Berita Utama Kamis, 30 Juni 2005 

Roeslan Abdulgani Telah Berpulang 
Oleh: Maria Hartiningsih


Setelah dirawat sejak Jumat, 17 Juni 2005, termasuk di ruang Intensive Care 
Unit Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, tokoh pejuang Dr 
Roeslan Abdulgani, Rabu (29/6) pukul 10.20, berpulang dalam usia menjelang 91 
tahun.

Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Diponegoro, Jakarta, dan akan 
dimakamkan Kamis pagi ini di TMP Kalibata. Upacara pelepasan jenazah dipimpin 
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sedangkan upacara pemakaman dipimpin Menko 
Polhukam Widodo AS.

Kemarin sampai jauh malam pelayat dari berbagai lapisan terus mengalir. 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Presiden Soeharto melayat ke rumah 
duka Rabu siang.

Bapak meninggal dengan tenang, tutur Hafilia, putri bungsu Cak Roes—demikian 
panggilan Roeslan Abdulgani yang bersama suaminya berada di samping ayahnya 
sampai detik terakhir. Bapak lelah, sudah saatnya pulang, sambung Wati 
Abdulgani-Knapp, putri kedua Cak Roes.

Pihak keluarga tampaknya tak ingin bicara lebih jauh soal medis terkait dengan 
kondisi kesehatan Cak Roes. Ketua Tim Dokter Kepresidenan dr Martijo Subandono 
kepada pers mengatakan Cak Roes meninggal karena stroke dan infeksi paru.

Ditemani Soeharto

Menjelang masuk ICU hari Minggu (19/6), sampai seluruh peralatan selesai 
dipasang selama lebih kurang satu jam, menurut Wati Abdulgani, mantan Presiden 
Soeharto ditemani ajudan dan putrinya, Mamiek, menunggui Cak Roes yang sudah 
tidak bisa berkomunikasi. Bapak terlihat sangat sedih setelah pulang dari 
menengok Pak Roeslan, begitu kata Mamiek seperti dikutip Wati.

Cak Roes dilahirkan di Surabaya tanggal 24 November 1914. Ayahnya seorang 
saudagar. Ibunya guru mengaji yang mengajarkan toleransi dan memandang ritual 
agama sebagai kesadaran pribadi.

Pendidikan tertingginya diselesaikan di Hunter College dan Barnard College, New 
York, Amerika Serikat, saat ia menjadi Kepala Perwakilan Tetap Indonesia di 
PBB. Pendidikan tertinggi lainnya adalah pengalamannya, khususnya di bidang 
politik dan kedisiplinannya belajar berbagai hal. Ia menguasai setidaknya empat 
bahasa asing dengan sangat baik.

Cak Roes menduduki berbagai jabatan di pemerintahan sejak Indonesia masih 
sangat muda. Sampai hari Kamis, 16 Juni 2005, ia masih ngantor di Kantor BP7 di 
kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Dia berperan dalam berbagai konferensi 
internasional dan menjadi Sekjen Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung.

Cak Roes menikah dengan Sihwati Nawangwulan. Kesetiaannya pada kehidupan 
perkawinan ditunjukkan dengan merawat dan mendampingi sang istri yang menderita 
alzheimer selama 13 tahun sampai meninggal dunia tiga tahun lalu. Cak Roes 
meninggalkan lima anak, 10 cucu, dan enam cicit.

Tak menyimpan kebencian

Sebagai pribadi, Cak Roes tak pernah menyimpan kebencian, bahkan kepada orang 
yang pernah memfitnahnya. Ia meyakini perjalanan hidup sebagai wilayah abu-abu 
yang sangat luas. Karena itu, ia setia kepada teman-temannya. ”Bung Karno 
orang besar, banyak sahabatnya, banyak musuhnya. Pak Harto juga,” katanya. 
Cak Roes tak pernah menyesali apa yang telah terjadi.

Kepergian Cak Roes adalah kehilangan besar. Dia adalah satu dari sedikit tokoh 
yang masih hidup, yang terlibat dalam proses pembentukan Negara Kesatuan 
Republik Indonesia.

Kalau mau tahu sejarah bagaimana dan untuk siapa negeri ini didirikan, Cak Roes 
adalah orang yang paling tepat menjelaskannya, ujar Siswono Yudo Husodo, yang 
menganggap Cak Roes sebagai gurunya.

Ketua Yayasan dan Pembina Universitas Pancasila itu melanjutkan, ”Dia 
memaknai falsafah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan nasionalisme secara luar 
biasa, dan konsisten dengan pendirian politiknya tentang Indonesia yang 
plural.”

Bisa dimengerti kalau dalam banyak perjumpaan Cak Roes tak bisa menutupi 
kerisauannya tentang perkembangan situasi di negeri ini. Bacalah sejarah, 
belajarlah dari sejarah, katanya mengingatkan.

Cak Roes tak pernah lelah belajar. Buku-buku di perpustakaan di lantai dua 
rumahnya penuh dengan coretan. Karena itu, ia dapat dengan tegas membedakan 
antara ideologi dan ilmu pengetahuan. Sampai saat terakhir ia masih terus 
membaca, menulis, dan membuat banyak catatan.

Ia tak pernah takut menghadapi kematian. Karena kematian hanya menyangkut raga, 
tidak pada roh, katanya. Namun, kepergiannya tetap saja sebuah kehilangan, 
meski ada sentuhan personal yang akan tetap hidup dalam ingatan.

Kedatangannya ke kantor saya secara tiba-tiba hanya untuk mengucapkan selamat 
Natal dan mengantarkan kado Natal berisi buku atau mug tak akan terjadi lagi. 
Juga nota-nota pendeknya dengan satu kalimat, Apa kabar Ananda?

Selamat jalan, Bapak. Beristirahatlah dalam kedamaian. *



[Non-text portions of this message have been removed]



Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke