Kriminalisasi Praktik Dokter 

HANDRAWAN NADESUL 

Hukum Praktik Kedokteran dinilai mengkriminalkan praktik dokter. Kesalahan 
administrasi sebab dokter melanggar praktik di lebih dari tiga tempat, 
misalnya, eloknya tak diganjar hukuman penjara. Sejatinya alasan pembatasan 
praktik dokter demi kebaikan dokter dan agar pasien tak sampai dirugikan. Apa 
yang terjadi di lapangan? 

Di mana-mana di dunia, masalah medis dan kesehatan berhulu dari tiga anasir. 
(1) Buruknya hubungan dokter-pasien; (2) tak tepatnya memilih sistem layanan 
kesehatan yang dianut, dan; (3) kondisi pranata kesehatan masyarakat. 
Masing-masing membawa kendala dan masalahnya sendiri. 

Sengketa dokter-pasien bukan terbatas lantaran hadirnya kesenjangan kompetensi, 
melainkan oleh ihwal nonmedis-nonteknis yang berawal dari soal akhlak. Akhlak 
milik pihak dokter dan akhlak yang dibawa pasien serta masyarakat. 

Akhlak dokter memunculkan sikap kesewenang-wenangan terhadap pasien karena 
dokter memiliki otonomi tinggi dalam mengobati pasien. Saat yang sama hadir 
gugatan pasien yang celakanya melampaui akal sehat medis. 

Montir dan mobil 

Sebut sikap masyarakat menuduh setiap ihwal kerugian yang dipikul pasien, 
kesalahan serta-merta menohok pihak pemberi layanan. Tuduhan pralegal untuk 
kasus dugaan malapraktik muncul karena terbatasnya akal sehat medis masyarakat. 

Di sisi lain, masyarakat mendudukkan posisi dokter sebagai montir. Dokter pun 
memperlakukan pasien seperti mobil di bengkel. Padahal, transaksi terapeutik 
punya karakter berbeda. Dalam mengobati pasien, tak boleh dan tak bisa ada 
janji pasti sembuh. 

Dalam sumpah dan janji profesi, dokter tidak boleh melaba. Namun, dalam 
praktik, dokter bersinggungan dengan industri farmasi dan obat, selain dengan 
industri rumah sakit yang membolehkan dokter memetik profit. Itu berpotensi 
merongrong moral dokter. Rasa rancu profesi dan goyah moral yang dihadapi 
dokter pada ujungnya tak menguntungkan pihak pasien. 

Profesi dokter harus diingatkan bahwa pekerjaannya tergolong bisnis moral. 
Supaya rasa mengabdi dan sikap altruisme dokter terjaga, karisma dan disiplin 
profesi tak boleh bersanding atau disandingkan dengan karisma dan disiplin 
manajerial rumah sakit. 

Pasien harus bayar dulu sebelum berobat (prepaid services), misalnya, bukan 
lahir dari sikap etik seorang dokter, tetapi dari manajemen rumah sakit yang 
orientasinya merasa sah berpikir efisiensi dan layak berhitung untung-rugi. 

Kalau saja dokter mengamalkan sumpah dokter dan sumpah jabatan, serta kode etik 
profesi dokter (Kode Etik Kedokteran Indonesia) tidak lumpuh, 
kesewenang-wenangan dokter terhadap pasien tak perlu terjadi. 

Demikian pula jika masyarakat sudah cerdas mengkritisi, layanan medis dan 
kesehatan berpihak kepada si penerima jasa (client), masyarakat bisa arif 
memahami betapa tak sederhananya menyembuhkan penyakit. Bahwa kesalahan medis 
teknis harus dilihat pasien sebagai risiko profesi karena tubuh manusia bukan 
mesin dan dokter bukan malaikat. 

Moralitas profesi 

Sejak awal, peran, fungsi, dan pekerjaan dokter sudah dipagari rambu etika dan 
moralitas profesi, selain kerangkeng hukum (Undang-Undang Nomor 23/92). Sumpah 
dokter, sumpah jabatan, dan kode etik kedokteran dibuat demi menjaga martabat 
dokter, melindungi masyarakat, dan meningkatkan kualitas layanan, selain ada 
kepastian hukum. 

Puluhan tahun berlalu. Gugatan dan tuntutan medis belum juga reda. Lalu, 
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia pun dilahirkan. Namun, nyatanya 
perseteruan dan gugatan medis masih tetap ada. 

Pagar hukum agar dokter bekerja profesional, berhati nurani, ternyata belum 
dirasa cukup. Lalu, dimunculkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen 
(Undang-Undang Nomor 8/99). 

Karena dengan tambahan hukum itu pun masih ada dokter bandel, dipandang perlu 
pemerintah membidani UU Praktik Kedokteran (Permenkes No 1419/05). Kita melihat 
ada duplikasi hukum ketika Undang-Undang No 23/92 dianggap mandul karena baru 
sebagian kecil yang diberi gigi. 

Tak mudah mengurusi profesi dokter. Tak ringan melakukan koreksi akhlak dokter 
kalau telanjur menceng. Otonomi profesi dokter sendiri kelewat tinggi. Sistem 
layanan kesehatan kita menduakan pikiran dokter karena hidup dari gaji saja tak 
cukup. Sedangkan kondisi masyarakat masih subordinat di hadapan pekerjaan 
dokter. Maka, masih menyimpan masalah. 

Keinsafan setiap dokter untuk mengamalkan etika dan moral sebagai bagian dari 
profesi belum sepenuhnya tumbuh. Penyebab tunggalnya karena rata-rata sekolah 
dokter tidak mengutamakan pendidikan etika medik, selain kendali masyarakat 
pasien terhadap profesi layanan medis masih belum perkasa. 

Otonomi pasien 

Kalau saja setiap medikus-praktikus mengamalkan semua yang baik-bagus-benar itu 
dan mengekang semua yang kebalikannya, kemunculan dilema medis dan kesehatan 
bisa digagalkan. Duplikasi hukum tak perlu ada sekiranya setiap dokter tunduk 
tidak melompati pagar sumpah, janji, dan kode etik profesi. 

Selain itu, di hadapan dokter harus hadir otonomi pasien juga. Hak pasien perlu 
diangkat, selain kewajiban pasien kembali diinsafi. Perselisihan dokter-pasien 
muncul karena pada tiap-tiap pihak tak jelas menghadirkan hak maupun 
kewajibannya. 

Lain dari itu, sebagian kecil saja pasien bisa membayar (fee for service) di 
"jalur cepat" (nonpuskesmas). Sebagian besar masih bergelut dengan lingkaran 
setan ekonomi lemah, kurang gizi, dan sanitasi buruk yang lebih membutuhkan 
upaya kesehatan preventif ketimbang belanja obat. Masih lebih membutuhkan air 
bersih, jamban keluarga, perbaikan selokan, dan penyuluhan gizi ketimbang iptek 
medis tinggi sebagaimana yang diminta orang mampu di perkotaan. 

Kehadiran layanan "jalur cepat" untuk pasien berpunya dan "jalur lambat" untuk 
pasien kebanyakan menimbulkan kecemburuan sosial. Ini menambah runyam tuntutan 
pasien karena masyarakat di pinggir industri medis kota-kota besar tak selalu 
mampu berobat setiap kali sakit. 

Agar otonomi dokter tidak kelewat tinggi, sistem kontrol pasien harus dijadikan 
andalan. Oleh karena di depan hukum dokter masih mungkin berkelit, wawasan 
medis dan pengetahuan kesehatan masyarakat perlu cerdas membekuk dokter nakal. 

Peran puskesmas amat besar dalam mencerdaskan warga. Penyuluhan 
(komunikasi-informasi-edukasi) kesehatan harus tetap menjadi kegiatan puskesmas 
paling memberdayakan masyarakat di layanan "jalur lambat". 

Masyarakat yang ditargetkan tidak sudi di-apa-bagaimanakan saja oleh pihak 
pemberi layanan medis. Untuk itu, puskesmas perlu direvitalisasi. 

Adapun masyarakat perkotaan perlu diberdayakan pula agar arif membaca akal 
sehat medis. Di pojok sini sisi layanan medis sering digugat atau berisiko 
menimbulkan salah sangka publik terhadap pekerjaan medis, kalau masyarakat 
dibiarkan masih tak cerdas dan bersikap kritis. 

Untuk menyehatkan masyarakat, sejatinya tak perlu dokter dikriminalisasi dengan 
ongkos hukum semahal itu. 

HANDRAWAN NADESUL Seorang Dokter 

-------

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/30/humaniora/3567595.htm 
Hubungan Pasien-Dokter
Komunikasi Menjadi Kunci 


Mengapa banyak tuduhan bahwa dokter melakukan malapraktik? Juga fenomena pasien 
berbondong- bondong berobat ke luar negeri? Apakah dokter Indonesia kurang 
mampu memberikan kepuasan serta rasa aman kepada pasien? 

Jawabnya, karena komunikasi belum menjadi urusan utama dokter Indonesia. Di 
sisi lain pasien belum sadar hak dan kewajibannya sebagai pasien. Hal itu 
mendorong guru besar emeritus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 
Daldiyono Hardjodisastro menulis buku Pasien Pintar & Dokter Bijak yang 
dipaparkan dalam ceramah di FKUI/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, Selasa (29/5). 

Menurut Daldiyono, untuk mendapat hasil maksimal dari pertemuan dengan dokter, 
pasien harus mempersiapkan diri. Misalnya mengenakan pakaian yang memudahkan 
dokter melakukan pemeriksaan. Selain itu pasien juga perlu mencatat keluhan 
yang hendak disampaikan ke dokter secara lengkap, kapan dirasakan, upaya yang 
sudah dilakukan untuk mengurangi rasa sakit. Beritahukan pula penyakit yang 
pernah atau sedang diderita, obat yang sedang diminum serta jika ada alergi. 

Dari tanya jawab soal keluhan dan pemeriksaan fisik pasien, dokter akan 
menegakkan diagnosis kemudian memberikan terapi termasuk resep obat. 

Pasien berhak mendapatkan informasi yang jelas mengenai hasil pemeriksaan, 
menanyakan bila ada yang belum jelas, mengambil keputusan untuk menerima atau 
menolak saran dokter tentang terapi yang akan diberikan. Jika pasien tidak 
menerima keputusan dokter, ia berhak mencari pendapat kedua (second opinion) 
dari dokter lain. 

Pasien yang pintar perlu bertanya dan mengetahui obat apa yang diresepkan serta 
manfaatnya. Jika kondisi keuangan tidak memungkinkan, pasien perlu meminta obat 
generik. 

Hilangkan sifat ingin cepat sembuh. Pengobatan perlu waktu, kesabaran, dan 
ketekunan. "Banyak dokter terbawa kemauan pasien yang ingin cepat sembuh, 
sehingga dokter melakukan pelbagai jenis pemeriksaan yang belum tentu 
diperlukan atau memberi obat berlebihan," papar konsultan 
gastroenterologi-hepatologi itu. 

Sebaliknya, dokter yang bijak adalah yang mampu berkomunikasi secara efektif 
dengan pasien. Mau mendengarkan keluhan pasien, menjawab pertanyaan dan 
menjelaskan situasi pasien, memberi nasihat cukup tidak sekadar memberi resep 
sehingga pasien merasa puas. 

Kemampuan berkomunikasi merupakan inti dari pekerjaan dokter. Kepandaian 
sebenarnya nomor dua saja. Pasalnya, 60 persen pasien sebenarnya tidak sakit, 
tetapi mengalami kelainan fungsional. Hanya 40 persen yang benar-benar sakit, 
itu pun 20 persen sembuh sendiri. "Pengobatan atau proses asuhan medik adalah 
usaha bersama," katanya. 

Bagaimana menghadapi dokter yang tidak komunikatif? Tinggalkan saja, pindah 
dokter, saran Daldiyono. (atk) 



[Non-text portions of this message have been removed]



Dapatkan informasi kesehatan gratis
Mailing List Dokter Indonesia
http://www.mldi.or.id 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/dokter/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/dokter/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke