Assalammualaikum Wb Wr

Benarkah pelaksanaan PPDS di Indonesia penuh dengan KKN?

Pertanyaan ini menggelitik perasaan saya dan teman-teman sebagai dokter senior. 
Selama hampir 25 tahun menjadi dokter, sudah berulang-ulangkali saya mendapati 
sejawat kita para dokter umum di Indonesia banyak yang gagal untuk melanjutkan 
pendidikan sampai ke jenjang spesialis oleh karena faktor "lain".

Hal ini bukan karena mereka tidak mampu atau tidak pandai, namun karena 
maraknya aksi KKN pada pelaksanaan PPDS yang merampas tempat yang seharusnya 
layak mereka tempati. Kebetulan, terus terang kita tahu banyak mengenai hal 
ini. Misalnya,

Banyaknya anak titipan
         "Anak titipan" maksudnya keluarga atau kerabat yang mendapat kemudahan 
khusus untuk dapat masuk PPDS. Ini harus kita akui dengan jujur. Ambil contoh 
ujian Interna FKUI, Bedah FKUI dan Kardiologi FKUI yang baru saja diadakan 
sekitar 1-2 bulan yang lalu, yang hasilnya sudah diumumkan.
Sangat disayangkan bahwa "anak titipan" jumlahnya mencapai 30-40% pada bidang 
studi di atas. 
Khusus untuk Kardiologi FKUI, pada ujian PPDS kali ini ternyata "anak titipan" 
jumlahnya cukup banyak, sekitar 50% dari mereka yang diterima. Hal ini sangat 
mencengangkan dan mengganggu kredibilitas Kardiologi FKUI. 
Fenomena "anak titipan" ini jelas merampas tempat yang seharusnya layak bagi 
peserta PPDS lain yang mungkin lebih mumpuni dibandingkan mereka yang diterima. 
Di luar negeri, hal ini tidak terjadi. Mereka dinilai berdasarkan kemampuan 
mereka, tidak peduli apakah mereka anak konsulen, assisten konsulen, mantu 
dosen dan sebagainya.

Biaya masuk
        Biaya masuk PPDS pada universitas tertentu dapat mencapai ratusan juta 
rupiah. Hal ini sangat memberatkan bagi mereka yang kurang mampu. Ambil contoh 
beberapa teman sejawat dokter umum yang saya kenal dimintai biaya 150-200 juta 
rupiah untuk masuk PPDS Interna pada sebuah universitas di Sulawesi. Bahkan 
untuk masuk PPDS Kulit dan Kelamin di Semarang, dimintai 300 juta rupiah.
        Hal ini tentunya sangat sulit untuk dapat dibuktikan. Saya hanya miris, 
setelah mereka lulus nanti, bagaimana mereka dapat menarik biaya pengobatan 
yang murah dari pasien bila semasa pendidikan saja uang yang mereka gelontorkan 
sudah sedemikian besar? 
        Patut untuk diingat bahwa besaran ratusan juta ini mungkin menyamai 
atau bahkan melebihi pendidikan kedokteran di negara maju seperti Jerman.

Unsur SARA
        Banyak teman-teman sejawat yang mengeluh tentang hal yang satu ini, 
yang saya mengerti sangat sensitif untuk dibicarakan. Namun hendaklah kita 
mengingat selalu sumpah Hipocrates yang pernah kita ucapkan dahulu sewaktu 
Sumpah Dokter. 
        Ambil contoh ada sebuah subbagian THT pada sebuah fakultas kedokteran 
di Pulau Jawa yang mayoritas PPDS nya berasal dari Padang. Begitu pula halnya 
teman-teman sejawat yang keturunan Tionghoa, bila mereka diperkenankan 
berbicara dan berdiskusi, mungkin mata hati kita baru terbuka tentang apa yang 
disebut SARA pada kedokteran di Indonesia.
Sekali lagi, saya tidak bermaksud mendiskreditkan suku tertentu. Harap diingat. 
Kita adalah saudara sejawat.

Akhir kata, bila kedokteran di Indonesia ingin maju, hapuskanlah KKN. Jangan 
ada lagi "anak titipan", biaya mahal dan sebagainya. Apa yang saya kemukakan, 
anda dapat menelusuri dan membuktikan kebenarannya sendiri.
Bagaimanapun hal yang busuk ditutup-tutupi, suatu saat pasti tercium juga. 
Semua ini untuk kemajuan kedokteran di Indonesia.  
        
Dr.Med.Muh.Sofyan
        





Kirim email ke