http://www.sinarharapan.co.id/berita/0507/16/opi02.html


Garuda sebagai "Pembawa Bendera?"
Oleh Winarta Adisubrata

Pertanyaan di atas baru-baru ini sudah dijawab Direktur Jenderal (Dirjen) 
Perhubungan Udara. Menurut petinggi urusan transportasi udara itu Garuda 
sebagai BUMN tidak harus kita pertahankan sebagai perusahaan penerbangan 
pembawa bendera nasional. Bukankah ini suatu isyarat pemerintah bahwa Garuda 
harus dilepaskan sebagai milik negara, yang tetap saja merugi?

Mungkin yang paling mendasari pertimbangan di atas tidaklah cuma karena 
makin menyempitnya ruang gerak Garuda di dalam negeri, karena sekarang harus 
berebut penumpang dengan belasan perusahaan swasta yang sudah seliweran di 
seantero negeri. Di jaringan manca negara, Garuda dulu pernah dikenal 
sebagai perusahaan penerbangan terbesar di belahan bumi Selatan. Namun 
sampai titik nadirnya belum lama berselang Garuda sempat dinyatakan oleh 
auditor yang ditunjuk negara bahwa aset netonya negatif. Itu berarti, 
kalaupun seluruh aset Garuda dijual, pemerintah masih harus menutupi 
kekurangan untuk melunasi utangnya.

Makin ketatnya persaingan di jaringan domestik melalui kemunculan belasan 
perusahaan penerbangan swasta dan milik daerah sekarang telah makin 
menciutkan pangsa pasar Garuda (maupun Mespati) di dalam negeri. Di jaringan 
internasional pun Garuda sudah lama kehilangan posisinya khususnya dalam 
membantu industri pariwisata menyerap wisatawan manca negara, karena 
rute-rute Garuda ke Eropa sudah direbut pesaing. Juga rute yang pernah 
dirintis Garuda ke pantai Barat Amerika (Jakarta-Los Angeles lewat Honolulu) 
sudah lama menguap.

Pembawa Bendera
Yang paling menyedihkan adalah persaingan Garuda dan SQ (Singapore Airlines) 
di rute Jakarta-Singapura. Walaupun harga tiket Garuda di bawah SQ tetap 
saja frekuensi penerbangan Singapura- Jakarta lebih dikuasai SQ. Celakanya, 
para penumpang asal Jakarta yang terbang ke Singapura rupanya juga tidak 
setia kepada pembawa bendera nasionalnya itu.
Kini masa keemasan Garuda yang pada era Orde Baru selalu mendapat dukungan 
dana dan politik dari pemerintah untuk mengabsahkannya sebagai perusahaan 
penerbangan yang handal, walaupun sesungguhnya sudah ada gejala salah urus 
dan KKN, sudah berakhir.

Istilah pembawa bendera nasional bisa dibaca di buku "The Flier's Handbook" 
(Edited by Hedlen Varley, Panbooks London/Sydney 1981). Perusahaan 
penerbangan Aeroflot dinyatakan sebagai pembwa bendera Uni soviet (sekarang 
Federasi Rusia), CSA (Ceskloslevenske Aerolinie) disebut sebagai perusahaan 
penerbangan milik negara Cekoslowakia (sebelum pecah menjadi Ceko dan 
Slovakia 1991). Di halaman lain disebutkan Air Niugini (Papua Niugini), 
seperti halnya Biman (Bangladesh) sebagai perusahaan penerbangan nasional 
dan Alitalia disebut pembawa bendera Italia. Sedangkan Surinam Airways 
disebut sebagai penerbangan nasional.

Apapun istilah yang dipakai, pada umumnya perusahaan penerbangan 
pengibar/pembawa bendera nasional diartikan sebagai milik negara. Lepas dari 
apakah Garuda masih akan mampu mempertahankan eksistensinya sebagai BUMN, 
atau andai pun pada satu saat kelak ia mampu dikonversi sebagai sebuah 
perusahaan publik dengan saham yang boleh dibeli oleh siapapun, statusnya 
sebagai pengibar bendera nasional harus kita ikhlas lepaskan.

Semangat Patriotik
Kita harus berani menyatakan semua perusahaan angkutan darat, laut dan udara 
yang tadinya kita warisi dari pemerintahan penjajah terbukti hingga sekarang 
tidak bisa kita kelola dengan baik. Tak satupun yang tidak mengalami 
mismanajemen, KKN dan budaya klasik yang harus pula kita telan betapapun 
pahitnya. Secara seloroh mungkin semangat patriotik kita hingga sekarang 
masih mau mengganyang penjajah, sehingga apapun yang ditinggalkan penjajah 
harus kita lenyapkan. Kalau perlu dengan KKN.

Garuda dulunya milik pemerintah Hindia Belanda bernama KNILM (Koninklijke 
Nederlands Indische Luchtvaart Maatshcappij). Merpati Nusantara Airlines 
semula bernama Kroonduif, juga milik Belanda yang dulu hanya beroperasi di 
Irian Jaya (Papua), juga Pelni (dulu KPM) dan perusahaan KA.

Setelah 60 tahun merdeka terbukti bangsa Indonesia sulit untuk dikelola. 
Apalagi mengelola. Dengan kata lain, kita masih harus belajar mengelola diri 
sendiri sebelum menjadi manajer dan mengelola orang lain. Khususnya jika di 
dalam urusan manajemen yang kita maksud melibatkan milik negara.

Jika Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pasang kuda-kuda untuk 
melipatgandakan jumlah wisatawan manca negara yang sekarang baru sekitar 5 
juta/tahun menjadi 10 juta pada tahun 2010, untuk itu bukan cuma dana 
promosi yang harus dilipatgandakan. Juga bukan cuma menyediakan kapasitas 
tempat duduk di pesawat udara guna membawa masuk lebih banyak turis asing. 
Tapi yang paling utama adalah pembenahan mentalitas sok patriotik seperti 
tergambar dalam rusaknya manajemen di seluruh lini transportasi darat, laut 
dan udara.

Jangan pula dilupakan dua hal penting: Keamanan negeri kita yang bahkan 
tidak aman bagi warga negara sendiri. Mutu pelayanan wisata kita masih jauh 
di bawah rata-rata dibandingkan dengan tetangga kita di kawasan ASEAN.

Penulis adalah wartawan senior, pengamat pariwisata 



Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke