Rabu, 29 September 2004 

Pemerintahan Kita Semi-Presidensial 

Sofian Effendi 

"The only legitimate way to interpret the Constitution is to be guided by the original 
intention of those who wrote and ratified the document" (Edwin Meese III)

PADA 9 November 2001 dan 10 Agustus 2002 MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat 
UUD 1945. Sistem pemerintahan negara Indonesia pun berubah menjadi sistem 
presidensial. Perubahan itu ditetapkan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD baru. MPR bukan 
lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan focus of power, lembaga pemegang 
kedaulatan negara tertinggi.

PASAL 6A Ayat (1) menetapkan, "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan 
secara langsung oleh rakyat". Dua pasal itu menunjukkan karakteristik sistem 
presidensial yang jelas berbeda dari staats fundamental norm yang tercantum dalam 
Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.

Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. 
Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) menjadi tiga cabang kekuasaan, 
yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai 
trias politica oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh 
rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada 
pada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial 
para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada 
presiden.

Apakah amandemen Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 6A yang merupakan kaidah dasar baru sistem 
pemerintahan negara Indonesia akan membawa bangsa ini semakin dekat dengan cita-cita 
para perumus konstitusi, suatu pemerintahan konstitusional yang demokratis, stabil, 
dan efektif untuk mencapai tujuan negara? Apakah sistem pemerintahan presidensial 
lebih menjamin kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia?

Ternyata tafsiran Panja Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentang sistem 
pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang Konstitusi 
Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam, notulen lengkap rapat-rapat BPUPK 
sekitar 11-15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang ada pada Arsip AG 
Pringgodigdo dan Arsip AK Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman 
pandangan para founding fathers tentang sistem pemerintahan negara.

Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkap kembali oleh 
RM Ananda B Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum UI, dalam sebuah 
monograf berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, terbitan Fakultas Hukum UI 
(2004). Kumpulan notulen otentik itu memberi gambaran bagaimana sebenarnya sistem 
pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia.

Sampai saat ini telah tiga kali kita melakukan penyimpangan dari cita-cita para 
pendiri bangsa. Penyimpangan pertama dilakukan Bung Karno ketika menerapkan Demokrasi 
Terpimpin yang bukan demokrasi seperti harapan para pendiri negara. Kedua, 
penyimpangan pemerintah Orde Baru yang mengelabui seluruh bangsa dengan menerapkan 
pemikiran negara integralistik ala Spinoza, sebagai terjemahan konsep manunggaling 
Kawulo lan Gusti untuk melanggengkan kekuasaan Sang Gusti. Penyimpangan ketiga ketika 
MPR masa bakti 1999-2004 mengganti salah satu staats fundamental norm atau kaidah 
dasar penyusunan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia.

Bukan "Trias Politica"

Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberi 
gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem 
pemerintahan. Pada sidang-sidang itu, Prof Soepomo, Mr Maramis, Bung Karno, dan Bung 
Hatta mengajukan aneka pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung 
keyakinan mereka bahwa Trias Politica ala Montesqieue bukan sistem pembagian kekuasaan 
yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan 
Sukarno-Iin-Iin artinya Anggota yang Terhormat-menganggap trias politica sudah kolot 
dan tidak dipraktikkan lagi di Eropa Barat.

Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, 11 Juli 1945, dicapai kesepakatan, 
Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer seperti di Inggris karena 
merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem itu dipandang tidak mengenal 
pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang legislatif dan eksekutif ada fusion of 
power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah "bagian" kekuasaan legislatif. 
Perdana menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.

Sebaliknya, sistem presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru 
merdeka karena sistem itu mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial 
mengandung risiko konflik berkepanjangan antara legislatif–eksekutif. Kedua, amat kaku 
karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berakhir. Ketiga, cara 
pemilihan winner takes all seperti dipraktikkan di Amerika Serikat bertentangan dengan 
semangat demokrasi.

Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan "sistem sendiri" sesuai usulan Dr 
Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof Soepomo, Ketua Panitia Kecil BPUPK. 
Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan sistem khas 
Indonesia. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, Padmo Wahono 
menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR. Menurut 
klasifikasi Verney tentang sistem pemerintahan, sistem yang mengandung karakteristik 
sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial.

Sistem pemerintahan demokratis yang dirumuskan para perancang UUD 1945 mengandung 
beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. "Sistem sendiri" itu 
mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang 
masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, presiden adalah eksekutif tunggal yang 
memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta para menteri 
adalah pembantu yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden, adalah ciri dari 
sistem presidensial. Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik 
sistem parlementer, di antaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang 
supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya parlemen di Inggris. Kedaulatan 
negara ada pada rakyat dan dipegang MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. Juga, 
presiden dipilih secara indirect oleh wakil-wakil rakyat, diangkat, dan diberhentikan 
oleh MPR

Presiden yang memiliki kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah 
bagian dari MPR. Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat 
menjatuhkan presiden. Bersama-sama presiden dan DPR menyusun undang-undang. Sistem 
pemerintahan demokratis model Indonesia itu sesuai ciri-ciri sistem semi-presidensial 
dalam klasifikasi Verney.

Bukan lembaga bikameral

Notulen dan catatan pada Arsip AG-AK-P juga mengurai pandangan para Bapak Bangsa 
tentang sistem pemerintahan Republik Indonesia. Pada notulen rapat 11-15 Juli BPUPKI 
dan PPKI dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang 
dilaksanakan MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi 
sosial, ekonomi, dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus bersifat 
multi-kameral dan terdiri atas DPR yang dipilih rakyat dan utusan golongan serta wakil 
daerah.

Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan 
corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi 
politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta menyebutnya sebagai 
ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai 
supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang 
berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Presiden menjalankan tugas MPR 
sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR.

Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi itu dipandang para Bapak Bangsa 
sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan 
kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bikameral dipilih 
karena dipandang lebih sesuai budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebagai 
lembaga permusyawaratan perwakilan.

Dasar pemerintahan negara

Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara 
baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan amandemen UUD 1945, 
tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan 
dalam UUD 1945. Bila pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan 
sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik itu dijadikan 
referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan 
konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan 
kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung Karno 
adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya politiek economische 
democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegang supremasi kedaulatan, MPR adalah 
penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, "pemegang" kekuasaan eksekutif dan 
legislatif. DPR adalah bagian MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif, sedangkan 
presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. 
Bersama-sama, DPR dan presiden menyusun undang-undang. DPR dan presiden tidak dapat 
saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem 
semi-presidensial itu yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem 
presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan 
dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.

Berbeda dengan pemikiran BPUPK dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus 
amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, sertamerta 
menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial. Padahal, pilihan 
para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris 
oleh penelitian Riggs di 76 negara dunia ketiga yang menyimpulkan, pelaksanaan sistem 
presidensial sering gagal karena konflik eksekutif–legislatif kemudian berkembang 
menjadi constitutional deadlock. Karena itu, sistem presidensial kurang dianjurkan 
untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPK dan PPKI menunjukkan betapa teliti 
pertimbangan para pendiri negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. 
Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata amat mendalam dan 
didukung referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia.

Mungkin penjelasan Prof Dr Soepomo pada rapat PPKI 18 Agustus 1945, beberapa saat 
sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi gambaran tentang sistem pemerintahan khas 
Indonesia yang dirumuskan para perancang konstitusi:

"Pokok pikiran untuk Undang-Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini. 
Kedaulatan negara ada di tangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu 
badan yang dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis 
Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, 
ialah suatu badan yang paling tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya. Maka Majelis 
Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang menetapkan 
Undang-Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat presiden dan 
wakil presiden. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar 
haluan negara... Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan 
haluan negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan 
Rakyat. Di samping presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat… badan yang bersama-sama 
dengan presiden, bersetujuan dengan presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu 
badan legislatif..."

Demikianlah pokok-pokok pikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan 
negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktatorial partai pada sistem 
parlementer atau bahaya political paralysis pada sistem presidensial, bila presiden 
terpilih tidak didukung partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun konstitusi 
menamakannya "Sistem Sendiri". Ahli politik menamakannya sistem semi-presidensial.

Para perancang konstitusi seperti Prof Soepomo sudah mengingatkan untuk memahami 
konstitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-pasalnya, tetapi 
harus diselami dan dipahami jalan pikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang 
melingkunginya. Sejalan dengan itu, Edwin Meese III mengingatkan, satu-satunya cara 
yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami keinginan yang 
sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum dasar itu. Tampaknya 
peringatan-peringatan itu diabaikan ketika amandemen UUD 1945 dilakukan.

Memurnikan UUD 1945

Sekarang semakin menjadi keyakinan umum, amandemen yang dilakukan MPR telah menyimpang 
dari kaidah dasar negara kekeluargaan, sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan 
rakyat, serta penyelenggaraan negara secara demokrasi sosial-ekonomi untuk mencapai 
kesejahteraan sosial sebagaimana dirumuskan pada Pembukaan UUD 1945. Karena itu 
cita-cita reformasi untuk memurnikan pelaksanaan UUD 1945 dapat dipastikan tidak akan 
tercapai bila tidak diadakan pemurnian terhadap UUD hasil amandemen.

Karena itu, salah satu agenda pokok yang perlu dilakukan presiden terpilih setelah 
pelantikan adalah mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan kemurnian UUD 1945 
sesuai kaidah fundamentalnya. Pemurnian UUD 1945 agaknya tidak mungkin dilakukan MPR 
hasil Pemilu 2004 karena MPR yang bikameral bukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat. 
Salah satu langkah konstitusional yang dapat ditempuh pemerintah adalah mendapatkan 
persetujuan rakyat untuk memurnikan UUD 1945 dan membentuk Komisi Konstitusi yang 
independen dan mewakili seluruh unsur masyarakat Indonesia untuk mengembalikan 
kemurnian UUD bangsa Indonesia.

Sofian Effendi Guru Besar Kebijakan Publik, Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

kompas today


                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
vote.yahoo.com - Register online to vote today!

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/GEEolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Kampanye open-source Indonesia - http://www.DariWindowsKeLinux.com
Solusi canggih, bebas ikatan, dan bebas biaya
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke