Dalam menentukan besarnya pajak penghasilan, mesti diperhatikan hal-hal lain. Tidak langsung "tembak" sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak Nizami. Dalam penentuan besaran pajak penghasilan dipengaruhi pula oleh status wajib pajak, missal Tidak Kawin "TK", Kawin "K/0", Kawin dengan 1 tanggungan "K/1", Kawin dengan 2 tanggungan "K/2" atau kawin tanggungan maksimum 3 K/3". Akan dikurangkan pula missal biaya jabatan, iuran astek dan seterusnya.
Oleh kerananya bila seseorang bergaji Rp 1.5 juta/bulan, belum tentu dalam satu tahun pajak yang mesti dibayar akan sebesar Rp 900,000 - bisa lebih kecil dari angka tersebut. Pajak juga mengenal yang namanya tariff progressive. Artinya semakin besar penghasilan maka tariff pajak akan semakin tinggi. Oleh karenanya RUU yang baru kita mengenal tax tariff 5%, untuk penghasilan s.d. Rp 25 juta, 10% diatas Rp 10 juta - Rp 50 juta, 15% untuk pengh. Di atas Rp 50 juta - Rp 100 juta dan seterusnya. Besaran PTP sebagaimana diusulkan dalam RUU yang baru adalah sebagai berikut : Sekarang Usul perubahan Wajib pajak "WP" 2,880,000 12,000,000 WP Kawin 1,440,000 1,200,000 Istri Bekerja 2,880,000 12,000,000 Tanggungan 1,440,000 1,200,000 Maks tanggungan K/3 K/3 Maksimum 8,640,000 16,800,000 Obyek Pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) berbeda sehingga pembahasan dua hal tersebut harus dipisah. Berbeda pula dengan pajak daerah seperti pajak reklame, pajak pembangunan yang diterapkan atas usaha rumah makan, penginapan dsb. Berbeda pula dengan retribusi galian. Jadi sekali lagi tidak bisa dicampur-adukkan. Memang angka besaran PTKP bagi kita yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar lain di Indonesia terasan tidak cukup sehingga wajib pajak merasa diperlakukan tidak adil. Dengan gaji Rp 5 juta saja terasa pengap - mengapa mesti harus membayar pajak ? pertanyaan cukup manusiawi saya kira. Namun demikian angka Rp 1.2 juta terasa cukup bila kita hidup di daerah. Jadi memang sangat relative. Saya membayangkan Nomor Pokok Wajib Pajak "NPWP" - tidak sekedar sebagai alat pelaporan dan pembayaran pajak semata - namun saya berharap dapat difungsikan sebagai sarana memperoleh bantuan pemerintah. Bila WP berpenghasilan tertentu dan masuk dalam kategori "berhak mendapatkan" santunan - maka semua bisa dibaca dari Surat Pemberitahuan Tahunan - sebagai konsekuensi pemilikan NPWP baik yang diperoleh secara sukarela mendaftarkan diri pada KPP setempat maupun pemberian NPWP secara jabatan. Saya sependapat dengan Pak Nizami - pemerintah dan warga negara (baca "WP) mesti konsisten. Bila berhak mendapatkan santunan maka yang bersangkutan mesti menerima, namun bila berkewajiban membayar pajak maka sudah seyogjanya membayar dan melaporkan pajak secara benar. Menjawab pertanyaan salah satu rekan, berdasarkan pengalaman, mendapatkan NPWP tidak sulit. Tinggal datang ke KPP dimana kita berdomisili, mengisi form yang telah disediakan dan ada persyaratan lain yang mesti dipenuhi dan persyaratan ini relative mudah seperti copy of KK, copy of KTP dan untuk usaha mesti ada keterangan domisili yang dikeluarkan oleh lurah/kepala desa di mana usaha kita (kita) berdomisili. Regards Arsono [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/GEEolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/