Menurut saya in dilema yang berkepanjangan dari situasi 'perumahsakitan' di 
Indonesia 
  Dokter dan Suster hanyalah bagian dari system yang harus dibenahi baik dari 
segi moral maupun prosedural.
   
  

Leonora Febriany <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          dari milis tetangga... bukan untuk menjatuhkan profesi dokter dan 
lebih
mengutamakan prosedur dari management sebuah rumah sakit..

----- Forwarded Message ----
From:

-----Inline Message Follows-----

Note:

-----Inline Message Follows-----

Sekedar share dari tetangga sebelah..maap kalo kepanjangan..

*malam itu, Sabtu 8 Desember 2007 *. Ketika terjadi kecelakaan di depan
rumah yang mengakibatkan seorang gadis 18 tahun bernama Wulan sempat 'gak
sadar beberapa saat setelah kejadian.

Begitu terbiasa dengan suara-suara motor di depan rumah yang jatuh terguling
entah karena jalanan licin dan kurang hati-hati pengendara-nya, atau karena
bertabrakan dengan motor lain, membuat gue sedikit hapal dengan perkiraan
hasil akhir kejadian tersebut, dari suara yang ditimbulkan. Kali ini sungguh
dramatis, dan gue 'gak yakin sendiri apakah kotak P3K yang gue sambar dalam
kalut menghambur menuju ke jalanan depan rumah akan berguna.

Heran dengan cukup banyak noda darah di lengan baju, akhirnya gue dan rekan
mulai memeriksa sekujur tubuh Wulan yang 'gak ada luka sama sekali kecuali
lecet bekas kena aspal yang mengeluarkan darah di kaki. Segera gue semprot
spray anti infeksi itu luka, dan cukup lega mendengar Wulan merintih *
"sakiiiiiittttt"*, waktu luka-nya disemprot. Tapi tetap aja kami heran dari
mana noda-noda darah di lengan itu...

Setelah sibuk meneliti dan memastikan 'gak ada masalah dengan patah tulang,
akhirnya kami memberanikan diri untuk membalikkan badan Wulan, dan dari situ
baru kami menyadari... luka di kepala Wulan cukup besar. Dan genangan darah
beku di rambut panjang-nya mendukung perkiraan kami. Gunting rambut dan
handuk basah segera melakukan tugasnya, rambut panjang-nya sangat lebat.
Namun kejadian selanjutnya sungguh membuat kami takut... Wulan mulai
muntah-muntah dengan hebat-nya...

Berbekal seadanya tanpa persiapan memadai kami langsung menuju rumah sakit
yang terletak sekitar 400 meter dari rumah. Dan Wulan masih muntah-muntah di
dalam mobil. Sampai di UGD RS Permata Bunda yang letaknya di perempatan
jalan, perawat jaga yang ditemui menyatakan tidak sanggup menangani, membuat
kami harus bergegas menuju RS berikutnya di daerah menuju Depok Timur. RS
Hermina yang cukup besar ini sempat menerima Wulan di dalam UGD, dan dokter
jaga di dalamnya menyarankan untuk segera dilakukan CT Scan, melihat luka
yang besar di kepala dan tonjolan hitam di mata Wulan. Kami oke saja
mengangguk menyetujui. Dan ternyata... di RS inipun alat CT Scan tidak ada.
**sigh*... *Terpaksa Wulan kami pindah lagi dari *bed *ke dalam mobil untuk
mencari rumah sakit yang cukup besar dan mempunyai alat CT Scan.

Sampai di *RS Sentra Medika, Cimanggis*.
Wulan cukup cepat dipindah dari mobil menuju *bed*. Walaupun perawat jaga
yang ada juga kurang dibantu oleh rekan-rekan mereka di rumah sakit, malah
akhirnya kami sendiri yang turun tangan. Dokter jaga saat itu langsung
memeriksa Wulan dan perawat mulai menginterogasi kami bagaimana
kejadian-nya. Sampai disini gue masih merasa tidak ada masalah, sampai
ketika dokter jaga yang memeriksa kepala Wulan berkata, *"ini luka-nya cukup
mengkhawatirkan juga, perlu CT Scan..." *

