Rabu, 29 Juni 2005, Ketika PLN, PGN, Pupuk dan PTBA Rebutan
Catatan: Dahlan Iskan Ini warisan masa lalu: PLN membeli pembangkit listrik berbentuk gas-ngine. Artinya, pembangkit listrik itu didesain untuk menggunakan bahan bakar gas. Tapi pembangkit listrik tersebut ditempatkan di wilayah yang sama sekali tidak punya sumber gas: Pontianak. Maka jadilah pembangkit listrik tersebut dipakai dengan menggunakan solar. Borosnya bukan main. Ini juga sama: PLN membangun pembangkit listrik yang luar biasa besarnya di Pasuruan. Sampai 800 MW. Pembangkit yang tergolong first-class itu (maksudnya: mahal sekali) didesain untuk dijalankan dengan bahan bakar gas. Nasibnya sama: sampai tahun ini, ketika pembangkit tersebut sudah berumur lebih dari 8 tahun, belum juga dapat gambaran akan dapat gas atau tidak. Padahal dana yang dipakai untuk membangun PLTG di Pasuruan itu, menurut perhitungan saya, sedikitnya Rp 5 triliun. Bagaimana dana sebesar itu ditanam di suatu tempat tanpa berfungsi dengan maksimal. PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) itu kini hanya dijalankan sebagian kecil dari kapasitasnya. Itu pun harus menggunakan solar. Bisa dibayangkan betapa PLTG tersebut sangat "haus" uang untuk menjalankannya. Tentu bukan hanya dua itu saja yang sejenis. Tapi dipanjangkan pun daftar ini, intinya sama: inilah salah satu sumber kerugian besar PLN selama ini. Saya pernah berkeinginan mencarikan jalan keluar yang sangat bagus, menurut ukuran saya. Saya undang beberapa bos besar perusahaan di sekitar Surabaya yang selama ini tagihan listriknya sangat besar. Pabrik kertas yang di bawah manajemen saya saja membayar listrik sekitar Rp 6 miliar/bulan. Lalu, Semen Gresik membayar sekitar Rp 20 miliar sebulan. Salah satu pabrik baja membayar Rp 26 miliar sebulan. Kami sepakat memberikan jaminan pembayaran kepada perusahaan asing yang memiliki sumber gas di dekat Madura agar mau mengalirkan gasnya ke Pasuruan. Perusahaan gas itu memang hanya mau mengalirkan gasnya ke PLTG tersebut kalau ada penjaminan pembayarannya. Perusahaan asing itu, kasarnya, tidak percaya bahwa PLN bisa mengeluarkan jaminan tersebut. Kalau saja solusi tersebut bisa diterima, betapa hebatnya. Pabrik-parik besar tersebut mungkin bisa dapat potongan barang 5%. Lalu, perusahaan asing pemilik gas tersebut mau menggali gasnya. Dan, PLN bisa mendapatkan sumber bahan bakar yang sangat murah. (Harga gas, katakanlah sampai USD 3,8/mmbtu. Bandingkan dengan solar yang bisa dua-tiga kali lipat dari itu). Belum lagi bagaimana investasi lebih dari Rp 5 triliun dibiarkan begitu mubadzir? Tapi, ide seperti ini memang tidak gampang memperjuangkannya. Maka akhirnya lenyap begitu saja. Saya malu pada bos-bos yang sudah sepakat memberikan jaminan tadi ketika mereka bertanya bagaimana kelanjutan ide menghidupkan PLTG Pasuruan tersebut. Ke depan, keadaannya belum akan lebih baik. Apalagi pasokan gas terus mengalami penurunan. Harga minyak mentah yang mendekati USD 60/barel (kini telah menembus USD 60/barel) membuat perusahaan minyak lebih serius menggali minyak daripada mencari gas. Belum lagi situasi "rebutan" sumber energi kelihatannya akan semakin menjadi-jadi. PLN mulai kesulitan dapat pasok batubara dari Bukit Asam karena perusahaan itu lebih memilih ekspor batubara yang harganya lagi membumbung. Bahkan Bukit Asam sudah berencana memanfaatkan batubara non-ekspornya untuk membangun PLTU sendiri. Kalau ini terjadi, maka bisa jadi ganti PLN yang terpaksa harus membeli tambang batubara. Maka perusahaan batubara akan memproduksi listrik dan perusahaan