sepertinya cerita ini sudah difilmkan dalam bentuk sinetron...

saya juga sudah pernah melihat sinetronnya di RCTI pagi kalau nggak
salah...tapi memang cukup sedih juga melihatnya...

dan ini harus benar2 dijadikan pelajaran penting bagi pasangan suami istri
yang sibuk dengan dunianya, ketahuilah bahwa apa yang kita usahakan bukan
untuk diri kita tapi juga demi anak dan masadepan mereka. sesungguhnya kasih
sayang dan kedekatan dengan anaklah yang harus dipenuhi.

penyesalan tidak akan ada gunanya....

keep peace
yadisyahid

On 7/3/07, [EMAIL PROTECTED] <
[EMAIL PROTECTED]> wrote:



        Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis.

Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya
.....

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan
memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah
jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan
digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan 
presiden
Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di
Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih
memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.

Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama
berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf
diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah
kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama
hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak
didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud
menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani
semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota
ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.

Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk
ditinggal-tinggal?'' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah
mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul
ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional
oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon.
Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu,
tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik
pesawat terbang, dan uang yang banyak.

''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek
Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut
dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih
pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan
seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang
tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif,
tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua
orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.

Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh
ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super
sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga
ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak
dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh
harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan,
gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan
mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar
mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan
pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!''
kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir,
mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta
perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu
dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah terbang,
saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana
lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia
shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang 
menyimpan
komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring
kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah
jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya,
berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri
mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu,
berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di
seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?'' Saya diam
saja.

Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti
tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah
pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin
senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas
tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis,
lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif.
Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani
merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan
tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi
jasad Alif. Senja pun makin tua.

 -- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.

-- Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan
yang amat sangat.

-- Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya
sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang disayanginya. Akan masih
ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu.

-- Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang
yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena
mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

-- Pelajaran yang sangat menyedihkan.

Semoga yang membacanya bisa mengambil makna yang terkandung dalam kisah
tsb.

Catch the chance, keep and manage it well



Kirim email ke