SUARA KARYA
Kontroversi Privatisasi BUMN Oleh Syaiful Bari Kamis, 23 Juni 2005 Rencana pemerintah melakukan privatisasi terhadap beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi menu diskusi menarik akibat kontroversi yang terus mengemuka. Kali ini pemerintah akan melakukan privatisasi terhadap beberapa BUMN dengan target penerimaan negara semaksimal mungkin untuk menutupi defisit anggaran negara. Menurut Aburizal Bakrie (Ical), privatisasi beberapa BUMN perlu segera dilakukan untuk menutupi defisit anggaran negara. Bahkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2005 ini, pemerintah telah menetapkan penerimaan dari privatisasi BUMN sebanyak Rp 3,5 triliun. Sedangkan penerimaan dari setoran dividen BUMN sekitar Rp 9,5 triliun. Jadi, target penerimaan dari Kantor Menneg BUMN tahun ini adalah Rp 13 triliun. Program kebijakan pemerintah yang dimotori Aburizal Bakrie itu mengundang polemik dari beberapa faksi. Polemik itu dipicu oleh distingsi pendapat mengenai privatisasi BUMN antara Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) dengan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie. Sikap kontra privatisasi Wapres JK itu sinergis dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga tidak menginginkan privatisasi dilakukan secara membabi-buta. Presiden SBY dan Wapres JK tidak ingin mengambil jalan pintas dengan cara menjual harta yang produktif milik negara, yaitu BUMN. Kalau saja, ini terus dilakukan, maka keberlangsungan pembangunan ekonomi di Tanah Air dikhawatirkan akan terancam. Bagi Wapres JK sendiri, privatisasi BUMN merupakan langkah yang keliru. Karena itulah kemudian, dirinya tidak setuju dengan privatisasi BUMN yang akan dilakukan sekarang. BUMN lebih baik dikelola terlebih dahulu supaya pembayaran dividen (bukan privatisasi) dan pajaknya meningkat. Kurang lebih ide ini jugalah yang digagas oleh Menteri Negara BUMN Sugiharto. Dalam RAPBN antara privatisasi dan dividen memang ada perbedaan pos. Dana hasil privatisasi dimasukkan dalam pos untuk menutup defisit, sementara dividen masuk dalam pos pendapatan. Tapi, keduanya sama-sama masuk dalam kantong RAPBN. Tampaknya gagasan yang diusung oleh Sugiharto itu cukup menarik. Daripada melepas BUMN kepada pihak asing (luar), lebih baik BUMN yang ada dimaksimalkan kinerjanya dahulu sehingga mampu mendapatkan laba tinggi. Apalagi bila kita bercermin pada penjualan Indosat tahun 2004 yang menghasilkan dana Rp 5,6 triliun, tetapi untuk menambal kerugian PLN yang tidak efisien sebesar Rp 2 triliun rupiah. Berbeda dengan JK, Aburizal Bakrie menegaskan, program privatisasi BUMN harus secepatnya dilakukan untuk memenuhi target penerimaan negara dari BUMN (termasuk dividen) sebesar Rp 13 triliun. Kalau langkah ini tidak diambil, bagi Aburizal, kira-kira akan didapatkan dari mana uang penggantinya. Aburizal Bakrie juga menekankan perlunya privatisasi sebab untuk mencairkan dana pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar 250 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,4 triliun. Hal itu terjadi karena syarat pencairan dana tersebut mengharuskan adanya penerbitan peraturan pemerintah tentang privatisasi dulu. Fenomena polemik tentang privatisasi ini mengingatkan kita pada tekanan serupa yang pernah kita terima dari IMF saat Indonesia bersusah payah keluar dari krisis ekonomi akhir tahun 1997-an silam. Kondisi waktu itu jelas berbeda dengan konteks zaman ini. Pada akhir tahun 1997-an, Indonesia sama sekali tidak punya pilihan untuk bertahan kecuali melakukan privatisasi. Maklum, ketika krisis terjadi sejak Juli 1997, hampir tidak ada BUMN yang dapat memberikan manfaat yang berarti. Bahkan pemerintah sendiri justru harus menyuntikkan dana obligasi ratusan