http://www.suarapembaruan.com/News/2005/08/26/index.html
 
SUARA PEMBARUAN DAILY 
 
Indikator Ekonomi Memburuk
  

JAKARTA - Sejumlah indikator ekonomi nasional memburuk, Jumat (26/8). Nilai 
tukar rupiah terhadap dolar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa 
Efek Jakarta (BEJ) terus merosot. Kenyataan itu diperparah oleh harga minyak 
mentah internasional yang meningkat. 

Pada perdagangan Jumat pagi, nilai tukar rupiah kembali melemah. Hingga pukul 
11.00 WIB kurs berada di posisi Rp 10.435 per dolar AS. Sementara itu, IHSG 
dibuka turun 7,580 poin dibanding hari sebelumnya, ke posisi 1.054,267. 

Pelemahan rupiah tersebut, menurut sejumlah kalangan, merupakan konsekuensi 
logis dari kebijakan ekonomi pemerintah yang tetap mempertahankan rezim devisa 
bebas dan kurs mengambang. 

''Tidak ada negara yang sudah diterpa krisis ekonomi bisa sembuh dengan tetap 
menganut rezim devisa bebas dan kurs mengambang. Coba lihat Malaysia yang 
begitu pulih dari krisis langsung mengubah kebijakannya ke devisa terkontrol 
dan nilai tukar tetap,'' kata ekonom dan pengamat pasar modal Dandossi Matram 
kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat pagi. 

Dikatakan, rupiah semakin terpuruk karena faktor eksternal, yakni kenaikan suku 
bunga The Fed di AS, dan berbagai faktor internal seperti APBN yang tidak mampu 
menanggung subsidi BBM, sehingga pelaku pasar dan investor menilai investasi di 
Indonesia berisiko. 

''Apa pun yang dilakukan pemerintah saat ini tidak akan mampu menolong nilai 
tukar rupiah. Kalaupun bisa itu hanya menahan sesaat. Beruntung, masyarakat 
masih percaya pada Presiden Yudhoyono, sehingga tidak terjadi gejolak yang bisa 
membawa Indonesia kembali ke krisis moneter kedua,'' katanya. 


Tinjau Kembali 

Vice President Global Market Economist Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan 
mengatakan, Bank Indonesia (BI) seharusnya meninjau kembali kebijakan Peraturan 
Bank Indonesia (PBI) No 7/14 2005 yang mengatur tentang pembatasan aliran modal 
jangka pendek ke Indonesia. Meskipun, semangatnya benar, yakni dibutuhkan 
investor jangka panjang yang stabil, tetapi dalam keadaan investor jangka 
panjang belum masuk, perlu investor jangka pendek. 



''Ini harus masuk dulu sebab ada ketimpangan antara permintaan dan pasokan 
dolar, permintaan dolarnya besar, pasokan dolarnya kecil. Untuk meningkatkan 
pasokan dolar tidak apa-apa investor jangka pendek masuk dulu. Apalagi dalam 
kondisi seperti ini pasar sudah mulai menciut, karena orang yang memegang dolar 
akan menahan dan baru melepas jika permintaan sangat tinggi,'' kata Fauzi. 

Dia juga mengimbau BI dan pemerintah segera menaikkan suku bunga Sertifikat 
Bank Indonesia (SBI), menaikkan harga minyak, dan memprivatisasi BUMN. 


Repatriasi Devisa 

Menanggapi merosotnya nilai tukar rupiah, pengamat pasar uang, Theo F Toemion, 
mengatakan, pemerintah dan BI perlu mempertimbangkan untuk mengambil kebijakan 
yang drastis. Dia menilai, selama ini pemerintah dan BI terlampau mengikuti 
arus liberalisasi, pasar bebas, dan rezim devisa bebas. 

''Indonesia selalu mencoba mengambil kebijakan yang market friendly (pro 
pasar). Padahal pasar ini jahat dan kita tidak akan mampu bila harus menghadapi 
krisis tahap kedua,'' katanya. 

Untuk itu, dia meminta pemerintah dan BI untuk tidak ragu-ragu lagi mengubah 
haluan kebijakan secara drastis, untuk lebih berpihak kepada rakyat. Di 
antaranya tidak ragu-ragu memberlakukan repatriasi devisa ekspor untuk menjamin 
agar semua pendapatan ekspor, disimpan di perbankan di dalam negeri. 

Senada dengan Theo, Direktur Treasury Bank Mandiri, JB Kendarto berpendapat, 
satu-satunya cara yang bisa dilakukan BI adalah memaksa masuk devisa ekspor. 
''Pemerintah dan BI harus berani melakukannya. Buktinya Korea juga menerapkan 
kebijakan itu,'' tandasnya. 

Selain itu, lanjut Kendarto, langkah lain yang harus diambil untuk meredam 
gejolak rupiah adalah menyeimbangkan antara sisi permintaan dan suplai dolar. 

Harga Minyak 

Sementara itu harga minyak dunia kembali meningkat. Pada perdagangan di pasar 
New York, Kamis, harga minyak mentah ditutup di posisi US$ 67,49 per barel, 
naik 17 sen dari perdagangan sehari sebelumnya. Sebelumnya bahkan sempat 
menyentuh level US$ 68 per barel. Posisi itu adalah yang tertinggi sejak 1983. 

Kenaikan tersebut masih dipicu kekhawatiran pedagang mengenai suplai minyak 
dunia, menyusul ancaman badai tropis Katrina, yang dikhawatirkan mempengaruhi 
produksi di kilang-kilang milik AS di sepanjang Teluk Meksiko. Di samping itu, 
pasar juga masih mencermati cadangan minyak di AS yang terus menurun. 

Posisi harga minyak itu semakin menjauhi asumsi pemerintah di APBN Perubahan 
2005 yang ditetapkan di posisi US$ 45 per barel, bahkan lebih tinggi dari 
perkiraan realisasi harga minyak tahun 2005 yang diprediksi di level US$ 50 per 
barel. (AP/A-17/B-15)




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/GEEolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke