Saya barusan bilang sama urang rumah: " Wah saya mau bilang apa
    lagi tentng agama Islam di proletar, karena dengan kedatangan
    dua orang fudementalis goblok, tolol, dungu dan bodoh diskusi
    jadi maju". 

    (Saya maksudkan Achmad Fauzi dan "environment"). 

    Kedatangan mereka tiba-tiba menempatkan peserta lain diposisi
    yang memungkinkan mereka maju selangkah: JD nggak perlu lagi
    teriak-teriak tentang Islam biadab dan - ini yang tidak terduga
    sebelumnya - para poster Islam akan nggah bahwa argumen mereka
    selama ini ternyata sama dan sebangun dengan argumen
    "environment" yang fundamentalis Nasrani itu. Dengan kata lain
    "environment" mendorong - dengan tidak disengajanya - orang Islam
    untuk maju selangkah. 

    Cakep bukan? 

    Kembali ke van Sloterdijk. 

    Ya, saya sudah beberapa kali ngomong tentang van Sloterdijk
    disini, sekedar untuk menarik perhatian peserta akan adanya
    diskusi filosofis yang sedang berlangsung didunia sebagai akibat
    kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. 

    Sayangnya diluar Eropa nama van Sloterdijk kayaknya belum begitu
    dikenal khalayak ramai dan saya tidak tahu apakah di Amerika
    para filsuf sudah ada yang memberi reaksi atas pikiran van
    Sloterdijk itu. Apakah karena  mereka lagi sibuk mengepung Tuhan
    yagn sedang ngumpet di salah satu selaput benak manusia? 

    Saya sendiri baru pesen buku-bukunya yang sudah diterjemahkan
    kedalam bahasa Perancis - dan yang telah ada dikamar keja saya
    juga  baru saya bulak-balik saja. 

    Bagi yang bisa berbahasa Perancis ada buku Axel Kahn yang
    berjulud Et l'homme dans tout cela.

    Saya sudah bolak balik sedikit, tapi tebel bener jadi kudu tunggu
    pakansi buat bacanya dengan teliti. 

    Saya hanya ingin menambahkan hal berikut, seabad setelah
    Nietzsche menyatakan Tuhan itu mati ("Gott ist Tot") dan selelah
    strukturalis seperti Levi-Strauss, Althusser dan Michel
    Foucouldt menyatakan 'l'homme est mort" van Sloterdijk
    melanjutkan sekarang dengan berkata bahwa manusia telah menjadi
    Tuhan. 

    Dan masih ada orang yang enganggap sebagaikebenaranbahwa kitab
    sucinya yang kecap nomor satu! 

    Tolol bukan? 

============================


To:                     [EMAIL PROTECTED]
From:                   [EMAIL PROTECTED]
Date sent:              Sun, 13 Aug 2000 14:38:37 -0000
Send reply to:          [EMAIL PROTECTED]
Subject:                [proletar] Re: Desakralisasi Agama

> wahhhh..., entahlah bagaimana konstelasi planetar bintang-bintang
> saat ini, sehingga prol di akhir minggu ini tiba-tiba melalhirkan 
> diskusi-diskusi yang sangat menarik, dan punya kualitas yang membuat 
> saya betul-betul terangguk-angguk. heibaatt. 
> 
> saya sendiri bingung mau melompat duluan ke aliran deras yang mana.
> banyak sekali aspek menarik. tapi saya mulai dari desakralisasi agama 
> dekh. saya ingin mendekati masalahnya dari sudut pandang sosiologis,
> artinya, dari interaksi manusia, nilai-nilai dan agama.
> ini bakal panjang dan 'membingungkan', jadi saya sudah beri warning.
> 
> mari kita lihat agama sebagai suatu bagian dari religiusitas,
> yang sudah diformalkan. mari kita lihat religiusitas manusia
> sebagai upaya manusia mendapatkan kepastian dari misteri-misteri
> dalam hidupnya, yang tidak terjawab oleh daya nalarnya.
> saya di sini tidak membicarakan tentang eksistensi tuhan atau tidak, 
> karena ini tidak berhubungan langsung dengan masalahnya.
> 
> mengapa religiusitas manusia perlu diformalkan?
> menjadi dogma-dogma agama? dalam upaya mengatur
> kehidupan masyarakat, manusia membutuhkan aturan-aturan.
> drive utama membuat aturan, adalah keinginan untuk survival.
> untuk kelangsungan hidup, bagaimanapun persepsi sang manusia,
> maupun kelompok sosial dimana dia berada.
> 
> dapat dibayangkan, ketika jaman dulu manusia makin banyak,
> dan dengan demikian interaksi sosial makin banyak, diperlukan
> beberapa aturan untuk mengatur kehidupan sosial itu.
> 
> untuk kita, yang menatap ke belakang, bisa dibayangkan kehidupan
> jaman dulu adalah suatu situasi darurat. berbagai ancaman mengelilingi
> manusia. binatang buas, penyakit, bencana alam dlsb.
> dan dalam suatu situasi darurat, kita tau, aturan hanya bisa 
> ditegakkan melalui suatu legitimasi yang sangat kuat.
> 
> aturan perlu sanksi. sanksi perlu institusi yang menjatuhkan sanksi.
> institusi perlu legitimasi, agar bisa memiliki otoritas untuk 
> menjatuhkan sanksi. demikian lingkaran pengaturan kehidupan sosial.
> 
> yang paling penting di sini adalah otoritas dan legitimasi.
> legitimasi untuk otoritas yang paling efektif, adalah legitimasi
> dari langit. sekali lagi saya ingin menegaskan, bahwa di sini saya
> tidak mempersoalkan eksistensi tuhan ada atau tidak. tapi mengamati
> bagaimana manusia mencoba untuk terus survive.
> 
> mengapa legitimasi langit efektif? karena metode legitimasi langit
> ini membutuhkan 'pembawa maklumat', dan dialah yang menjadi wakil 
> langit dan memegang otorita. dan untungnya, langitpun tidak pernah 
> berbicara sendiri secara gamblang. sehingga para interpretator punya 
> kesempatan menyusun maklumat langit. dan kabar dari langitpun
> bisa menjadi bahan interpretasi, tergantung siapa para
> penerjemahnya. dan 'kebetulan sekali', manusia sendiri sudah punya 
> semacam religiusitas. masing-masing individu punya dorongan untuk 
> memegang suatu bentuk kepastian tentang berbagai macam misteri.
> 
> jadi dalam perkembangan selanjutnya, semua pimpinan masyarakat
> yang makin besar jaman dulu-dulu, yang menggunakan metode
> legitimasi langit dalam masyarakatnya, lebih berhasil mengintegrasi
> masyarakat, dan dengan sendirinya jadi lebih kuat.
> 
> kemajuan 'teknologi' dan 'pengetahuan' jaman baheula, menyingkap
> satu-satu 'misteri kehidupan', maka legitimasi langitan pun
> perlu menyusun misteri-misteri baru, kalau masih mau memegang
> otorita. maka diperlukan formalisasi religiusitas yang makin kompleks.
> jadilah agama-agama dan sekaligus teologinya. dari perkembangan 
> pemikiran legitimasi langit, ternyata kemdian disadari juga, bahwa 
> penguasa langit yang terlalu banyak, seperti gaya india atau yunani 
> dengan banyak dewa-dewa, bisa membuat orang bingung.
> maka, legitimasi langit yang paling efektif adalah jika penguasa 
> langit memang hanya satu. dan benar, agama yang paling efektif 
> mengatur kehidupan yang makin kompleks, adalah agama dengan penguasa 
> tunggal di langit, lahirlah monotheisme.
> dan memang untuk beberapa abad, monotheisme berhasil mengintegrasikan 
> masyarakat.
> 
> setiap loncatan teknologi dan pengetahuan, selalu menyingkap
> apa yang tadinya misteri. karena itu, theologi makin lama makin
> mendapat tantangan. di sinilah kemudian terjadi perdebatan keras,
> ketika sebagian manusia mulai memalingkan pandangannya pada
> manusia sendiri, dan menolak para interpretator dan pembawa