*"Iya dokter, mohon segera diambil tindakan aja"* , kami langsung
mengiyakan. Selanjutnya, dokter bertanya ulang, *"Mau langsung di CT Scan,
atau di rawat dulu?"*

Lho... mulai aneh pertanyaan-nya sih, tapi... ya sudahlah berhubung lagi
panik dan khawatir keadaan Wulan, kami langsung menjawab ulang, *"langsung
CT Scan aja dok"*. Untuk tambahan informasi, dalam perjalanan menuju rumah
sakit yang juga mendebarkan itu, gue menghubungi keluarga dan kerabat Wulan
untuk memastikan bahwa tindakan gue tidak menyalahi dan melanggar hak-hak
orang lain. Ketika gue tanya, *"mas, dokter di rumah sakit menyarankan
dilakukan CT Scan, apakah diperbolehkan Wulan di CT Scan, dan bagaimana
mengenai biayanya, maaf?"* dan mereka bilang silahkan ambil tindakan terbaik
& 'gak masalah dengan CT Scan... akhirnya menurut gue ya cukup wajar, ketika
gue menyampaikan kehendak keluarga ke pihak rumah sakit. Yang penting gue
tidak merasa melanggar hak orang lain, itu aja.

Menit-menit berikutnya, gue mulai mondar-mandir antara UGD - Radiologi,
mengisi formulir, dan 'agak mengganggu perawat di ruang Radiologi yang entah
sedang apa di balik tirai, sebelum akhirnya gue menerima tagihan biaya CT
Scan... Rp. 600.000,-

Gue agak berperang dalam batin ketika menerima tagihan itu, antara menyesal
'nggak *well prepared* pergi ke rumah sakit **ya begimana lagi namanya juga
buru-buru yah... masih bisa bawa mobil menuju rumah sakit dan sampai dengan
selamat aja 'udah untung alhamdulillah* *, dan membayangkan kalau 'nggak
cepet dilakukan CT Scan 'emang seberapa parah sih, keadaan Wulan?

Akhirnya gue berinisiatip langsung tanya ke dokter jaga di UGD,
*"dokter, pasien apa harus segera di CT Scan sekarang atau 'nunggu keluarga
dahulu?" *
Dokter menjawab, *"sebaik-nya segera" *...
Gue bilang lagi, *"kalau gitu bisa 'ngga dokter, kalau pembayaran dilakukan
sebagian dahulu atau setelah dilakukan CT Scan, karena uang sedang dibawa
keluarga dalam perjalanan?" *...
*"Wah itu terserah bagian radiologi, coba anda tanya ke sana, kami hanya
melaksanakan CT Scan atau tidak, tapi kebijaksanaan administrasi yang
menentukan ada di bagian radiologi langsung" *, kata dokter itu lagi.
*"Oh, oke dokter, saya ke sana lagi"*, gue bilang sambil melirik ke Wulan di
*bed *UGD dan agak bingung... kog... belum diapa-apain dokter yah...
sementara itu gue lihat di ruangan ada beberapa dokter dan perawat yang
sedang santai-santai sms dan 'ngobrol.

Terpacu oleh kenyataan bahwa kalau gue 'nggak cepet ke bagian Radiologi
lagi, nanti Wulan kenapa-kenapa, gue mempercepat langkah dan tanya suster di
Radiologi:
*"mbak, mmm... kalau pembayaran-nya nanti setelah keluarga dateng atau
sebagian dulu bisa 'nggak? Jadi pasien di CT Scan dulu sekarang..." *

*"Wah kalau itu terserah bagian UGD mba, saya cuma jalanin mesin CT Scan aja
disini..."*, kata suster bikin jantung gue mak nyossssss... dan langsung
menyadari cepat... gila ada apa ini kog gue dilempar-lempar begini. Dengan
wajah agak memelas dan mohon supaya suster mengerti akhirnya gue bilang:
*"mbak, mmm tadi saya baru dari UGD dan dokter di sana minta supaya saya ke
sini minta persetujuan mbak, apa mbak bisa konfirmasi telepon ke UGD aja
daripada saya bolak-balik lagi?"*
Dengan muka jelas langsung asem, suster tersebut menelepon bagian UGD, dan
kembali menjelaskan ke gue bahwa prosedur tindakan memang begitu, bahwa gue
harus bayar dulu, baru CT Scan dilaksanakan. *
"Walaupun saya bayar sebagian dahulu apa 'gak bisa juga mbak?"*, tanya gue
lagi.
*"Wah kalau itu masalahnya silahkan mbak tanya ke bagian kasir..." *, yang
mana ketika gue ke sana juga dibilang gue harus minta persetujuan dokter
jaga dahulu.

Weks...
Buru-buru gue menuju UGD lagi, dan bertanya:
**sambil melirik bed Wulan... loh kog belum diapa-apain juga nih Wulan,
masih teronggok aja di bed?* *:
*"Dokter, saya benar-benar bingung... sebaiknya Wulan harus cepat di CT Scan
atau tidak, saya dan keluarga berharap cepat ada tindakan, tapi terus terang
uang yang ada belum cukup. Saat ini keluarga sedang menuju kemari bawa uang.
Bagaimana dokter?" *
*"Ya kami hanya menjalankan prosedur di rumah sakit ini saja, ibu..."*, kata
dokter itu lagi.
*"Saya mengerti dok, tapi saya bingung, CT Scan itu benar-benar dibutuhkan
atau tidak untuk Wulan? Kalau persoalan-nya uang, kami mau membayar sebagian
dahulu, tapi tetap katanya harus persetujuan dokter. Saya sendiri khawatir
tadi dia muntah-muntah begitu hebat" *, dengan nada agak mulai naik
dikiiitttt...
Dan dokter itu mulai membentak gue di depan Wulan dan beberapa REKAN
SEJAWAT-nya: *
"Bagaimana mau di CT Scan kalau pendarahannya belum berhenti!!! Ibu harus
mengerti ini!!!" *

Kesadaran langsung terhempas.
Tapi gue masih punya harga diri sedikit:
*"Kalau pendarahan-nya harus dihentikan sebelum CT Scan, kenapa tidak dari
tadi dihentikan, dokter? Mungkin tidak di-CT Scan dahulu tidak masalah, tapi
saya lihat Wulan masih belum diambil tindakan apapun dari tadi, sejak saya
mondar-mandir ke Radiologi?" *, dengan suara mulai agak tersendat, kalut
dengan emosi dan airmata yang hampir tumpah.
*"Maksud ibu apa???"*
*"Maksud saya, apakah pak dokter terhormat tega, kalau nanti **melihat Wulan
**mati tanpa penanganan di sini?"*, suara gue makin lirih...
*"ITU BUKAN URUSAN SAYA!!!!!"*

Gelegar kata-kata dokter itu semakin menghempas gue ke pojokan yang
betul-betul berupa pojokan ruang UGD. Untuk sesaat gue sulit bernafas.
Kenyataan memang pahit, tapi sangat terasa kental-nya pahit ketika elu
mencoba menerima kenyataan, bahwa kepercayaan yang selama ini dibangun,
untuk percaya bahwa dokter adalah penolong sesama *MANUSIA*, hancur
berkeping-keping. Ruang kepercayaan itu masih ada, tapi lantai-nya malam ini
kembali dinodai. Sulit untuk menghapus noda-noda dalam kenangan itu.

Detik-detik selanjutnya adalah episode drama ketika:
*"Bukan... urusan... dokter...",* ucap gue lirih terbata dalam perih yang
tersendat pahit menguar... mengulang kata-kata dokter yang terdengar jumawa
di telinga. Lalu, bagai tersengat lebah dokter-dokter lain dalam ruangan UGD
tersebut mulai berhamburan menghampiri Wulan yang teronggok bagai daging
tanpa harga di *bed *UGD. Bagai kupu-kupu yang mulai menyadari, ada sekuntum
bunga elok di balik semak berduri, yang wajib dikerumuni. Bagai para
penambang emas yang tiba-tiba menemukan sebongkah emas dalam tambang. *Well*,
daging sapi yang masih berdarah-darah aja di supermarket masih berlabel
HARGA, yang jelas menunjukkan *BENDA BERHARGA*. Dan manusia bernama Wulan
ini sama sekali tidak ada harga-nya di mata dokter yang 'udah membentak gue.

