http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/28/opini/1644209.htm
Pertumbuhan Ekonomi Tidak Bisa Dipaksakan Oleh M Sadli IKATAN Sarjana Ekonomi Indonesia atau ISEI minggu lalu telah menggelar sidang pleno tahunan selama dua hari di Hotel Nikko, dengan tema umum "Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru". Banyak masalah dibahas, baik dari segi ekonomi makro maupun mikro atau sektoral. Yang penting adalah presentasi Dr Miranda Goeltom pada hari pertama, sesi pertama, sehingga papernya bisa dipandang sebagai referensi utama. Judul papernya adalah Mengapa Stabilitas Makro Telah Tercapai namun Sangat Lambat dalam Menggerakkan Pertumbuhan Ekonomi? Cara analisisnya adalah konvensional, yang juga sudah sering dilakukan penulis ini. Walaupun Sdr Miranda di sidang pleno ISEI ini bicara dalam kedudukan pribadinya, ia menjabat Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI), sehingga pandangannya kiranya sejajar dengan kebijakan moneter yang resmi. Sdr Miranda senantiasa memberi tekanan kepada misi utama Bank Indonesia di zaman reformasi ini, yakni misi tunggal menjaga nilai rupiah, yang secara operasional juga bisa disebut menjaga rendahnya inflasi (misi resmi sekarang adalah inflation targeting). Ia juga beberapa kali menyebut good governance sebagai pedoman pokok. Sdr Miranda membuka papernya dengan kalimat: "Evaluasi secara umum terhadap kondisi makro-ekonomi hingga triwulan I 2005 menunjukkan bahwa stabilitas perekonomian yang telah mulai dicapai dalam kurun waktu dua tahun terakhir masih dapat dipertahankan sebagaimana tercermin pada indikator utama makro-ekonomi seperti perkembangan besaran moneter, suku bunga, nilai tukar, inflasi, dan indikator kinerja perbankan". Perkembangan besaran moneter, diukur dengan M-zero (base money) maupun dengan ukuran M1 dan M2, semuanya masih ada dalam kisaran yang aman dan stabil. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia satu bulan menunjukkan penurunan konsisten dari sekitar 17 persen pada awal 2002 menjadi sekitar 7,4 persen pada awal 2005. Penurunan suku bunga itu diikuti oleh penurunan suku bunga kredit walaupun dengan pola penurunan yang relatif lambat. Nilai tukar rupiah selama beberapa periode terakhir bergerak relatif stabil dengan tingkat volatilitas yang cukup rendah. Secara tahunan, inflasi terus mengalami penurunan yang konsisten, dari 12,55 persen pada tahun 2001 menjadi 6,4 persen pada akhir 2004. Masalah inflasi Inflasi di Indonesia bak penyakit endemis (seperti malaria) dan berakar di sejarah. Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Soekarno karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent ("kalau perlu uang, cetak saja"). Di zaman Soeharto pemerintah berusaha menekan inflasi, tetapi tidak bisa di bawah 10 persen setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie, fungsi BI mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah), maka "inflasi inti" masih lebih besar daripada 5 persen setahun. BI sekarang punya sasaran untuk menekan angka inflasi ini. Di level teknis sudah ada kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membawa tingkat inflasi jangka panjang ke kisaran 3 persen setahun. Untuk tahun 2005, sasaran BI adalah 6 persen plus-minus 1 persen; untuk tahun 2006, 5,5 persen plus-minus 1 persen, dan untuk tahun 2007, 5 persen plus-minus 1 persen. Maka yang menjadi taruhan adalah inflasi tahun 2005 ini yang dibayangi oleh kenaikan harga BBM. Menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, akan ada tambahan inflasi sekitar 1 persen, tetapi ada pakar ekonomi lainnya yang memperkirakan 3 persen, bahkan pakar Badan Pusat Statistik memasang angka 12 persen. Pengalaman sejarah menunjukkan pengaruh kenaikan harga BBM kepada inflasi dalam kisaran 1-2 persen setahun. Pengendalian inflasi masih menghadapi risiko intern dan ekstern yang cukup besar. Dari dalam negeri ada pengaruh politik untuk mengucurkan dana perbankan yang lebih besar ke sektor riil, terutama ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah, dengan suku bunga rendah. BI juga tidak dapat mengendalikan perkembangan M-zero secara sempurna karena perbankan komersial harus melayani keperluan uang para nasabahnya, yang bisa dipengaruhi oleh inflationary expectations. Risiko dari sektor ekstern timbul kalau harga minyak bumi masih terus naik, atau nilai rupiah mengalami depresiasi. Belakangan ini bahkan beberapa komoditas pertanian, seperti beras dan gula, mengalami kenaikan harga internasional, yang semuanya akan menjadi imported inflation bagi Indonesia. Sdr Miranda menyebut beberapa "fundamental ekonomi" yang belum baik sebagai penghalang tercapainya laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertama, masih tingginya pengangguran dan kerentanan pasar tenaga kerja. Kedua, lemahnya kegiatan investasi dan permasalahan fundamental terkait. Ketiga, tingginya potensi tekanan inflasi secara struktural. Pengangguran yang tinggi terkait kepada pertambahan penduduk dan kualitas pendidikan dan skill sebagian terbesar sumber daya manusia kita. Di lain pihak pasar tenaga kerja juga kurang fleksibel, artinya amat mahal bagi perusahaan untuk mengurangi tenaga kerjanya kalau pasarnya menciut. Biaya pesangon untuk pemutusan hubungan kerja amat tingginya. Karena hubungan industrial di Indonesia kurang menguntungkan perusahaan, maka bakal banyak investor internasional memilih lokasi China dan Vietnam ketimbang Indonesia. Lemahnya kegiatan investasi baru juga oleh karena bagi pengusaha kepastian hukum sejak reformasi telah berkurang. Pelaksanaan otonomi daerah menambah ketidakpastian. Indonesia sekarang terkenal sebagai high-cost economy. Salah satu sumber ekonomi biaya tinggi adalah kurang memadainya infrastruktur karena sejak 1998 praktis tidak ada investasi pemerintah di bidang infrastruktur ini. Sebetulnya masih ada suatu rintangan fundamental, yakni intermediasi sistem perbankan belum bisa bekerja secara normal karena ketatnya prudential rules yang baru dan masih ada trauma kredit macet. Sejak tahun 2004 sudah ada tanda-tanda positif kenaikan investasi dan ekspor, tetapi belum cukup untuk mengembalikan kinerja zaman sebelum krisis. Waktu itu jumlah investasi nasional (gross) sekitar 30 persen dari produk domestik bruto (PDB). Di tahun 2004 baru melintasi 20 persen dari PDB. Statistik impor barang modal juga mulai naik. Namun, kebanyakan investasi yang masuk belakangan ini ditujukan ke sektor-sektor yang lebih konsumtif, seperti real estate dan shopping malls. Investor asing, misalnya Jepang, juga masih ragu-ragu masuk walaupun sudah cukup banyak investor dari negara tetangga ASEAN (Singapura, Malaysia) dan dari China yang mulai masuk. Tetapi, yang dibutuhkan adalah investasi di bidang industri yang menopang ekspor. Daya saing ekspor Indonesia telah melemah, antara lain karena sejak krisis tidak ada investasi baru untuk meningkatkan teknologi. Cukup konservatif Maka bisa diadakan kesimpulan, seperti juga dilakukan moderator Hadi Soesastro pada sesi pertama itu (yang membahas makalah Dr Miranda) bahwa kebijakan fiskal dan moneter sangat penting dan diperlukan, tetapi belum cukup untuk meraih pertumbuhan tinggi bagi ekonomi Indonesia. Yang masih diperlukan adalah kebijakan-kebijakan untuk mengimbangi kelemahan struktural, seperti penegakan hukum untuk menjamin kepastian usaha dan perubahan dalam hubungan perburuhan. Pelaksanaan otonomi daerah harus dibenahi agar kepastian usaha bagi perusahaan lebih besar. Administrasi perpajakan juga harus dirombak karena ketidakpastian dan KKN dalam perkiraan serta pungutan pajak mengganggu banyak perusahaan besar. Pada umumnya kebijakan pemerintah sekarang untuk mencapai laju pertumbuhan lebih tinggi adalah cukup konservatif (prudent), menyadari bahwa banyak tergantung dari jumlah investasi, yang sebagian besar harus datang dari sektor swasta. Maka yang paling penting adalah membangun iklim investasi yang menarik. Sesudahnya, kita harus sabar menunggu investasi ini datang. Baru sesudah itu laju pertumbuhan PDB akan naik. Pemerintah sendiri harus memaksimalkan investasi lewat anggaran belanjanya, misalnya untuk membangun infrastruktur yang tidak menguntungkan bagi investor swasta. Tetapi, pengelolaan APBN ini masih mengandung permasalahan sendiri, yang juga terkait dengan prinsip kehati-hatian (prudence). Sasaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dikumandangkan di masa kampanye sebetulnya terlalu ambisius (misalnya mencapai laju pertumbuhan rata-rata 6,6 persen dalam lima tahun). Laju pertumbuhan di tahun pertama (2005) mungkin sekali (baru) 5,5 persen. Apa laju pertumbuhan tahun 2009 bisa mencapai 7,6 persen? Potensinya ada, tetapi apakah bisa "dipaksakan"? Ada yang mau memaksakan dengan memperbesar defisit APBN (menjadi lebih besar dari 1 persen PDB). Masalahnya adalah bagaimana membiayainya? Dengan menambah utang luar negeri? Bisa dengan menambah utang dalam negeri, tetapi harus dijaga jangan crowding out pasar kredit bagi sektor swasta. Sebetulnya, (mantan) Menkeu Boediono sudah mulai menempuh jalan itu. Ada yang menganjurkan jangan takut inflasi naik. Ini main dengan api. Sekali inflasi tertiup, maka masyarakat ingat zaman yang lalu, sedangkan BI mau mengusahakan agar harapan- harapan ini forward looking. M Sadli Ekonom Senior, Mantan Menteri dan Ketua Umum ISEI [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> What would our lives be like without music, dance, and theater? Donate or volunteer in the arts today at Network for Good! http://us.click.yahoo.com/Tcy2bD/SOnJAA/cosFAA/GEEolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Bantu Aceh! Klik: http://www.pusatkrisisaceh.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/