Tanggal 25-28 Juni 2007 lalu saya mengikuti Pelatihan Perawatan Paliatif di Puskesmas Balongsari, Surabaya. Pelatihan yang dilaksanakan sejak pukul delapan pagi hingga pukul tiga petang itu terbagi atas 14 materi pelatihan, yang diberikan oleh empat orang profesor, dokter-dokter spesialis, farmakolog, perawat, dan relawan Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo Surabaya. Hari terakhir pelatihan ditutup dengan melakukan home care ke rumah-rumah penderita kanker. Seluruhnya merupakan bekal pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi orang yang sedang mendampingi penderita kanker.
Betapa beruntungnya saya dapat mengikuti pelatihan itu, tanpa biaya sepeser pun! Dr. Maya Syahria Saleh, Kepala Puskesmas Balongsari, mendapat banyak pujian atas inisiatifnya mengadakan pelatihan itu, sebagai persiapan untuk dibukanya Poliklinik Paliatif di Puskesmas Balongsari bulan depan. Asal tahu saja, puskesmas ini merupakan puskesmas pertama di Indonesia yang memberikan pelayanan paliatif untuk penderita kanker (juga untuk penyakit-penyakit kronik lainnya, yang akan menyusul kemudian). Bahkan secara tidak resmi pelayanan ini diam-diam telah berjalan secara mandiri selama setahun. Dokter Maya adalah seorang dokter yang cantik, pintar, ramah, energik, dan inovatif. Dulu ia adalah penderita kanker payudara. Dengan pengobatan yang tuntas, akhirnya kankernya dinyatakan sembuh. Tetapi datang penyakit lain. Sebuah penyakit langka yang belum diketahui penyebabnya, apalagi pengobatannya. Dokter yang merawatnya di Singapura menyatakan bahwa harapan hidupnya mungkin tidak lebih dari empat tahun lagi. Nah, apa yang kita rasakan seandainya kita mendapat vonis seperti itu? Hancur? Putus asa? Menangisi nasib? Tidak demikian dengan Dokter Maya. Pada awalnya memang ia merasa sedih. Wajar kan? Tetapi kemudian ibu tiga orang anak ini melakukan "deal" dengan "nasibnya": "Okaylah. Kalau memang umur saya tinggal empat tahun, tak apa. Empat tahun itu lama. Masih banyak hal yang bisa saya lakukan. Saya akan berbuat sebanyak mungkin untuk orang lain, sehingga kalaupun saya mati, tidak ada lagi yang perlu saya sesali." Maka ia pun merencanakan banyak hal. Melakukan yang terbaik bagi dirinya, keluarganya, dan juga lingkungannya. Puskesmas Balongsari yang dipimpinnya hanyalah salah satu contoh. Tadinya puskesmas itu adalah sebuah puskesmas pembantu yang kurang diminati masyarakat. Dua tahun di bawah pimpinannya, puskesmas di wilayah miskin pinggiran kota itu berubah menjadi salah satu puskesmas percontohan. Kini puskesmas itu memiliki tujuh orang dokter (termasuk dokter spesialis anak, dokter spesialis kebidanan & kandungan, dan dokter gigi), psikolog, akupunkturis, apoteker, bidan & perawat lulusan akademi, didukung dengan laboratorium, rumah bersalin, dan sistem komputer yang terhubung ke seluruh ruangan. Pasien dewasa tidak perlu lagi mencari-cari kartu berobatnya sebelum datang ke puskesmas, karena cukup dengan menggunakan sidik jari, semua data tentang dirinya bisa diakses. Tidak hanya pengobatan penyakit yang ditanganinya. Secara aktif puskesmas ini juga mengadakan berbagai kegiatan pembinaan masyarakat, membina posyandu-posyandu, seminggu sekali menyelenggarakan senam lansia, juga menangani berbagai persoalan di masyarakat, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Para penderita gangguan jiwa dan kanker bahkan didatangi ke rumahnya untuk diketahui dan dibantu lebih jauh segala permasalahannya. Masih banyak lagi rencana besar Dokter Maya. Setelah kanker mendapat penanganan khusus, rencana berikutnya adalah membentuk klub diabetes, klub hipertensi, dan klub-klub lainnya. Bagaimana mungkin seorang dokter puskesmas melakukan itu semua? Apakah ia mendapat kucuran dana dan fasilitas lebih dari pemerintah? Tidak. Ia melakukan itu semua dengan modal sebuah keyakinan, bahwa kalau kita melaksanakan sebuah itikad baik semata-mata dengan niat ibadah, maka kemudahan akan datang dengan sendirinya. Baiklah, mari kita ingat lagi: Dokter Maya adalah seorang mantan penderita kanker, yang sedang mendapat "vonis mati" dari sebuah penyakit lain. Tetapi ia tidak mau berpangku tangan menyesali nasibnya. Ia hanya berfikir bahwa ia masih punya waktu, punya kesempatan, dan ia ingin berbuat sebanyak-banyaknya bagi orang lain, agar bisa meninggal tanpa penyesalan. Bahkan ia masih melanjutkan pendidikan lagi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, lho. Nah, bagaimana dengan kita? Silakan berikan komentar dan dukungan kepada Dokter Maya,bila anda berkenan Salam, Titah Rahayu [Non-text portions of this message have been removed]