listrik akan memproduksi batubara. Berikutnya tidak akan kalah ruwet. PLN harus rebutan gas yang sumbernya dekat dengan pulau Jawa sehingga harganya murah. PLN akan berebut gas murah tersebut dengan perusahaan gas negara (PGN) dan pabrik pupuk. PGN, karena boleh melayani industri swasta dan rumah tangga, bisa menjual gas dengan harga lebih tinggi. PLN, yang diminta pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik, tentu hanya akan bisa hidup dengan jalan membeli gas yang harganya murah. Ini pasti tidak akan mampu bersaing dengan PGN. Pabrik pupuk yang harus melayani petani dengan harga pupuk yang bersubsidi tentu bukan kelasnya untuk melawan PGN dan PLN. Sudah pasti pasokan gas dari sumur-sumur lepas pantai Jawa tidak akan cukup memenuhi permintaan tiga sektor (PGN, PLN, Pupuk) tersebut. Bahkan kini sudah sangat kritis. Pabrik-pabrik sudah tidak bisa mendapatkan gas yang cukup. PLN juga sudah pusing. Terpaksa, mau-tidak-mau, harus ada gas yang didatangkan ke Jawa dari sumur-sumur gas yang jauh dari Jawa. Misalnya, dari Tangguh di Irian, dari Laut Arafuru atau bahkan dari Timur Tengah. Tentu tidak mungkin mengalirkan gas dari lokasi-lokasi tersebut ke Jawa. Akan mahal sekali. Satu-satunya jalan adalah melakukan proses regasifikasi. Artinya, gas tersebut harus diubah dulu menjadi LNG. Lalu diangkut dengan tangker LNG ke pantai Jawa. Di Jawa LNG tersebut diubah lagi menjadi gas. Tentu harga gas dengan proses mendatangkannya seperti itu akan jauh lebih mahal daripada gas yang dialirkan dengan pipa dari pantai Jawa. Maka kalau proses regasifikasi dilakukan, timbul persoalan amat pelik: siapa atau sektor mana yang boleh mendapatkan gas dengan harga murah, dan sektor mana yang harus menggunakan gas yang dihasilkan proses regasifikasi. Ini gawat. Presiden atau wapres harus turun tangan dan bikin keputusan. Atau, serahkan ke daerah dalam pengertian yang sesungguhnya. Toh tidak mungkin orang pusat memikirkan wilayah seluas Indonesia satu-persatu. Sedang urusan di Jakarta sendiri bukan main banyaknya. Keinginan yang paling tinggi tentulah PLN menjual segala macam aset dan wewenangnya yang ada di daerah kepada daerah setempat. Tapi kalau itu dianggap "ngawur" maka minimal PT PLN yang harus dipecah-pecah. Tiap provinsi punya PT PLN sendiri. Pemegang sahamnya bisa saja 100 persen tetap milik PLN, tapi wewenangnya sudah berada pada direksi setempat. Terlalu besar sebuah perusahaan seperti PLN: ya tanggungjawabnya, ya luas wilayah kontrolnya, ya perbedaan kondisi antar daerahnya, ya size keuangannya. Kini tidak perlu lagi khawatir akan otonomi -yang sering dipakai orang pusat untuk tidak rela melepaskan beberapa wewenangnya. Memang, pendewasaannya memerlukan proses dan waktu, tapi perkembangannya sungguh membanggakan. Pilkada di banyak daerah berlangsung sangat dewasa, damai, dan memuaskan masyarakat. Tidak pernah kita menyangka bahwa saat ini rakyat bisa memilih presidennya sendiri, gubernurnya sendiri, bupati dan walikotanya sendiri. Sesuatu yang dulu sering ditakutkan dengan alasan orang di daerah belum pintar, belum dewasa, dan seterusnya. Kini kita mulai bangga jadi orang Indonesia. Tinggal penataan kembali ekonominya. Perlu langkah-langkah mikro yang konkret seperti yang saya bicarakan itu. Tentu juga di bidang yang lain lagi. --- Outgoing mail is certified Virus Free. Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com). Version: 6.0.859 / Virus Database: 585 - Release Date: 2/14/2005 Bantu Aceh! Klik: http://www.pusatkrisisaceh.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/