> maklumat langitan, lahirlah apa yang disebut orientasi humanistik,
> yang memisahkan diri dari orientasi legitimasi langitan.
> orientasi manakah yang lebih berhasil membawa kedamaian
> dan kesejahteraan bagi umat manusia, hal mana yang notabene
> selalu dideklarasikan sebagai tujuan mulia umat beragama
> sekaligus tujuan mulia kemanusiaan? tentu saja ini bisa jadi bahan 
> perdebatan. tentu saja, disini bercampur juga masalah perebutan 
> sumber-sumber legitimasi sebagai alat kekuasaan.
> tapi marilah kita berangkat dari itikad baik kedua kubu,
> yang berlomba dalam gagasan bagaimana tujuan ketuhanan
> bisa membawa kita pada kemanusiaan.
> 
> kita sekarang berada dalam sebuah fase peradaban manusia,
> di mana kedua kubu ini, ketuhanan vs kemanusiaan, hampir mencapai 
> kulminasi kontroversinya. dan ini juga karena perkembangan teknologi
> dan pengetahuan. orientasi langitan menemui batas-batasnya mnghadapi 
> masalah-masalah kemanusiaan. orientasi humanistik juga menemui 
> batasan-batasannya ketika berhadapan dengan etikanya sendiri.
> saya tidak mempersoalkan legitimasi mana yang akan
> sanggup mengintegrasikan kehidupan masyarakat global,
> tetapi dari perkembangan peradaban, kita sepertinya sedang
> menyaksikan lahirnya bentuk legitimasi baru, yang bukan melulu
> langitan dan bukan melulu humanistik.
> 
> inlah yang sebenarnya ingin dilemparkan oleh sloterdijk, sang filsuf,
> ketika dengan provokatif mengatakan 'humanistik sudah menjelang
> mati'. 
> maksud sloterdijk adalah: sudah bukan saatnya lagi memusatkan 
> perhatian pada manusia yang ingin menyelesaikan persoalan peradaban, 
> karena manusia saja tidak akan sampai ke sana kalau hanya terus 
> berusaha menguak misteri yang tidak ada hujungnya. karena manusia 
> sebenarnya berhadapan dengan dirinya sendiri yang selalu melahirkan
> pertanyaan atas sebuah jawaban.
> 
> sloterdijk berpendapat, sudah saatnya manusia menjadi tuhan,
> dan menentukan sendiri, manusia yang bagaimana yang ingin 
> diciptakannya untuk menyambut peradaban baru dalam milenium-milenium 
> berikutnya. maksud sloterdijk adalah, biarlah manusia mengambil 
> resiko, dengan segala keterbatasannya, untuk menembus polaritas yang 
> tak pernah berakhir antara langit dan bumi, antara tuhan dan manusia.
> dibalik provokasi itu, sloterdijk sebenarnya (dan ini pendapat saya
> sendiri) ingin menantang manusia mengambil keputusan sendiri
> tentang masa depannya. dan tidak melulu mengembankan semua
> tindakannya pada legitimasi langitan, dan mengatakan: itu masalah 
> tuhan, bukan masalah saya. biarlah tuhan menentukan. dilihat dari
> sudut pandang lain, sikap begini berarti sama saja dengan menolak
> tanggung jawab atas perbuatan manusia sendiri. karena yang bertindak
> adalah kita, lalu mengapa memalingkan tanggung jawab ke langit?
> 
> terlepas dari apakah pemikiran itu dapat diterima atau tidak,
> dapat disetujui atau tidak, tetapi jelaslah bahwa ini wacana
> pemikiran baru yang menantang. 
> 
> jelas, umat manusia butuh etika. nilai-nilai dasar untuk 
> mengintegrasikan kehidupan milyaran orang. sesuatu yang begitu 
> kompeksnya. untuk sloterdijk, ini membutuhkan pemikiran baru, inilah 
> ambang 'masa pencerahan' jilid kedua, yaitu ketika etika menjadikan 
> manusia dan tuhan jadi satu. bukan dua bagian terpisah, tuhan di 
> langit dan manusia di bumi.
> dan saya sendiri ingin meng-interpretasikannya begini:
> mungkin, pemikiran sloterdijk adalah pengejawantahan
> yang paling berani dan konsekuen dari prinsip
> manunggaling kawulo gusti dari kosmologi jawa!
> ketika orang jawa terlalu santun dan terlalu malu-malu dan
> tidak mampu memformulasikannya, sehingga 'gagal' menawarkan konsep 
> alternatif pencerahan jilid ke-II.
> 
> mari kita kembali pada umat beragama dan kepercayaannya tentang tuhan.
> bagaimana bereaksi terhadap loncatan wacana ini?
> karena saya lebih mengerti pemikiran orang kristen, saya akan
> mencoba 'menantang' wacana kristen dari sisi ini.
> kalau tuhan memang ada, dan manusia ingin menjadi tuhan demi 
> menyelamatkan kelangsungan spesies manusia, salahkah itu dari 
> pandangan tuhan? menurut saya, belum tentu. karena tujuan akhirnya 
> adalah penyelamatan umat manusia, membawa bumi menjadi sorga.
> jadi, mungkin tuhan malah senang. malah bertepuk tangan. applaus.
> karena inilah tujuannya menciptakan manusia, dan ternyata, ciptaannya 
