From: sutomo asngadi <[EMAIL PROTECTED]> 

Ami Taher
Anggota Komisi VII DPR RI dari FPKS

Setiap tanggal 20 Mei kita peringati hari kebangkitan
nasional. Ada pesan yang
sangat berarti untuk pewaris negeri yang tak boleh
henti, yaitu pentingnya
sebuah harga diri. Bagi sebuah negeri harga diri
adalah harga mati. Tak ada
eksistesi tanpa harga diri.

Saat ini, semangat kebangkitan bangsa kita kembali
diuji. Salah satu ujiannya
adalah tentang perpanjangan kontrak pengelolaan minyak
antara pemerintah kita
dengan perusahaan Exxon Mobil milik Amerika Serikat,
di Blok Cepu, Jawa Timur,
dengan kandungan yang cukup menggiurkan, diperkirakan
memiliki potensi cadangan
2.600 juta barel. (Produksi minyak nasional per tahun
sekitar 400 juta
barel/tahun).

Negara mana yang tak iri dan ingin memiliki kekayaan
alam negeri jamrud
khatulistiwa ini, upaya apapun akan mereka tempuh
untuk dapat menambang kekayaan
dari negeri ini? Untuk itulah seharusnya pemerintah
dalam kebijakannya selalu
berpegang kepada pasal 33 ayat 3 UUD 1945, berbunyi
''bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.''

Untuk kasus Exxon terlihat amat aneh. Penulis melihat
adanya kejanggalan dalam
negosiasi perpanjangan kontrak di Blok Cepu. Hal ini
berkaitan dengan isyarat
pemerintah dalam memberikan angin kepada pihak Exxon
untuk memperpanjang
kontrak, karena jika dilihat dari sisi bisnis
jelas-jelas membiarkan asing masuk
Blok Cepu merupakan kerugian besar bagi negara.
Sebagai wakil rakyat, penulis
dengan tegas telah mengingatkan dalam dalam rapat
dengar pendapat dengan menteri
ESDM, kepala BP Migas, dan dirut Pertamina pada 16 Mei
2005, bahwa pemerintah
tidak perlu memperpanjang kontrak pengelolaan Blok
Cepu, cukup sudah serahkan
saja pada Pertamina, secara legal tidak ada aturan
yang dilanggar. Hal senada
juga diungkapkan oleh Kurtubi, seorang ahli
perminyakan, di Republika, pada 23
Mei 2005.

Kronologi Pada 1980, Pertamina bekerja sama dengan PT
Humpuss Patragas (HPG)
dalam bentuk Technical Assistance Contract (TAC) untuk
daerah Blok Cepu dengan
masa kontrak 30 tahun, sehingga akan berakhir 2010.
Tahun 1994, Ampolex Ltd dari
Australia resmi membeli 49 persen saham HPG. Tidak
berapa lama Ampolex Ltd
diakuisisi oleh Mobil Energy dan Proteleum Australia
(MEPA) dan menunjuk Mobil
oil Indonesia (MOI) sebagai representatif segala hak
dan kewajiban menyangkut 49
persen saham di HPG. Hal ini melanggar ketentuan TAC.
Guna melegalkan pemboran
disusun dokumen perjanjian baru yang disebut ''TAC
Plus''. Kurun waktu 1998-2000
adalah masa perundingan dalam rangka akuisisi 100
persen saham HPG oleh MOI
bersamaan dengan Mobil Internasional sebagai iInduk
MOI diakuisisi oleh Exxon di
AS. Bergantilah nama MOI menjadi Exxon Mobil Indonesia
(EMI)

Menurut Profesor Koesoemadinata, guru besar geologi
ITB, mantan penasihat teknis
geologi HPG, tahun 1998 ditemukan cadangan minyak yang
spektakuler di Cepu oleh
HPG yang waktu itu masih memilki 51 persen sahamnya.
Namun tiba-tiba pihak Mobil
Oil menghentikan proses eksplorasi, dengan alasan ada
gas beracun H2S. Dalam
harian Republika, pada 20 Mei 2005, sumber mereka yang
juga terlibat dalam
eksplorasi menyatakan pihak Mobil Oil telah sengaja
menyembunyikan fakta tentang
hasil penemuan cadangan itu, bahkan dari informasi
yang penulis terima pihak
Mobil Oil menggantung rig (alat pengeboran) selama dua
tahun tidak diaktifkan.

Apakah Mobil Oil tidak memiliki teknologi yang canggih
sehingga harus menunggu
begitu lama dan menghabiskan biaya 100 juta dolar AS,
dan nantinya akan ditagih
kepada negara dalam bentuk cost recovery?
Jangan-jangan ini sekedar akal-akalan
pihak Exxon untuk bisa menguasai Blok Cepu dan punya
alasan untuk memperpanjang
kontrak dengan kita. Tahun 2005, EMI berusaha mendapat
perpanjangan hak
pengelolaan Blok Cepu dengan pemerintah Indonesia
(Pertamina-BP Migas-Departemen
ESDM).

Adakah lagi harga diri bangsa?
Harusnya tim negosisiasi pemerintah harus banyak
belajar tentang arti sebuah
kebangkitan bangsa. Harapan 220 juta rakyat Indonesia
jangan dihanguskan oleh
sebuah kontrak yang bernama Production Sharing
Contract (PSC) yang diajukan oleh
Exxon. Jika PSC benar-benar terjadi maka ini
jelas-jelas merugikan Indonesia.

Apa yang memberatkan bagi pemerintah untuk tidak
memperpanjang kontraknya dengan
Exxon Mobil di Blok Cepu? Bukankah kita tidak
menyalahi prosedur? Tidak ada
kewajiban bagi Pertamina untuk memperpanjang kontrak
Technical Assistance
Contract (TAC) yang berakhir pada 2010 itu. Dalam PP
35/2004 tentang Kegiatan
Usaha Hulu Migas, pada pasal 104 huruf (g) jelas-jelas
dinyatakan bahwa setelah
TAC berakhir, wilayah bekas kontrak tersebut tetap
merupakan wilayah kerja
Pertamina (Persero). Kalau kita melihat kronologis
kontrak TAC ini, merupakan
pembaharuan perjanjian TAC yang dilakukan pada 1997
kepada PT HPG pada dasarnya
adalah usaha melegalkan (pemutihan) atas
''pelanggaran'' yang telah terjadi
sebelumnya dengan adanya unsur asing dalam kepemilikan
saham pengelola TAC di
Blok Cepu tersebut atas perjanjian TAC awal (1980)
sesuai UU No 8 th 1971.

Potensi cadangan migas di Blok Cepu sangatlah besar,
kandungan minyak mencapai
2,6 miliar barel, kandungan gas sekitar 11 triliun
kaki kubik. Sebuah cadangan
spektakuler bagi bangsa ini. Dan yang lebih menarik
lagi adalah lokasi minyak di
Blok Cepu ada di daratan sehingga tidak di perlukan
teknologi yang sangat
canggih untuk mengeksplorasi. Kedalaman prospek
3000-4000 meter bukan hal yang
baru bagi anak-anak bangsa untuk mengeksplorasinya.
Jadi, apakah masih
diperlukan kontraktor asing di sana?

Salah satu yang memberatkan pemerintah untuk membagi
minyak kita kepada mereka
adalah Exxon mengaku menemukan cadangan di Blok Cepu
tersebut, tapi benarkah
pernyataan Exxon tersebut? Hal ini saya mengutip
pernyataan Profesor
Koesoemadinata, yang terlibat langsung dalam
eksplorasi Blok Cepu. ''Faktanya,
semua pengeboran sepenuhnya oleh Humpuss Patragas
(HPG) penentuan titik lokasi
pengeboran, yang akhirnya menemukan cadangan yang
nyata, juga oleh ahli-ahli
HPG, bukan pihak asing manapun, Exxon hanya melakukan
areal magnetic survey yang
tidak berpengaruh,'' kata Koesoemadinata.

Jadi, jelas-jelas penemuan cadangan minyak dengan
kapasitas produksi 300 ribu
barel/hari tersebut semata mata hasil kerja
orang-orang Indonesia sendiri.
Bahkan pada 1998, Profesor Koesoemadinata yang
memegang sendiri ketika rembesan
minyak mulai muncul. Seharusnya tak ada alasan lagi
Pertamina untuk melanjutkan
kontraknya sehingga 100 persen keuntungan untuk
negara/pemerintah tidak perlu
sharing dengan Exxon.

Dalam kasus Exxon ini, penulis sangat mendukung sikap
Kwik Kian Gie, dalam
tulisannya di Bisnis Indonesia, pada 23 Mei 2005.
Kepada executive vice
president Exxon Mobil ketika mencoba meyakinkan
tentang negosiasi kontrak, Kwik
berani menyatakan, ''Saya bukan inlander.''

Cadangan yang spektakuler itu adalah harapan baru
bangsa Indonesia. Tentunya
sangat bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia pada
umumnya dan warga Jawa
Timur pada khususnya, tempat Blok Cepu berada, apabila
kekayaan alam itu
dikelola anak bangsa. Mari kita kembalikan legenda
Cepu sebagai kota penghasil
minyak, menuju Indonesia yang jaya. 


Bacalah artikel tentang Islam di:
http://www.nizami.org

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to