Pertamina, Mesin Pemiskinan Rakyat Oleh: TAMRIN AMAL TOMAGOLA
Para teknokrat dan teknisi sistem ekonomi, sejak Orde Baru hingga kini, pasti akan menganggukkan kepala bahwa memang "tidak ada pilihan lain" selain menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM sekarang juga (Prof M Sadli, Kompas, 28 September 2005). Anggukan mengiyakan jenis ini sebenarnya mempunyai dua sisi kontradiktif yang tak terelakkan dalam dirinya. Di satu pihak ia menerangi sisi ekonominya sekaligus ia-sengaja atau tidak- menggelapkan sisi-sisi lain yang justru lebih banyak. Pemberian tekanan tunggal pada pertimbangan kinerja mesin ekonomi Indonesia sebagai subsistem ekonomi dunia, di mana harga BBM mencapai 70-an dollar AS per barrel, berpotensi mengabaikan (overlooking) bahkan berisiko menyesatkan pemahaman publik tentang faktor-faktor utama lain pada tataran institusional, tataran sosial, dan tataran empati moral-kepemimpinan yang berperan dalam gejolak ketersediaan dan harga BBM September 2005 ini. Subsidi BBM Keterjalinan antara faktor-faktor pada sistem ekonomi dan faktor-faktor pada tiga tataran lain yang baru disebut berturut-turut itu, secara tersirat diakui oleh pengaitan antara kebijakan menaikkan harga BBM dengan program kompensasi pengurangan subsidi BBM. Marilah kita cermati satu demi satu. Pertama, tataran institusional. Peran Pertamina dalam gejolak BBM yang berpotensi merembet ke kilang-kilang politik dan sosial, amat dominan. Peran Pertamina paling kurang dipengaruhi tiga hal utama: tekanan politik rezim, kapabilitas teknologi perminyakan, dan tancapan jaringan benalu korupsi internal Pertamina. Di masa rezim Soeharto, dapat dikatakan, Pertamina dijadikan sapi perah Orde Baru. Apalagi saat terjadi dua kali perang Arab-Israel. Sesudah reformasi, rezim partai politik mendapat giliran menjarah Pertamina. Bila kemudian terjadi gejolak harga minyak di pasar dunia, pemerintah bolak-balik menaikkan, istilahnya saat itu "menyesuaikan", harga BBM dalam negeri. Seiring dengan itu, rakyat lapisan bawah kian dimiskinkan dengan menggilanya lonjakan harga kebutuhan pokok. Ketika surplus, Pertamina kian susut karena terus diisap oleh rezim politik tertentu. Secara internal, Pertamina kian dilemahkan oleh tiadanya kapabilitas teknologi penyulingan minyak dan cengkeraman benalu korupsi yang telah membudaya, mendarah daging dalam diri hampir semua pejabat Pertamina pada semua rentang jenjang kendali operasional. Karena faktor tiadanya kapabilitas teknologi, Indonesia kini telah berubah dari negara neto-eksportir menjadi negeri neto-importir minyak. Ihwal korupsi, kasus Tahir yang ramai di pengadilan dan penemuan berbagai pencurian serta penyelundupan BBM oleh orang dalam Pertamina yang terkuak akhir-akhir ini, menjadi bukti tak terbantahkan. Surplus dana Pertamina yang kian susut itu diatasi dengan jalan yang paling mudah: naikkan harga minyak. Seiring dengan itu, pemiskinan rakyat semakin menjadi-jadi. Beruntunnya kasus busung lapar, anak-anak bunuh diri karena orangtua tidak mampu membiayai pendidikan adalah beberapa puncak gunung es dari bukit kemiskinan yang kian meninggi. Mesin ekonomi Pertamina jelas menjadi generator utama dari mesin proses pemiskinan rakyat. Program sinterklas Hal kedua, pada tataran sosial. Bukit tinggi kemiskinan rakyat yang sudah kronis ini ingin diatasi secara sinterklas dengan membagi-bagi uang kontan tiap bulan Rp 100.000 kepada 15 jutaan keluarga miskin yang sempat didata Badan Pusat Statistik (BPS). Jalan pintas absurd ini sempat membuat orang mengurut dada dan menggeleng-gelengkan kepala antara percaya dan tidak percaya sambil bergumam, "Oo sudah demikian panik dan suntuk kah pemerintah?" Program sinterklas hampir bisa dipastikan akan gagal karena tiga alasan. Pertama, program ini sama sekali tidak didasarkan atas kajian tentang struktur anatomi kemiskinan yang solid. Akar persoalannya, berbagai mesin pemiskinan rakyat sama sekali tidak disentuh. Yang ditangani hanya produk dari proses pemiskinan, yaitu kemiskinan itu sendiri. Rakyat diberi ikan, bukan kail. Karena itu, program ini lebih berstatus obat analgesik yang hanya memberi kesembuhan semu. Kedua, terkait erat dengan yang pertama, rakyat menjadi amat tergantung-karena itu terendahkan martabatnya sebagai manusia-secara parasitik pada belas kasihan paternalistik pemerintah. Tidak terjadi pemberdayaan rakyat. Yang terjadi justru pelemahan secara sistematik dari potensi dan kepercayaan diri rakyat untuk tegak mandiri. Ketiga, dalam lingkup rumah tangga miskin, karena dana kompensasi diberikan kepada kepala keluarga yang sebagian besar laki-laki, terbuka kemungkinan dana itu lebih digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti rokok, judi, dan kegiatan berfoya-foya lainnya. Rumah tangga miskin sebagai unit tidak tertolong sama sekali. Dalam jangka panjang, para istri/perempuan sama sekali tidak diberdayakan, seperti diinginkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Yang terjadi justru pelangsungan ketergantungan istri kepada suami sebagai kepala keluarga. Dana itu seharusnya diberikan kepada istri, seperti dilakukan Bank Dunia di Amerika Latin. Keempat, yang lebih tragis, jalan pintas ini akan diterima dengan senyum dikulum sebagai down-payment politik Pemilu 2009, baik dari Presiden maupun Wakilnya seperti disiratkan karikatur Kompas (28/9/2005). Hal ketiga, pada tataran empati moral politik kepemimpinan. Dalam rangka menyiapkan publik menyambut kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2005, pemerintah menganjurkan agar rakyat bersedia berkorban dengan mengencangkan ikat pinggang. Tidak tahukah pemerintah, saking miskinnya rakyat, kerangka badannya tinggal kulit pembalut tulang, karena itu mereka tidak punya pinggang lagi? Sudah begitu tercerabutkah para pemimpin sehingga tidak tahu keadaan rakyat sesungguhnya? Lebih menyakitkan, para pemimpin terus menghamburkan uang negara ke luar negeri, membawa rombongan besar pejabat. Jalan-jalan macet penuh mobil kelas menengah dan atas serta mal-mal sesak dengan pengunjung dari kelas yang sama. Presiden Franklin Delano Roosevelt dari AS ketika mencanangkan program ikat pinggang di tahun-tahun resesi ekonomi tigapuluhan, ia sertai dengan contoh kehidupan pribadi yang sederhana dan melayani dalam arti sepenuh-penuhnya dari dua kata itu, "sederhana" dan "melayani". Di zaman revolusi dan susah, pribadi-pribadi seperti Dr Y Leimena, IJ Kasimo, Moh Natsir, dan Moh Hatta memberi teladan agung tentang ikat pinggang, hidup sederhana, dan melayani rakyat. Sekarang? Dengan kenaikan harga BBM, rakyat berujar, "Bukan kenaikan harga yang menyayat hati kami, tetapi kemunafikan kemewahan telanjang yang kami kutuk". Tamrin Amal Tomagola Sosiolog [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/GEEolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/