Kompas. Jumat, 19 Agustus 2005
Laporan Dana Bencana Aceh yang Tak Juga Selesai 

Oleh: SUHARTONO
Sejak diminta merevisi laporan keuangan dana program tanggap darurat 
pascabencana di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, Februari lalu, hingga Kamis 
(18/8) Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi belum 
juga merampungkan laporan itu dan menyerahkan ke Badan Pemeriksa Keuangan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah para birokrat negeri ini memang tidak 
terbiasa mempertanggungjawabkan penggunaan dana bencana?
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab selaku Ketua Harian Badan 
Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) tidak 
memberi penjelasan soal alasan keterlambatan laporan keuangan dana bantuan Aceh 
dan Nias itu. Dalam keterangan seusai rapat di kantornya, medio Juli lalu, Alwi 
cuma menyatakan masih ada delapan instansi yang belum menyerahkan laporan.
Kedelapan instansi itu adalah Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, 
Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen 
Perhubungan, Kementerian BUMN, Markas Besar TNI, dan Polri.
Menurut Alwi, dari hasil pendataan, tercatat ada 1.220 pos pengumpul bantuan. 
Namun, yang mengirim laporan keuangan baru 547 pos, atau 44,83 persen. Pos 
pengumpul itu di antaranya satuan koordinator pelaksana PBP, instansi 
pemerintah pusat, BUMN, dan BUMD.
Agar tidak molor lagi, Alwi membuat deadline baru penyerahan laporan, yaitu 27 
Juli. Agar tenggat baru itu dipatuhi, para penanggung jawab pos pengumpul 
diminta menandatangani pernyataan akan menyelesaikan laporan. Toh sampai 
tulisan ini diturunkan, laporan belum juga selesai.
Ini membuat ?jengkel? Anwar Nasution. ? Bagaimana bisa masyarakat internasional 
percaya dan mengucurkan janji membantu rakyat Aceh dan Nias kalau laporan 
keuangan itu belum juga selesai?? katanya.
Anwar pun menyatakan, BPK akan melakukan audit investigasi, bukan lagi audit 
biasa. Artinya, BPK akan menginvestigasi ke mana larinya saldo bantuan yang 
berkurang terus meski tanggap darurat sudah selesai.
Mempertanggungjawabkan dana bantuan bencana rupanya memang belum jadi kebiasaan 
birokrat negeri ini. Meski negeri ini sering ditimpa bencana alam, penanganan 
dana bantuan bencana tak pernah jelas.
Ini yang tampaknya membuat tidak jelasnya laporan keuangan dana bantuan Aceh 
dan Nias. Para auditor BPK paham karena inilah pertama kalinya para pengelola 
dana bantuan program tanggap darurat bencana nasional dimintai 
pertanggungjawaban oleh BPK.
Sejak dulu, mulai dari bencana Liwa di Lampung, bencana alam di Bengkulu, 
sampai bencana lainnya, BPK tidak pernah meminta pertanggungjawabannya seperti 
sekarang. Bahkan, bencana gempa bumi di Alor, Nusa Tenggara Timur, dan Nabire, 
Papua, yang baru saja terjadi pun hingga kini tak terdengar pertanggungjawaban 
dananya.
Ini diakui auditor BPK, Hanjari, yang baru pertama mengaudit dana bantuan 
penanganan bencana meski dia sudah menjadi auditor BPK puluhan tahun.
Jadi, bisa dibayangkan berapa banyak pejabat yang justru bisa menjadi kaya raya 
di atas penderitaan mereka yang terkena bencana alam, dengan menilep dana 
bantuan kemanusiaan.
Mengapa kali ini BPK meminta pertanggungjawaban? Ini bermula dari surat Ketua 
BPK Anwar Nasution kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa hari 
setelah bencana gempa dan tsunami. Anwar berharap pemerintah 
mempertanggungjawabkan setiap rupiah yang dikeluarkan untuk bencana di Aceh dan 
Nias. Permintaan ini dipenuhi Presiden. Dan kini jadilah pengelola dana bantuan 
yang kebingungan.
Dulu bencana alam selalu menjadi dalih untuk membuat pertanggungjawaban apa 
adanya. Akibatnya, ada laporan yang sengaja tidak dibuat atau dilaporkan. 
Kalaupun dilaporkan, penyusunannya sekenanya.
Hebatnya, yang dibuat sekenanya bukan cuma laporan pertanggungjawaban keuangan 
di Aceh dan Nias. Pengelolaan keuangannya yang dilakukan oleh pos pengumpul di 
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya pun ikut-ikutan dibuat secara 
darurat dan seadanya.
Saldo terus berkurang
Dari data BPK per 25 Februari lalu, tercatat jumlah total pos pengumpul 
sebanyak 2.130 dengan nilai pengumpulan dana Rp 1,21 triliun. Dari jumlah itu, 
1.181 pos pengumpul berasal dari lingkungan instansi pemerintah senilai 704,03 
miliar dan 949 lainnya adalah pos pengumpul swasta atau nonpemerintah dengan 
nilai Rp 506,19 miliar.
Pengeluaran yang dilakukan 2.130 pos pengumpul itu mencapai Rp 406,38 miliar, 
Rp 321,99 miliar di antaranya dikeluarkan pos pengumpul pemerintah. Sedangkan 
yang dikeluarkan swasta cuma Rp 84,38 miliar. Artinya, dana yang tersisa 
mestinya Rp 803,84 miliar, terdiri dari Rp 382,04 miliar milik pos pemerintah 
dan Rp 421,80 miliar kepunyaan pos swasta.
Yang harus diperiksa BPK sebenarnya cuma pos pengumpul milik pemerintah karena 
di situlah adanya penggunaan uang negara. Namun, ternyata BPK menemukan bukti 
adanya penyetoran dana APBD ke sejumlah pos pengumpul swasta. Ini jadi masalah.
Menurut Hanjari, yang juga koordinator audit laporan keuangan bantuan Aceh dan 
Nias, jawabannya tergantung sikap pemerintah. ?BPK sebenarnya tidak memeriksa 
pos pengumpul swasta. Namun, karena sebagian dana APBD juga nyangkut di sana, 
itu jelas bagian dari pengelolaan keuangan negara yang harus diperiksa BPK,? 
ujar Hanjari yang mengaku masih menunggu keputusan Ketua BPK soal itu.
Sejauh ini, kata Hanjari, dari 1.181 pos pengumpul pemerintah, BPK baru 
memeriksa acak 71 pos pengumpul. Namun, nilai dana yang diperiksa mencapai Rp 
183 miliar atau 48,08 persen.
Celakanya, meski sejak 25 Februari kegiatan tanggap darurat di Aceh dan Nias 
telah selesai, jumlah dana pos bantuan itu berkurang terus hingga ratusan 
miliar rupiah. Ketika BPK memeriksa saldo pos pemerintah, pada 30 April jumlah 
yang tersisa bukan Rp 382,04 miliar, tetapi tinggal Rp 147 miliar atau 
berkurang Rp 245 miliar.
?Dan, lebih celaka lagi, sekarang dananya tinggal Rp 139 miliar, berkurang lagi 
Rp 10 miliar. Sampai kapan saldo itu dipakai terus? Apa akan dipakai terus 
sampai habis?? kata Hanjari.
Tampaknya para birokrat pengelola dana itu masih terus melakukan ?kegiatan? 
tanggap darurat sendiri atas dana kemanusiaan itu.
Pemerintah sumbang swasta
Hebatnya, ketika auditor memeriksa penggunaan dana bantuan Aceh dan Nias selama 
ini, ternyata jenis-jenis pemakaiannya sering mengejutkan. Hanjari mengakui, 
banyak laporan yang sulit dipertanggungjawabkan sesuai prinsip-prinsip 
pengelolaan keuangan yang baik dan benar.
Contoh laporan yang sengaja dibuat darurat adalah penggunaan dana bantuan untuk 
tiga kali carter pesawat terbang dari pejabat di salah satu pos pengumpul. 
Pesawat itu ditulis dicarter dari Bandung, Jakarta, dan Aceh. ?Dananya dipakai 
Rp 370 juta, tetapi kuitansinya cuma satu. Itu pun tidak jelas siapa yang 
mencarter, apa jenis pesawatnya dan siapa yang membayar. Siapa yang mau percaya 
dengan kuitansi seperti itu?? kata Hanjari.
Contoh lain, salah satu pemerintah daerah yang memakai dana APBD untuk 
menyumbang bencana Aceh dan Nias melalui stasiun televisi swasta. Dana yang 
disumbangkan ke stasiun televisi swasta itu Rp 2,5 miliar. Ada lagi pemerintah 
daerah yang menyumbang dengan dana APBD, tetapi diserahkan ke beberapa surat 
kabar daerah.
?Yang yang disumbangkan itu uang negara. Anehnya, mengapa uang negara itu tidak 
langsung diberikan ke Aceh dan Nias, tetapi malah dititipkan lagi ke beberapa 
stasiun televisi swasta atau koran,? ujar Hanjari.
Ada juga pemerintah daerah yang membiayai perjalanan dua dokter ke Aceh, dengan 
biaya Rp 250 juta, tanpa sepotong kuitansi pendukung pun. Bahkan, terungkap 
pula salah satu pos pengumpul yang diperiksa BPK masih kekurangan dana Rp 80 
miliar dari saldo yang tertulis.
Belum lagi penggunaan bahan bakar minyak dari Pertamina yang digunakan relawan. 
Sampai kini penggunaan BBM itu menjadi utang, tanpa jelas siapa yang harus 
membayar. Begitu juga pembangunan jembatan atau jalan yang sebenarnya bantuan 
negara asing, tetapi diklaim sebagai dana sebuah instansi.
Pendek kata, jika BPK kelak selesai melakukan audit investigasi, mestinya yang 
ditemukan bukan cuma pelanggaran pengelolaan keuangan negara, tetapi juga 
penyimpangan uang negara. Ini bukan sekadar soal sikap laknat pengelola dana 
yang memperkaya diri atas nama bencana alam. Lebih jauh, ini bisa membuat 
donatur berbagai negara membatalkan komitmen membantu rakyat Aceh dan Nias.




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/GEEolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to