http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/11/opini/1965270.htm

  
Akhir Kutukan Minyak Bumi? 
Oleh Tata Mustasya



Menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia seharusnya bisa menjadi modal 
reformasi kebijakan. Paling tidak, itulah yang bisa dilakukan jika kita mengacu 
pada penelitian Ekonom Jeffrey D Sachs dan Andrew M Warner yang dituliskan 
dalam sebuah paper berjudul Natural Resource Abundance and Economic Growth.

Analisis Sachs dan Warner, dengan menggunakan data 97 negara antara 1971-1989, 
menunjukkan, perekonomian negara-negara dengan sumber daya alam melimpah justru 
cenderung tumbuh lebih lambat. Hal sebaliknya terjadi dengan negara-negara yang 
miskin sumber daya pertanian, mineral, dan bahan bakar.

Kutukan minyak bumi

Tidak berlebihan jika Sachs dan Warner kemudian menyebut keberlimpahan sumber 
daya alam sebagai kutukan bagi negara-negara yang memilikinya. Fakta lain, 
sumber daya alam tidak cuma mengganggu pertumbuhan ekonomi tetapi juga 
modernisasi politik.

Editor Newsweek Fareed Zakaria di dalam bukunya The Future of Freedom, 
Illiberal Democracy at Home and Abroad menjelaskan, betapa kekayaan alam suatu 
negara telah menghambat tumbuhnya lembaga ekonomi, politik, dan birokrasi 
modern. Sebabnya, negara tersebut tidak memerlukan sistem pemerintah yang 
efektif dan akuntabel untuk membiayai pengeluarannya. Cukup dengan memanfaatkan 
pemasukan dari minyak bumi. Itulah kira-kira yang telah terjadi dengan 
Indonesia selama puluhan tahun.

Minyak bumi di luar segala manfaat riilnya adalah kutukan besar bagi Indonesia. 
Devisa dari minyak bumi telah menutupi bobroknya kebijakan ekonomi-politik. 
Rezim Soeharto bahkan mendapat berkat tambahan oleh dua kali boom harga minyak 
internasional pada tahun 1973 dan tahun 1981.

Paling tidak ada dua salah urus negara yang seharusnya tak terjadi dalam jangka 
panjang jika Indonesia tidak dimanjakan oleh minyak bumi. Pertama, salah 
alokasi sumber daya dalam pembangunan ekonomi. Hal ini cukup menonjol, terutama 
sebelum terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Pengembangan industri 
berteknologi tinggi seperti industri pesawat terbang jelas merupakan pilihan 
kebijakan yang ganjil. Padahal, Indonesia memiliki kebutuhan riil yang lebih 
mendesak, misalnya pengembangan energi alternatif peng- ganti BBM dan industri 
mobil.

Kedua, korupsi dan kronisme dalam berbagai bentuk. Kronisme terutama pada rezim 
Soeharto telah mengarahkan industrialisasi ke arah substitusi impor dengan 
proteksi bagi pengusaha kroni. Kita tahu beberapa negara Asia Timur berhasil 
dalam industrialisasinya karena mendorong produk berorientasi ekspor. Bukan 
kebetulan jika negara-negara itu adalah negara yang miskin sumber daya alam. 
Lahirlah pengusaha-pengusaha besar yang sangat bergantung pada pemerintah. 
Nyaris mustahil pengusaha seperti itu mampu menjadi motor kemajuan ekonomi.

Berakhirnya kutukan?

Menipisnya cadangan minyak bumi dengan berbagai dampaknya berpotensi mengakhiri 
kutukan yang telah puluhan tahun menghantui Indonesia. Pemerintah saat ini, mau 
tidak mau, harus segera memperbaiki tata kelola pemerintahan dan APBN jika 
ingin bertahan kekuasaannya.

Dari sisi penerimaan, pemerintah harus memperbaiki sistem perpajakan sebagai 
sumber pendapatan utama. Faktanya, tidak akan ada peningkatan pajak yang 
memadai tanpa perbaikan iklim usaha. Selanjutnya, tidak ada perbaikan iklim 
usaha tanpa pemberantasan korupsi dan pungutan liar. Di sini kemiskinan sumber 
daya alam dapat menjadi berkat.

Dari sisi pengeluaran, pemerintah, sekali lagi, dipaksa memprioritaskan alokasi 
yang paling sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan publik. Keluhan publik seperti 
dalam kasus mahalnya pendidikan jika diabaikan akan berujung pada delegitimasi 
pemerintah.

Dibutuhkan dua syarat untuk benar-benar mengakhiri kutukan minyak bumi 
tersebut. Pertama, keberanian pemerintah dalam mereformasi kebijakan. Kedua, 
tidak adanya elite yang memanfaatkan kebijakan yang bersifat pil pahit untuk 
kepentingan merebut kekuasaan.

Tata Mustasya Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
<font face=arial size=-1><a 
href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12htqaihb/M=362131.6882500.7825259.1493532/D=groups/S=1705001222:TM/Y=YAHOO/EXP=1123718711/A=2889190/R=0/SIG=10r90krvo/*http://www.thebeehive.org
">Put more honey in your pocket. (money matters made easy) Welcome to the Sweet 
Life - brought to you by One Economy</a>.</font>
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke