Alhamdulillah, APBN kita surplus Rp 17,9 trilyun.
Mungkin korupsi sudah mulai terkikis atau pendapatan
negara meningkat.

Namun di sisi lain, saya juga prihatin, berapa banyak
rakyat kita yang mati karena kurang gizi/busung lapar
karena kelaparan?

Berapa banyak rakyat kita yang mati, karena tidak
berani berobat ke rumah sakit gara-gara tidak punya
uang?

Berapa banyak anak2 kita yang lumpuh, karena orang
tuanya tak punya uang untuk vaksinasi polio?

Berapa juta anak yang tak bisa sekolah karena tak
mampu bayar uang sekolah?

Berapa banyak... Berapa banyak...Berapa banyak hal
lainnya yang seharus bisa terbantu tapi tidak dibantu?

Saya prihatin sekali....

--- Eddy Satriya <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Yang ini cerita ttg ekonomi ala kita.
> 
>  
> 
> Selamat membaca, mudah-mudahan bermanfaat.
> 
>  
> 
> Wasaalam,
> 
>  
> 
> ES
> 
>  
> 
> ===========
> 
> Ekonomi Kemunafikan
> 
>  
> 
> Oleh: Eddy Satriya*)
> 
>  
> 
> 
> 
>  
> 
> Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Warta Ekonomi
> Edisi 30 Mei 2005.
> 
>  
> 
> Kebebasan pers dan kemajuan TI memberikan kontribusi
> yang besar bagi
> masyarakat dalam memperoleh dan menyebarkan
> informasi. Informasi dengan
> mudah diperoleh melalui media cetak, elektronik,
> situs Internet, dan bahkan
> telepon seluler. Namun, akibat terpaan jutaan bit
> informasi, kita sering
> luput justru pada beberapa informasi penting. Salah
> satunya adalah berita
> berjudul "APBN 2005 Catat Surplus Sebesar Rp 17,90
> Triliun" (Kompas, 27
> April 05). 
> 
> Terus terang saya sempat bingung ketika membaca
> berita itu. Kebingungan saya
> kian membuncah setelah beberapa hari kemudian. Bukan
> karena semata-mata isi
> berita, tetapi justru karena minimnya reaksi dan
> perhatian pemuka
> masyarakat. 
> 
> Dalam berita itu diuraikan bahwa Dirjen
> Perbendaharaan Negara merasa arus
> kas negara sangat aman karena hingga akhir Maret
> 2005 surplus anggaran
> tercatat sebesar Rp 17,90 Triliun. Sang Dirjen
> menganggap angka ini jauh
> lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang defisit
> sebesar Rp 6,17 Triliun.
> Dengan demikian, kita benar-benar aman menjaga
> anggaran sesuai dengan
> target-target APBN. Beliau juga membandingkan saldo
> rekening pemerintah di
> Bank Indonesia (BI) yang mencapai Rp 25,38 Triliun,
> dengan saldo tahun lalu
> yang hanya berjumlah Rp 16,30 Triliun. Pada bagian
> lain diuraikan pula
> betapa penerimaan negara dari bea masuk dan pajak
> semakin membaik. Khusus
> untuk pajak bahkan disebutkan bahwa penerimaannya
> hingga April 2005 tercatat
> 20% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
> 
> Beberapa pertanyaan berputar-putar dalam benak saya.
> Ada apa ini? Mengapa
> para Dirjen di bawah Departemen Keuangan (Depkeu)
> tiba-tiba memainkan
> "paduan suara" yang melenakan? 
> 
> Informasi yang tersirat dari pemberitaan tersebut
> sungguh sangat sayang
> untuk dilewatkan. Ada beberapa hal yang harus
> dicermati sehubungan dengan
> berita pelaksanaan APBN 2005 yang telah memasuki
> bulan kelima. 
> 
> Pertama, betapa ganjil dan aneh rasanya ketika
> seorang pejabat tinggi dengan
> bangga memaparkan bahwa APBN 2005 surplus! Padahal
> banyak pelaku bisnis baik
> kalangan pemerintah, swasta dan lapisan masyarakat
> tahu bahwa hingga
> pertengahan Mei 2005 ini nyaris belum ada proyek
> atau kegiatan dalam Daftar
> Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang cair atau
> telah dilaksanakan. Singkat
> kata, tentu saja APBN surplus. Penerimaan terus
> digenjot, sementara
> pengeluaran nihil. Parahnya lagi, kondisi
> keterlambatan ini sudah terjadi
> sejak beberapa tahun terakhir. Padahal di zaman orde
> baru, bagaimanapun
> rumitnya persiapan dan pembahasan anggaran di
> Depkeu, penyerahan Daftar
> Isian Proyek (DIP) kepada pemerintah daerah dan
> kantor departemen selalu
> dapat ditepati pada setiap tanggal 1 April sebagai
> awal tahun anggaran.
> 
> Kedua, sebagai konsekuensi logis dari minimnya
> pengeluaran pemerintah
> (government spending) maka hal ini akan mengancam
> kelangsungan ekonomi
> masyarakat di sektor riil. Lihatlah hotel-hotel sepi
> dari berbagai acara
> seminar dan pembahasan program pembangunan. Para
> pengusaha katering sudah
> mulai mengurangi jumlah pegawai mereka. Restoran
> menegah dan kecil, warung,
> serta usaha jasa seperti foto copy dan transportasi
> banyak yang tutup
> sementara karena proyek- proyek yang belum jalan.
> Para pegawai negeri sipil
> (PNS) dan swasta yang berpenghasilan tetap dan
> mengharapkan honor tambahan
> dari pelaksanaan proyek pemerintah semakin "mantab"
> (makan tabungan) dan
> "matang" (makan utang), sebagaimana diselorohkan
> salah seorang rekan saya
> yang sedang menunggu gaji pertama di salah satu
> Komisi di Jakarta.
> Keterlambatan turunnya anggaran ini juga akan
> berpengaruh terhadap kinerja
> beberapa Badan dan Komisi bentukan pemerintah yang
> tugasnya mempercepat
> perbaikan iklim investasi dan kepastian hukum.
> Beberapa kantor terpaksa
> harus gelap gulita karena sambungan listriknya
> diputus PT. PLN setelah
> menunggak 5 bulan. Rendahnya pengeluaran pemerintah
> memperlambat roda
> ekonomi yang pada akhirnya menurunkan pendapatan dan
> daya beli masyarakat.
> 
> Ketiga, belajar dari berbagai pengalaman dalam
> pelaksanaan kegiatan
> pembangunan, maka sisa waktu sekitar tujuh bulan
> dirasa tak cukup untuk
> merealisasikan suatu proyek atau kegiatan besar
> seperti aktivitas
> konstruksi, rehabilitasi, dan penelitian suatu
> sistem terpadu. Kondisi ini
> berpotensi besar untuk menciptakan "mark-up",
> "kongkalingkong", dan KKN-
> yang justru sedang gencar-gencarnya dibasmi
> pemerintah. Keterbatasan waktu
> dan keharusan"menghabiskan" anggaran yang sudah
> disetujui Depkeu dan DPR,
> sekali lagi, sangat berpotensi untuk diselewengkan,
> baik secara individu,
> segelintir personil proyek, ataupun "berjamaah".
> 
> Terakhir, jika dalam 5 bulan anggaran berjalan sudah
> berhasil diraih
> penerimaan bea dan cukai sekitar 30% dari target
> APBN, dan penerimaan pajak
> yang relatif tinggi, maka sesungguhnya ekonomi kita
> sangat menakjubkan. Jika
> tanpa pengeluaran pemerintah ekonomi sudah berjalan
> bagus seperti terlihat
> dari indikator bea masuk dan pajak tersebut, berarti
> potensi ekonomi swasta
> tentulah sangat besar dan bagus. Betulkah? Dalam
> kondisi yang masih didera
> krisis multidimensi ini, saya agak meragukan itu.
> Apalagi berbagai fakta
> tentang kredit macet, hengkangnya beberapa
> perusahaan multinasional besar ke
> negeri tetangga, tingginya penyelundupan, merebaknya
> berbagai kasus KKN,
> kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan besarnya
> subsidi, hilangnya
> bahan baku beberapa industri mebel di pasaran dan
> lain-lain sebagainya
> sungguh berpotensi menegasikan pertumbuhan yang ada
> di sektor swasta.
> 
> Lantas, bagaimana kita menyikapi kesemuanya itu?
> Rentetan fakta dan analisis
> tadi, serta perkembangan terakhir politik ekonomi di
> dalam negeri,
> kelihatannya makin menggiring kita kepada suatu
> bentuk ekonomi yang saya
> sebut saja: ekonomi kemunafikan. Ini suatu bentuk
> yang mungkin hanya ada di
> 
=== message truncated ===


Bacalah artikel tentang Islam di:
http://www.nizami.org

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
In low income neighborhoods, 84% do not own computers.
At Network for Good, help bridge the Digital Divide!
http://us.click.yahoo.com/EpW3eD/3MnJAA/cosFAA/GEEolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke