"Terlahir cacat itu bagiku merupakan anugerah spesial dari Tuhan. Aku sampaikan 
pesan bahwa kalian bisa melakukan apa pun," kata Hee Ah Lee (21), pianis asal 
Korea yang terlahir dengan empat jari. 

Ode to Joy karya Beethoven itu mengalun dari piano Hee Ah Lee di Lagoon Tower, 
Hotel Sultan, Jakarta , Rabu (28/3) pagi. Itu hanya bagian repertoar 
sehari-hari Hee, selain juga nomor populer Ballade Pour Adeline, Hungarian 
Dance dari Brahms, sampai karya Chopin Fantasie Impromptu. 

Hee memainkan karya itu dengan empat jari. Ia menderita lobster claw syndrome. 
Pada masing-masing ujung tangan Hee terdapat dua jari yang membentuk huruf V 
seperti capit kepiting. Kakinya hanya sebatas bawah lutut hingga tak dapat 
menginjak pedal piano standar. Untuk bermain piano, pedal sengaja ditinggikan 
agar bisa diinjak oleh kakinya yang pendek itu. Ia juga mengalami 
keterbelakangan mental. 

Kondisi semacam itu mungkin akan dibahasakan orang sebagai kekurangan. Akan 
tetapi, Hee menyebutnya sebagai, "Special gift, anugerah spesial dari Tuhan." 

Ia bisa memainkan Piano Concerto No 21 dari Mozart bersama orkes simfoni. Ia 
mendapat sederet penghargaan atas keterampilan bermain piano. Ia berkeliling 
dunia, termasuk bermain bersama pianis Richard Clayderman di Gedung Putih, 
Washington, Amerika Serikat. 

"Aku berkeliling dunia. Aku bermain piano dari sekolah ke sekolah untuk memberi 
motivasi kepada kaum muda bahwa mereka bisa melakukan apa pun kalau berusaha," 
kata Hee. Kasih ibu Hee akan tampil dalam konser Sharing The Strength of Love 
di Balai Kartini, Jakarta , pada Sabtu (31/3) malam yang digelar promotor 
Empang Besar Makmur (EBM) bekerja sama dengan Radio Delta FM 99.1 Jakarta dan 
koran Korea HannhPress. 

Hee hadir untuk memberi inspirasi kepada orang tentang kekuatan kasih yang 
mengubah "kekurangan" menjadi kekuatan. Hee lahir dari Woo Kap Sun (50). Woo 
telah mengetahui sejak awal bahwa anaknya akan terlahir cacat. Ayah Hee adalah 
bekas tentara Korea . 

" Ada sanak keluarga kami menganggap itu sebagai aib. Mereka bahkan menyarankan 
agar jika kelak lahir, bayi itu dikrim ke panti asuhan," kata Woo dalam bahasa 
Korea lewat penerjemah. Woo menolak saran tersebut. 

Ia menerima Hee sebagai kenyataan dan anugerah. Ia pun menamai anaknya dengan 
nama indah. Hee dalam bahasa Korea berarti suka cita. Dan Ah adalah tunas pohon 
yang terus tumbuh, sedangkan Lee nama marga. Hee Ah Lee adalah suka cita yang 
terus tumbuh bagai pohon. "Ketika lahir saya melihat, ah betapa cantiknya dia. 
Ini anugerah Tuhan," kata Woo dengan muka berbinar. 

"Saya bacakan cerita-cerita sebelum tidur. Saya nyanyikan lagu-lagu untuk dia 
dalam buaian," lanjut ibu yang tangguh itu. 

Woo merawat, mendidik dan memperkenalkan Hee pada kehidupan nyata. Ia 
memperlakukan Hee sebagaimana anak-anak lain. Untuk melatih kekuatan otot 
tangan, Hee diajarinya bermain piano sejak usia 6 tahun. Saat itu, jarinya 
belum mampu mengangkat pensil. Hee mengenang guru piano pertamanya yaitu Cho Mi 
Kyong sebagai guru yang keras. Sang guru memperlakukan Hee sebagai murid dengan 
sepuluh jari. Ia tidak melatih Hee dengan pertimbangan rasa kasihan karena 
kondisi fisik. 

"Guru saya bilang, jangan bersikap sebagai orang cacat. Tapi bermainlah sebagai 
orang normal," kenang Hee yang selalu ramah dalam bertutur. 

"Aku berlatih terus hingga lelah dan menangis. Betapa sulit bermain dengan 
empat jari. Susah sekali bagiku memainkan notasi yang bersambungan," kata Hee 
lagi. 

Ketika Hee memainkan arpeggio atau memainkan chord secara melodik dan runut, 
memang terdengar ada not yang terlompati. Tapi, itu tidak merusak melodi 
ataupun mengubah bangun komposisi. Ia mengaku 70 persen bermain dengan hati dan 
sisanya dengan teknik yang ia kondisikan untuk empat jari. 

Pernah menyerah? Patah semangat? "Bayangkan Anda makan satu jenis makanan terus 
menerus. Aku pernah bosan. Tapi, aku memakannnya terus. Aku berlatih terus 
menerus," kata Hee tentang ketekunan. 

Percaya diri Begitulah, diam-diam sang ibu menanamkan rasa percaya diri. Ia 
menggembleng Hee agar tumbuh mandiri, penuh percaya diri dan bersemangat baja 
menghadapi hidup. 

Bayangkan, untuk bisa memainkan karya Chopin Fantasie Impromptu, Hee berlatih 
lima sampai sepuluh jam sehari selama lima tahun. Hasilnya memang luar biasa. 
Umur 12 tahun, Hee telah menggelar resital piano tunggal. 

"Ibu menanamkan rasa percaya diri padaku. Bahwa aku harus bisa melakukan 
segalanya sendiri. Bahwa kalau aku bisa main piano, aku bisa melakukan apa 
saja. meski aku tahu itu makan waktu banyak," ungkap Hee. 

Piano menjadi sahabat dan jendela bagi Hee untuk melangkah di pentas kehidupan. 
Ia lalui masa kecil dengan bahagia seperti kebanyakan anak-anak. Ketika ada 
cercaan orang, Hee menghadapinya secara dewasa. 

"Teman-teman ada yang mengatai aku sebagai hantu atau monster. Tetapi, aku 
menerima itu," kata Hee, tetap dengan senyum. "Aku tidak pernah membandingkan 
diri dengan orang lain atau merasa beda dengan yang lain. Aku hanya ingin 
melakukan sesuatu seperti orang lain," kata Hee pula.

 He Ah Lee menjadi inspirasi bagi mereka yang merasa diri sempurna untuk 
berbuat sesuatu bagi kehidupan. 

FRANS SARTONO (Kompas 29 Maret 2009

Kirim email ke