triliun rupiah, terutama untuk menyelamatkan bank-bank milik pemerintah. Dalam situasi tidak punya pilihan seperti itu, maka menjadi sangat wajar bila privatisasi yang dilakukan sejak tahun 1998 tidak banyak menghasilkan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan rakyat Indonesia. Neo-kolonialisme Pada dasarnya, proyek privatisasi merupakan program pemerintah berkaitan dengan profesionalisme BUMN dan anggaran. Dari privatisasi ini diharapkan BUMN tersebut menjadi profesional dan tidak menjadi sapi perah bagi kelompok yang sedang berkuasa. Pada sisi lain, ketika anggaran selalu defisit, maka dana dari privatisasi ini bisa digunakan untuk menutupinya. Di titik ini seakan tidak ada persoalan. Namun jika dikritisi secara lebih mendalam, di balik proyek privatisasi ini, ada beberapa problem krusial yang justru akan menjadikan bangsa ini terjebak kepada kerugian maha-besar dan ketergantungan terhadap negara-negara maju. Pertama, proyek privatisasi yang dilakukan pemerintah selama ini mengambil obyek BUMN yang potensial menguntungkan dan sekaligus strategis. Contoh konkret adalah Indosat yang kini sudah dikuasai Temasek Singapura. Logikanya sederhana, untuk memperoleh harga tinggi dari hasil privatisasi, maka yang harus dijual adalah BUMN yang bagus. Argumentasi itu memang tidak salah. Namun semestinya yang diprivatisasi bukan BUMN yang menguntungkan dan strategis agar BUMN itu berkembang secara progresif. Biarkanlah BUMN yang tidak bisa memberikan kontribusi bagi negara saja yang dijual. Bukan yang bagus-bagus. Kedua, kontribusi terhadap negara ke depan dari hasil penjualan aset-aset milik negara itu tidaklah banyak. Bisa dipastikan harga penjualannya akan murah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Hasil itu tidak cukup menebus derita rakyat Indonesia yang berkepanjangan. Karena itu, pemerintah harus memperbaiki kinerja BUMN terlebih dahulu supaya keuntungan yang diperolehnya semakin besar. Bukan asal jual aset-aset milik negara. Ketiga, kebijakan privatisasi sebagai pelepasan aset negara alias tidak nasionalistik lagi, sama artinya dengan asingisasi. Maksudnya, BUMN yang diprivatisasi itu jatuh ke tangan asing sebab merekalah yang memiliki dana besar untuk itu. Implikasinya, pihak asinglah yang menguasai BUMN hasil privatisasi. Privatisasi yang berujung pada pemilikan asing itu memang sudah didisain sejak awal. Karena ketika berhubungan dengan IMF, salah satu syarat utamanya adalah melakukan privatisasi BUMN. Fakta ini dapat memuluskan agenda neo-kolonialisme pihak asing terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang katanya kaya raya ini. Rakyat Indonesia akhirnya menjadi buruh di istananya sendiri. Kolonialisme negara-negara kuat sudah bermetamorfosa menjadi kolonialisme baru (neo-kolonialisme) yang tidak kalah hegemonik dan eksploitatifnya ketimbang kolonialisme klasik. Neo-kolonialisme ini memang tidak lagi dalam bentuk penjajahan fisik, melainkan telah berubah wajah menjadi ancaman dominasi ekonomi dari negara-negara maju. Keempat, proyek privatisasi jelas akan membahayakan kelangsungan hidup putera-puteri bangsa. Generasi penerus masa depan ini akan disulitkan dengan "sawah" penghasil keuangan negara. Kalau "sawah-sawah" atau aset-aset milik negara sudah habis dijual kepada pihak asing, maka generasi masa depan negeri ini pasti akan kehilangan ruang gerak dan kemerdekaan. Bila ini yang terjadi, maka langkah pemerintah Indonesia ini tidak jauh berbeda dengan bunuh diri. *** (Penulis, mantan Direktur Social and Philosophical Studies - Sophis, Yogyakarta). [Non-text portions of this message have been removed] Bantu Aceh! Klik: http://www.pusatkrisisaceh.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/