<http://srisariningdiyah.multiply.com/photos/hi-res/upload/R1xvxAoKCngAAD-or7c1>
*dr. Abraham, dr. Sanny, dr. Della & perawat Fauziah,*
*serta dokter yang membentak gue, membelakangi kamera.*

Sementara gue masih tersendat di pojokan UGD, masih berusaha menghimpun
kepercayaan yang terserak atas apa yang telah terjadi. Entah... mungkin para
dokter yang tadi asyik nongkrong tidak mempedulikan Wulan, mulai sadar bahwa
mereka adalah dokter, yang harus menolong sesama, yang kesulitan dalam fisik
yang terluka. Tapi gue 'udah 'nggak peduli kenyataan itu. Kenyataan-nya yang
ada sekarang adalah... dokter jaga yang satu itu... yang seperti-nya
berwenang disitu... dalam kata-kata yang diucapkan dengan jelas... 'nggak
peduli sama nasib Wulan, sebagai sesama *MANUSIA*.

Dan episode selanjutnya, adalah ketika luka di kepala Wulan yang sudah
mencapai tahap pembengkakan hampir sebesar bola tenis, akhirnya dijahit.

*
*
Dan gue hanya bisa pasrah, di pojokan UGD sambil berucap dalam hati...
apakah harus melalui ini semua, setiap tindakan dalam ruang UGD dilakukan?
Apakah harus ada pembuktian jumawa seorang dokter di balik jubah putih-nya,
dengan kata-kata yang dikeluarkan? Apa yang hendak dibuktikan dari semua
ucapan dokter itu? Dan berapa banyak sudah pasien yang mungkin mati infeksi
karena telat ditangani dokter yang *belum* mengumbar jumawa-nya, seperti
yang telah dilakukan dokter ini di depan kami?

*Kematian atau cacat mungkin adalah takdir, tapi 'nggak perlu campur tangan
kita untuk mempercepat kematian itu atau memperburuk keadaan. Usaha
semaksimal mungkin untuk mencegah yang terburuk, itu yang penting. *

<http://srisariningdiyah.multiply.com/photos/hi-res/upload/R1x1qQoKCngAAB1mlzI1>

Gue bukan hendak sok pahlawan atau sok tahu dengan semua teori kedokteran
bahwa ini dan itu, yang jelas dalam pikiran gue sebagai *MANUSIA*, ketika
ada seseorang terlihat terluka di depan elo, entah elo dokter atau bukan,
entah manusia itu hampir mati atau hanya merintih, entah manusia itu musuh
atau sahabat kita, harus segera diambil tindakan untuk mencegah supaya
manusia itu tidak tambah menderita. Itu aja. Gak perlu teori harus CT
Scan-lah, rontgen-lah, MRI-lah...

Sedangkan kucing aja disayang-sayang & ditangisi kalau luka dikit... manusia
bernama Wulan ini, hanya teronggok di UGD sementara kepala bocor-nya mulai
membengkak dan terus mengeluarkan darah dan cairan yang entah apa lagi...

Untuk sesaat memejam mata, gue berharap ini semua cuma mimpi. Perlahan gue
keluar ruang UGD dan agak terduduk bersandar di pagar taman. Masih seperti
mimpi, gue mulai tersadar ketika *bed *Wulan mulai didorong oleh suster dan
satpam **mungkin untuk memastikan kita 'gak kabur kali... gapapa deh yang
penting langsung ada tindakan** melewati gue menuju... *Ruang
Radiologi*. *Yes....
thanks God...* batin gue sambil mengusap muka.

<http://srisariningdiyah.multiply.com/photos/hi-res/upload/R1xzTgoKCngAAHwHljE1>

Begitu keluarga datang, gue langsung menuju tempat parkir dan segera pulang
untuk melupakan episode mimpi ini. Menurut kerabat yang gue telepon, Wulan
harus dalam pengawasan dokter. Dan sampai sekarang, kondisi-nya belum pulih
kesadaran-nya. Gue cuma bisa berdoa yang terbaik untuk Wulan...

--

[Non-text portions of this message have been removed]



                         


       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to