendiri standar aturan mereka yang tercermin dari besaran biaya dan bentuk layanan yang berbeda-beda padahal untuk merawat pasien dengan kondisi medis yang sama. "Saya terus teriak-teriak, buat dulu standarnya. Yang ada sekarang baru Standar Audit Pelayanan Medis, ini juga aneh. Lha yang diaudit malah belum ada standarnya," serunya sambil terkekeh. Tetapi Marius tak membantah sebagian besar masyarakat, terutama Klik kalangan menengah-bawah, sangat terbantu oleh secarik kartu berisi jaminan layanan kesehatan ini. Kristina Lasarompon, 46, warga Rajawali Kelurahan Lette, Makassar Kota mengatakan Jamkesda 'menyelamatkan' hidup adiknya, Rita, 16 tahun. "Tadinya kita mau masuk ke RS dengan memakai uang sendiri biar dapat ngutang karena memang sudah loyo sekali to, muntah-muntah terus," kata Kristina. Justru di RS Labuang Baji, salah satu RS milik pemerintah setempat, ia mendapat penjelasan meski si adik bukan warga Makassar ia tak perlu bayar kalau bisa dicarikan surat pengantar warga tak mampu dari RT/RW dan kelurahan. "Tidak jadi kita utang, adik saya dapat dirawat lima hari sembuh sudah," kisahnya girang. Cerita seperti ini, menurut Direktur RS Labuang Baji Dr Enrico Marentek mencerminkan besarnya peran jaminan kesehatan gratis bagi masyarakat. "Bahkan dalam kondisi emerjensi, layanan langsung diberikan, surat-surat bisa tunggu kemudian," kata Dr Enrico. Eniros Rumengan juga tak punya dokumen lengkap meski sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta Utara. Perempuan lajang ini punya penyakit vertigo yang parah dan penghasilannya sebagai buruh di Kampung Beting Remaja, Kramat Tunggak Jakarta Utara tak memungkinkannya untuk berobat ke dokter umum. Susahnya, daerah tempat tinggal baru mulai awal tahun ini diakui resmi sebagai bagian dari DKI Jakarta sehingga tak semua penduduk di sini punya KTP dan Kartu Keluarga, dua syarat berobat dalam skema Kartu Jakarta Sehat, program Jamkesda ala Jakarta. "Untungnya kita tinggal ke tempat pak RT/RW, minta pengantar. Kalau nggak bisa begitu, wah nggak tau lah gimana saya bisa berobat," kata Eniros. 'Pasrah' Banyak yang memuji, Jamkesmas dan Jamkesda juga kerap memantik protes. Seperti kasus beras miskis dan bantuan tunai, di berbagai provinsi masih muncul kasus penerima kartu yang dianggap tak sesuai. Dalam banyak kasus, penerima kartu Jamkesmas ternyata ada pula yang diberi kartu Jamkesda. Sialnya, ada yang justru tak terima kartu sama sekali, seperti dialami keluarga Edi, seorang tukang becak beranak tiga di Mariso, Makassar. "Memang bisa minta surat ke keluarahan, tapi kalau sakit malam-malam atau petugasnya lagi tak ada bagaimana?" gugat Edi. Kritik lain menurut Marius Widjajarta, adalah pasien miskin yang tak tahu sebenarnya hanya mendapat 'layanan sekadarnya'. "Memang kalau perlu dibedah ya dibedah, tetapi saya dengar dari seorang dokter di Padang, dijahitnya dengan benang bawah standar," kata Marius tanpa merinci siapa dokter yang dimaksudnya. Ia juga menyoroti bagaimana pasien harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan giliran layanan, sangat berbeda dengan layanan swasta yang umunya dijual RS pada sore hari. "Artinya kalau ada standar layanan yang sama, itu masih jauh, belum terjadi," tukasnya. Eniros Rumengan mengakui hal ini. "Kalau pas dapat giliran untuk scan kepala ya, tunggunya seharian pagi ampe sore," katanya santai. Eniros tak mempersoalkan hal ini, karena merasa bersyukur bisa dilayani. "Kali yang gilirannya cepet buat yang sanggup bayar," katanya terus terang. Saidah juga mengaku bersyukur mendapat fasilitas Jamkesda di Kabupaten Bekasi. Ibu tiga anak yang bersuami tukang kebun sebuah kantor instansi pemerintah di Bekasi ini melahirkan tiga anak di rumah sakit pemerintah, seluruhnya gratis. Namun anak ketiganya, Muhammad Farhan Ramadhan, menderita atreasia bilier (lahir tanpa anus) saat lahir tahun 2012. "Ya biar pun rumah sakitnya gratis, nebusnya tetep harus bayar 1,5 juta soalnya kan langsung dioperasi," katanya lirih. Sejak itu bayi Saidah dirujuk ke RSCM di Jakarta untuk mendapatkan operasi lanjut, meski sampai Agustus lalu belum juga terlaksana. "Nggak tahu deh kapan bisanya, saya pasrah saja." --- http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/09/130805_health_preventivemedicine.shtml Pengobatan preventif agar Indonesia 'tak bangkrut' Kampanye pengobatan preventif berisi pencegahan meluasnya penyakit metabolik, dipercaya pemerintah menjadi kunci keberhasilan mengendalikan besarnya anggaran kesehatan nasional. Pemerintah berencana memperbesar kegiatan kampanye memperbaiki gaya hidup penduduk Indonesia untuk menghindarkan ledakan jumlah pasien akibat penyakit metabolik. "Kita sudah lakukan analisis dan memang kita lihat ada shift dari penyakit sederhana: diare, ISPA dan seterusnya ke penyakit tidak menular," kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi kepada BBC. Penyakit yang lazim disebut gangguan metabolik ini menempati urutan teratas penyebab kematian di Indonesia yakni Klik stroke, jantung, ginjal, kanker dan diabetes. Meski subsidi untuk pengobatan penyakit berat ini terbatas, tetapi dana negara untuk perawatan penyakit-penyakit ini dari tahun ke tahun jumlahnya terus melonjak. Pada tahun lalu untuk Klik skema Jamkesmas anggaran perawatan lima penyakit berat ini mencapai lebih dari 83% dari total dana yang disediakan. "Itulah yg paling banyak sedot biaya dalam anggaran (kesehatan) kita, " tambah Nafsiah. Meski kebanyakan orang menyadari gaya hidup tak teratur dan jarang olahraga akan memicu penyakit, tetap saja pasien baru bermunculan. "Health care is not free, yang tidak mampu betul dibayar negara tetapi yang mampu tetap harus bayar sendiri" Direktur Askes Dr Fahmi Idries mengatakan masyarakat seolah bersikap masa bodoh terhadap ancaman penyakit metabolik antara lain karena beranggapan 'sudah ada pengobatan gratis". "Health care is not free, yang tidak mampu betul dibayar negara tetapi yang mampu tetap harus bayar sendiri," kata Fahmi. Pesan ini menurut Fahmi, yang juga mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia, juga harus terus digemakan agar tak makin berat anggaran dipakai untuk mengobati pasien sakit berat. Takaran gula dan garam Salah satu data mutakhir tentang jumlah penderita penyakit metabolik di Indonesia menyebut pada tahun 2011, dari setiap 1.000 orang di Indonesia, terkena stroke. Selain itu, stroke juga penyebab utama kematian pada semua umur dengan proporsi 15,4 persen. Setiap tujuh orang yang meninggal di Indonesia, satu di antaranya karena stroke. Pangkal sebab stroke adalah tekanan darah tinggi (hipertensi), yang menurut WHO menyumbang 51% kematian melalui stroke Dan 45% kematian melalui jantung koroner. Di Indonesia data Kemenkes menunjukkan hipertensi adalah salah satu penyakit dengan prevalensi tertinggi: 31,7%. Itu berarti 1 dari 3 orang Indonesia menderita penyakit ini. Sementara dalam kasus penyakit jantung data sepuluh tahun lalu menyebut dalam setiap 1000 populasi secikitnya 53 orang tewas akibat Klik serangan jantung Di Indonesia tiap tahun. Ledakan jumlah penderita penyakit metabolik ini menurut Menkes Nafsiah erat kaitannya dengan tingkat gizi minimal saat bayi/balita. "Kita tahu ada hubungan erat antara malnutrisi pada bayi Dan over nutrisi pada usia remaja, dewasa dan lebih lagi lansia." Kementerian telah mengeluarkan program CERDIK, kampanye khusus memerangi penambahan kasus penyakit metabolik. Menkes mengatakan pemerintah juga akan mengeluarkan petunjuk gizi baru baru bagi dokter dan petugas medis tentang asupan makanan 'terutama untuk takaran gula, minyak goreng atau lemak dan garam' yang dituding jadi faktor pemberat munculnya hipertensi, jantung koroner dan diabetes. Yang juga memberatkan anggaran adalah penyakit akibat merokok dan turunannya, termasuk jantung, kelainan pada paru serta kanker. "Saya belum berhasil melarang pemberian jaminan Kesehatan untuk perokok. Bayangkan ada 66 juta di Indonesia". Senam pagi Kampanye soal cuci tangan dan mandi masihd ilakukan Dr Seny setiap hari. Diluar kasus-kasus metabolik, penyakit menular serta wabah terkait sanitasi lingkungan masih menyumbang angka kematian tiap hari. Dr Seny Sumalgo sudah 26 tahun berdinas dari puskesmas ke Puskesmas, namun mengaku masih menemui kasus diare dan muntaber hampir setiap hari. Pangkal peraoalannya menurut Seny adalah kesadaran tentang