> memutuskan dengan segala keberanian dan kekhusukannya untuk
> memandang tuhannya dari muka ke muka. suatu tindakan freewill dalam
> jurus yang paling tinggi dan sempurna.
> apakah tuhan akan marah? bukankah tuhan akan senang,
> kalau manusia tidak perlu petunjuk tuhan lagi, karena memang sudah
> menjalankan apa yang dia mau secara seutuhnya? bukankah itu berarti 
> bahwa manusia akhirnya menemukan jalan penyelamatan yang telah 
> disediakan tuhan sendiri? bukankah itu artinya manusia dan tuhan
> sudah berhasil? suatu 'kemenangan' besar dalam prakarsa bahu-membahu
> tuhan dan manusia?
> 
> tentu saja, ini semua pemikiran yang sangat provokatif untuk kelompok 
> agama. tapi jangan lupa, 'umat beragama' berhasil menembus era 
> pencerahan jilid-I, dan keluar dari sana dengan gagasan-gagasan yang 
> berhasil memberi masukan-masukan penting bagi peradaban selanjutnya.
> dan  seperti pernah saya katakan di sini, dekalarasi hak asasi
> manusia pbb, lahir bukan tanpa sumbangan dari pemikiran religius 
> tentang hakekat menusia. justru bersumber pada pemikiran itu, sebelum 
> berkembang dari sini. tetapi ketika ham sudah menjadi deklarasi pbb, 
> dan ini yang saya sebut proses 'objektivasi', atau mungkin bisa 
> dikatakan di-sekularisasi-kan, atau sebutlah 'desakralisasi'.
> yang pasi: kita tidak perlu lagi agama lagi untuk membela ham. karena 
> ham sudah bukan milik sesuatu agama, bukan pula hanya milik orang 
> beragama, tetapi milik dunia. milik semua orang. entah apa
> agamanya apa warna kulitnya apa kelaminnya apa rasnya.
> 
> apakah ini suatu hal yang harus menggusarkan orang beragama?
> justru sebaliknya. mereka telah menyumbangkan sesuatu pada dunia.
> mereka pantaslah merayakannya.
> 
> maka, disinilah saya mengartikan sekularisasi. yaitu metode
> bagaimana menyumbangkan pemikiran agama untuk dunia,
> yang bisa diterima masyarakat dunia. untuk itu, menurut saya, pemikir 
> agama harus mampu meloncati prejudisnya sendiri dan prejudis orang 
> tidak beragama terhadapnya. pemikir agama harus mengerti posisinya 
> dalam menyelamatkan dunia, harus mampu melepaskan diri dari kekangan 
> ayat-ayat, menerjemahkan esensi ajaran agamanya sehingga bisa 
> dipahami, dan diterima mayoritas umat manusia sebagai gagasan 'bebas 
> agama', gagasan sekuler, yang akhirnya di-objektivasi menjadi sebuah 
> aturan internasional demi kelangsungan peradaban umat manusia.
> 
> di sinilah, semua pemikir agama0seharusnya tertantang, untuk 
> benar-benar berkiprah bagi dunia dan kelangsungan hidup dunia dan 
> lingkungannya.
> 
> dan masih banyak sekali masalah global, masalah ekologi, masalah
> kemakmuran yang masih kita hadapi, yang membutuhkan pemikiran
> dan masukan-masukan, juga dari umat bergama, sementara kita
> masih bertarung tentang pembenaran ayat-ayat?
> ketika 1000 tokoh agama akan berkumpul di platform pbb akhir
> bulan ini untuk membahas soal-soal perdamaian global, penanggulangan
> kemiskinan, keberlanjutan manusia dan lingkungannya, kita masih
> mencari apa suatu ayat benar ditulis dan dikatakan begitu atau
> mana kata yang mungkin ditambahkan dan yang bukan?
> 
> dan saya belum berbicara tentang bagaimana wacana politik kita,
> dan belum bertanya tentang apa sumbangan kita terhadap penyelesaian
> ketegangan-ketegangan politik global serta kawasan regional kita. 
> 
> wahai masyarakat bergama indonesia, bangkitlah
> langkahkan kaki, keluar dari kegelapan,
> cari mentari pencerahan, agar menyinari sanubarimu,
> membebaskanmu dari keresahan dan kedinginan mencekam,
> reguk hangatnya, kunyah habis-habis energinya
> temukan zat ilahi didalammu, bagikan ke sekelilingmu.
> 
> howgh!
> suhendra
> 
> 
> --------------------------------------------------------------------<e|-
> Find long lost high school friends:
> http://click.egroups.com/1/8016/0/_/8509/_/966177528/
> --------------------------------------------------------------------|e>-
> 
> Post message: [EMAIL PROTECTED]
> Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
> Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
> List owner  :  [EMAIL PROTECTED]


Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo
=====================================

* Ijtihad untuk mencerdaskan ajaran Islam yang sekarang ini penuh ketololan, 
kedunguan, kegoblokan dan kebodohan

* Ijtihad untuk memanusiawikan ajaran Islam yang sekarang ini biadab, keji dan nista


Kirim email ke