Jaman kuliah dulu, gue naik motor. Setidaknya di ITB, motor adalah faktor

 yang menseparasi pria dari...uhm...pria lain. Intinya, setidaknya, tahun 96,
 cowok yang punya motor di ITB (lumayan) jadi dambaan wanita.

 Sayangnya yang kerap menjadi dambaan adalah motornya karena motor ini
 menjadi alat bagi cewek-cewek itb untuk nebeng dan minta anter. Pemilik
 motornya sendiri tetap tidak mengalami perbaikan kasta atau nasib dalam
 asmara.

 Singkatnya, kita-kita di sipil96 yang punya motor sering diminta cewek-cewek
 untk minta anter mereka. dan berhubung cewek sipil hany 20 dari 160
 populasi, jelas segala permintaan mereka kita penuhi.

 "Dit, gue nebeng!"
 "Oke!"
 di mana kata nebeng itu tertukar dengan wording 'minta anter' karena
 definisi nebeng adalah sejalan arah kos gue DAN BUKAN nun jauh di
pinggiran Bandung.

 "Dit, anterin gue ke rumah sakit!"
 "Beres!"
 Meski pun penyakitnya menular dan seperti dia, gue ikutan meriang 3 hari.

 "Dit, jemput ade gue di SMP!"
 "Jam berapa?"

 Di mana sesampainya di SMP itu, gue baru nyadar gue belum tahu
tampang itu anak kek gimana.

 But all in all, kita sayang sama cewek-cewek sipil ini dan tidak pernah ada
 kata tidak untuk melayani mereka. Tapi tetep aja entah kenapa gue selalu
 kena kasus. berikut adalah kasus-kasus yang paling parah yang gue pernah
 alami.

 Dengan Wiwin

 Kita sebut saja namanya Wiwin karena kalo sampe ketauan nama aslinya dalam
 blog ini, riwayat gua bisa tamat. Wiwin adalah wanita berkacamata tebal
 dengan otak yang lebih tebal lagi. IPKnya terancam 4. Wiwin adalah juga
 atlet yang tergabung dalam pelatda voli JABAR. Dia punya tangan yang cukup
 kuat untuk serve voli...dan kalo nampar cowok, itu cowok bisa melintir.
 Gua suka boncengin dia pulang karena dengan begini gue bisa nodongin
dia dengan,
 "Eh Win, adit sekalian fotokopi catetan Wiwin yah."
 Wiwin secara reluktan mengiyakannya dengan syarat, dalam proses fotokopi
 itu, dia ikut sama gue nongkrongin tukang fotokopian dan sang catetan selalu
 ada dalam jarak pandang dia. Ini adalah hikmah dari pengalaman buruk di mana
 catetan dia dipinjem gak jelas berpindah seribu tangan dan saking putus asa
 nyari, dia harus belajar dari fotokopian catetan dia sendiri.
Bagi gue, berdiri samping-sampingan dengan Wiwin di toko fotokopian
adalah situasi
 yang awkward. Gimana gak awkward? Apa sih topik yang bisa lu omongin
 sama cewek, kalo di depan lo ada orang minang keringetan gak pake baju
 megang-megang mesin fotokopian?

 Anyways di suatu hari yang windy (faktor angin memegang peranan penting
 dalam plot cerita ini) gua nganter Wiwin pulang. karena banyak angin, suara
 yang keluar dari mulut gua selalu terbawa angin.
 "Win gue motokopi catetan ya!"
 "Apa?"
 "Gue minjem catetan lo!"
 "Hah?"
 "GUA MINJEM CATETAN LOOOO!!"
 "ADUH NGOMONG YANG JELAS KEK!"
 Halah! Emang sih gue kan ngomong sambil merhatiin jalan jadi mulut gue ke
 depan dan gak ke muka dia yang di leher gue.
Akhirnya gua balik badan dan bilang lagi.
Sayangnya, entah kenapa gua lagi memproduksi banyak air liur di saat itu.
Sayangnya lagi, ini terjadi di saat angin bertiup kencang.
 Sooooo
 gue balik badan, buka mulut lebar-lebar dan..
 "GUE MINJE..PLUEEHHH....."
 crooot
 Angin mengantarkan saliva gue ke kacamata wiwin.
Itu gak terlalu wiwin masalahin karena SEBAGIAN BESAR liurnya kena ke
sisa muka yang kacamata gak cover.

 She never spoke ever since.


Dengan Titin
 Lagi-lagi nama samaran. Titin ini rada ganjen. Kalo ke kondangan dia
selalu nyalon.
Entah kesamber jin apa, suatu hari dia minta anter gue ke salon dan ke
kondangan setelah dari salon. biar efisien, tuturnya.
 ya sudah gua turuti itu kemauan.
Setelah berkarat nungguin di salon, dia muncul dengan sanggul yang
indah menawan. gua rasa kalo orang lempar jeruk ke sanggul itu, bisa
nyangkut.
 "Gimana, cakep gak?"
 "Mirip roro kidul Tin."
 "Monyet. Udah buruan ke resepsi! yang cepet ya!"
 gua udah kek budak aja.
di sini terjadi sesuatu yang Titin gak pernha maafin gua sape
sekarang, meski kalo gue bilang, itu salah dia.

dia kos di simpang (bandung utara).
 Nyalonnya di simpang.
 Undangannya di gedung kartini (bandung selatan)
 dia minta cepet.
 Ya udah, gue ngebut dong!
 Sayangnya ini berbuntut di mana kita pergi dengan Titin tampak seperti
 finalis putri indonesia dan sampai di resepsi terlihat seperti singa.
 "ADUH RAMBUT GUE! ELU SIH DIT!"
 "Makanya gua bilang PAKE helm!"
 "gua kira kalo helm, sanggulnya rusak, jadi jelek!."
 "gak pake helm jadi singa. Tuh."
 "Benci gua sama elu! Benci! Benciiiiiiiiiiiiiiii!!"


Dengan Mimin
 Untuk, lagi, alasan keselamatan, gua gak akan mereveal nama dia.
Suatu hari gua sekelompok sama dia dan kita harus ngerjain paper nih ceritanya.
 Singkat cerita, anggota lain pada egois dan gak kerja. Cuman gua dan Mimin aja
 yang ngerjain di rumah dia di bilangan kuburan Ciputra.
paper selesai dan 10 menit lagi kuliah paper itu dikumpulin.
 "DIT! AYO KITA CEPETAN!"
 "AYO!"
 "NGEBUT YA!"
 "LU PEGANGAN MA GUA!"
 "NAJIS!" (Cewek-cewek sipil ini selalu teguh menjaga iman mereka).
 Adalah kebiasaan mereka untuk memegang handle di belakang ketimbang
 melingkarkan tangannya di supir. Tapi yo wis, gue juga gak keberatan.
 Pasaran gue juga bisa turun. Akhirnya gua ngebut! tapi tertahan di lampu
 merah kuburan. Percakapan di bawah terjadi dengan mata gua liat ke depan
 dan hanya denger suara dia.
 "Min, kita harus bener-bener ngebut nih. tau sendiri Bandung. Sekali kena
 merah, sampe 5 lampu ke depan kena merah juga."
 "Ya udah ngebut! Eh bentar tas gua jatoh."
 "Udah Min?"
 "Bentar."
 "Ijo Min!"

"Nah, ..."
 "OKE!"

Gua langsung kebut itu motor!
 Gue salip semua mobil di pasar suci!
 Gua ngesot di tikungan telkom!!
 Gue jemping depan UNPAD!
 Gue terabas lampu merah simpang dago!!
 Gue turun kek orang gila sepanjang dago!!
 Gue ampir nabrak kuda di ganesa!
 Akhirnya masuk juga parkiran sipil.
 Abis ngerem, gue bilang,
 "Gimana motoran sama James Bond? Min? Min?"
 gue ngeliat ke belakang dan Mimin lenyap.
 Keesokan harinya, di rumah sakit boromeus...

 "Gua gak ngerti Min.."
 "Lu gak ngerti bagian mana dit? bagian yang elu ngajleng dengan gua baru
 setengah pantat? ato bagian gue ngegelinding di perapatan jalan?"
 tukasnya jutek dengan tangan yang retak.
 "Tapi kan gua udah bilang ijo! dan lu udah bilang 'NAH'!'
 "NAH itu maksud gue baru mau duduk lagi."
 "tapi kan!"
 "Sudah lah! gua bingung manusia kek lo bisa masuk itb."
 Wah, kecerdasan dia bawa-bawa. padahal kalo mau cerdas dikit, dia megang gue.

 Itulah sekelumit cerita gua, motor gua, dan wanita-wanita yang ngegelinding
 karena motor itu. Yang jelas sejak itu demand menurun drastis. Imbasnya
 adalah bahwa Oyep, temen gue, menjadi idola ke 20 anak itu untuk dianter ke
 mana-mana. berkorelasi dengan itu, IPK gue menurun dan IPK Oyep naik secara
 fantastis. Oh nasib

Kirim email ke