kebersihan dasar yang rendah. "Kenapa ini kukunya panjang-panjang, hitam-hitam pula?", Seny memarahi ibu seorang pasien saat memeriksa pasien di Puskesmas Maccini Sawah, Makassar. Si pasien, Muhammad Adli, baru dua tahun datang dengan keluhan buang-buang air besar dan demam. Ibunya, Anisah, mengaku si anak belum makan sejak sehari sebelumnya karena tak ada nafsu makan. "Jangan kasih dia makan ciki-ciki (makanan ringan kemasan) saja, makan nasi yang betul," tambah dokter Seny. Resep hidup bersih sederhana seperti cuci tangan dan mandi dengan teratur masih merupakan bahan kampanye penting di tingkat layanan kesehatan dasar seperti Puskesmas. Puluhan juta warga miskin seperti Anisah, bersuami tukang becak dengan empat anak, sering kali dihadapkan pada perasoalan mendasar penyediaan makan layak dan air bersih. "Kita tidak boleh bosan ngomong dan cerewet soal cuci botol susu yang betul, makan jangan jajan sembarangan, yang sepele-sepele itu," kata dokter ramah ini. Kampanye dasar seperti ini sempat menjadi salah satu materi utama ajang PKK dan Posyandu di bawah era Orde Baru. Kini Menkes Nafsiah Mboi mengatakan juga berniat meniru kampanye hidup sehat gaya lama yang menurutnya 'tak perlu rumit dan murah'. "Mulai dari PAUD TK SD SMP dimasukkan agenda senam, dulu jaman dulu kami biasa senam kemudian ada pertandingan lagi ini dan itu. "Dari kecil kita biasa bergerak, beda dengan sekarang semuanya berdasar permainan game, telepon genggam yang tidak bergerak," tegas Menkes. Sayangnya, ia mengakui mencangkokkan senam pagi dalam agenda kegiatan sekolah ternyata tidak mudah. "Ini yang saya belum berhasil sampai sekarang." --- http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/09/130919_health_nafsiahitv.shtml Menkes: swasta tak mau gabung, no problem Dari urusan tarif kesehatan yang minim hingga menimbulkan antipati rumah sakit swasta hingga meninggalnya bayi karena kurangnya fasilitas perawatan, Menteri Kesehatan Dr Andi Nafsiah Walinono Mboi, SpA, MPH menjawab keraguan tentang tekad pemerintah untuk memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh warga Indonesia mulai tahun depan dalam wawancara khusus dengan Dewi Safitri. Banyak yang menilai Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) belum siap sampai akhir tahun ini Ada ketidaksempurnaan, ada kekurangan tetapi bagian-bagian penting sudah kita capai, banyak kemajuan. Pemerintah bukan membayar semuanya ya, dan ini sudah disiapkan sejak 2004 jadi sebenarnya kita sudah punya pengalaman 10 tahun ini, diperkuat dengan pengalaman Jamkesmas sejak 2009. Tetapi Universal Health Coverage memang masih akan tercapai 2019, jadi kita punya sekitar lima tahun lagi menuju kesana. Filosofinya adalah dengan memebrikan jaminan ini maka bilamana mereka sakit maka mereka bisa berobat tanpa jadi makin miskin jadi mereka bisa sembuh dan kembali kerja untuk mempertbaiki taraf hidup. Jadi desain besarnya jaminan kesehatan universal ini adalah bagian dari upaya pengentasan kemiskinan Tapi nyatanya untuk kasus Jakarta misalnya, yang jadi salah satu proyek contoh, masih ada penolakan rumah sakit juga ada warga merasa tak dilindungi jaminan itu Jakarta terlalu cepat, dan saat itu kita belum ada persiapannya. Juga ada salah paham, KJS (Kartu Jakarta Sehat) itu untuk semuanya, gratis. Bukan begitu maksudnya. Yang betul adalah sampai 2019 semuanya akan dijamin dengan semacam asuransi. Jadi mereka bergerak terlalu cepat. Di wilayah lain juga ada yang memakai isu ini sebagai semacam janji politik. Bupati menggunakan ini sebagai umpan politik. Kalau pilih saya nanti saya kasih (jaminan kesehatan) ini, itu... ndak betul, ini harus dibetulkan. Faktanya adalah ini memang tugas mereka menyediakan layanan kesehatan, cuma karena masa transisi saja (menjelang berlakunya BPJS) maka pemerintah nasional yang menyediakannya. Apa yang Anda sebut sebagai bagian penting yang sudah tercapai tadi? Yang pertama layanan kesehatan berskala nasional dengan basis sistematis ini sudah berjalan selama sepuluh tahun terakhir dengan berbagai nama, Sebelumnya ada GKN-Gakin dan seterusnya, sekarang ada Jamkesmas. Kedua, tentang sistem layanannya ini ada kesan bahwa jaminan ini berarti semua orang bisa pergi ke RS (bila sakit). Yang betul adalah kita punya sistem (yakni) sistem layanan kesehatan primer, kemudian layanan rujukan RS kelas D dan C, kemudian rujukan nasional ( yakni kelas B plus dan A). Tapi di Jakarta orang maunya tidak begitu: saya sakit saya langsung ke RSCM. Ya ndak bisa gitu, akibatnya RS jadi kewalahan sekali toh. Memang semanya harus diatur dan diedukasi ke seluruh lapisan masyarakat, mereka banyak tak tahu bahwa aturannya begitu memakai sistem rujukan. Tidak bisa langsung ke rumah sakit rujukan. Kemudian untuk Infrastruktur standar WHO, juga banyak yang sudah kita bisa penuhi bahkan lebih. Tapi jelas, fasilitas yang begitu banyak selalu sulit dinikmati masyarakat daerah terpencil Betul. Problemnya adalah distribusi yang tak merata dan kualitas layanannya, dan yang kita lakukan sejauh ini adalah melibatkan pihak swasta: dokter umum, klinik kecil, dokter keluarga dan lain-lain. Tujuannya memastikan pada Januari 2014 semua warga mendapat layanan kesehatan dasar, itu prioritas dasar kita. Soal ketidakmerataan kita sekarang bangun rumah-rumah sakit yang lebih kecil karena Anda tahu kalau Anda Bupati/Walikota maunya selalu RS besar, bagus, segede Bagong di ibukota kabupaten. Kami bilang maaf, nggak bisa gitu, kita sekarang targetnya bangun RS yang lebih kecil untuk tiap 50 ribu warga 1 RS dengan minimum 50 kamar tempat tidur. Tapi RS ini dilengkapi dengan kamar bedah, poli kebidanan dan kandungan, jantung. Tapi kami juga mengundang swasta, ayo bergabung dengan syarat harus penuhi standarnya. Karena kita sudah tentukan standarnya, dan semua RS, swasta atau negeri, harus terakreditasi. Dan memang masih ada 50% RS, terutama swasta, belum diakreditasi. Secara garis besar seperti apa rancangan Kementerian untuk BPJS? Jamkesmas saat ini menyediakan jaminan kesehatan untuk 86,4 juta warga, sementara Jamkesda 44,5 juta. Jamkesda dan Jamkesmas akan diintegrasikan dalam skema Jaminan Sosial Nasional hingga 2019 mulai dari warga yang paling miskin. Untuk daerah yang lebih kaya, seperti Jakarta, mereka bisa tawarkan pada 1,7 juta warga miskin, bagus boleh saja karena mereka memang mampu. Tapi beberapa daerah atau kabupaten mereka memang tak mampu jadi mereka lah yang akan lebih dulu dimasukkan ke BPJS. Tapi standarnya apa kemudian tidak jomplang? Bagaimana menyeragamkannya? Standarnya kan nasional. Cuma preminya saja yang berbeda. Sekarang misalnya premi BPJS sekian rupiah, sementara di berbagai daerah Jamkesda ada yang sudah segitu, tapi ada yang masih dibawahnya. Itu nanti yang akan diintegrasikan secara bertahap sampai 2019. Tapi sampai sekarang kan belum ketemu angka premi yang cocok dan bisa diterima semua pihak. Rumah sakit juga masih ada yang tolak pola tarif BPJS. Soal dispute pola tarif ini kita harus lihat jelas antara RS negeri dan swasta ada perbedaan, terutama karena RS pemerintah kan gaji dan alat dibayari pemerintah. Tetapi RS Swasta, terutama yang melayani rakyat di daerah yang sulit terjangkau, saya ambil contoh di Papua misalnya: yang ada disitu cuma ada klinik misi, tidak ada RS pemerintah ya ini saja kita berdayakan dulu, that's fine. Tentu saja tarifnya berbeda sedikiti, bisa saja tarifnya beda. Yang penting untuk kepentingan rakyat. Yang penting kita lihat akses dan quality of care. Tapi kalau seperti Jakarta, kalau RS yg for profit tidak mau ya nggak jadi masalah, gak usah repot. Dan memang yg menolak dari 19 (RS), cuma dua, itu pun kecil-kecil gak akan berpengaruh. They dont want to join me, no problem, they don't have to. ------------------------------------ Archives terdapat di http://www.yahoogroups.com/group/desentralisasi-kesehatan Situs web terkait http://www.desentralisasi-kesehatan.net Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/desentralisasi-kesehatan/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/desentralisasi-kesehatan/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: desentralisasi-kesehatan-dig...@yahoogroups.com desentralisasi-kesehatan-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: desentralisasi-kesehatan-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://info.yahoo.com/legal/us/yahoo/utos/terms/