http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/06/utama/2416098.htm
ANALISIS EKONOMI Sektor Riil Terabaikan Faisal Basri Kita telah berulang kali menyuarakan keprihatinan tentang keterpurukan sektor riil. Namun, pemerintah sepertinya terus saja membiarkan sektor pertambangan dan penggalian kian menciut karena terus-menerus mengalami pertumbuhan negatif bertahun-tahun. Kejadian ini seolah dianggap biasa-biasa saja, sepertinya tak ada yang salah. Para petinggi di bidang ini, yang seharusnya sangat bertanggung jawab, seolah masih tenang-tenang saja. Sudah tak terbilang besarnya potensi kerugian negara baik yang langsung maupun tak langsung sehingga lama-kelamaan kian membebani perekonomian. Memang sektor pertambangan dan penggalian tak menyerap banyak tenaga kerja dan kegiatan produksinya bersifat enclave. Namun, jika dilihat dari sumbangannya terhadap produk domestik bruto, peranannya yang sekitar 10 persen masih lebih besar ketimbang sektor keuangan, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor listrik, gas, dan air bersih. Posisi sektor pertambangan dan penggalian masih berada di urutan keempat setelah sektor industri manufaktur, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pertanian. Salah satu dampak dari penurunan produksi sektor pertambangan ialah berkurangnya bagian pemerintah dalam bagi hasil produksi minyak sehingga porsi minyak mentah yang harus diimpor untuk menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) bertambah banyak. Stagnasi produksi hasil tambang menyebabkan peningkatan kebutuhan konsumsi di dalam negeri tak bisa dilayani. Betapa ironisnya kita menyaksikan tersendatnya pasokan gas ke pabrik-pabrik pupuk, keramik, dan manufaktur lainnya. PLN terpaksa terus mengoperasikan pembangkit listriknya dengan BBM yang harganya terus naik sehingga mendorong kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Pasokan pupuk yang berkurang membuat harganya merangkak naik sehingga menyebabkan gangguan pada produksi di sektor pertanian. Lalu harga beras naik dan penyelesaiannya adalah dengan mengimpor beras. Dampak lainnya ialah ke inflasi sebagaimana terlihat pada inflasi bulan lalu yang tergolong masih tinggi, yakni 1,36 persen, dan ternyata 70 persennya disumbang kenaikan harga bahan makanan. Bagaimana mungkin dalam keadaan yang serba terjepit seperti ini sektor pertanian bisa diberdayakan dan sekaligus memberikan sumbangan bagi penyerapan tenaga kerja dan pengurangan jumlah penduduk miskin. Sementara itu, pemerintah tak memiliki keleluasaan untuk mengalokasikan dana APBN untuk sekadar merehabilitasi saluran irigasi yang 70 persen dalam keadaan rusak. Pantas saja jika sektor pertanian hanya tumbuh sekitar 1,6 persen tahun lalu. Bertolak dari kenyataan ini, kita bisa menyimpulkan, salah satu pusat permasalahan yang belum kunjung ditangani secara serius adalah sektor pertambangan dan penggalian. Alih-alih melakukan pembenahan menyeluruh, pemerintah malah terkesan lepas tangan atas karut-marutnya pengusahaan migas dan kelistrikan. Pertamina dan PLN justru didorong melakukan pendekatan bisnis murni (business to business) dengan pelanggan industri. Padahal Pertamina maupun PLN menikmati posisi monopoli sehingga memiliki posisi tawar yang sangat kuat terhadap pelanggannya. Pemerintah bukannya membenahi iklim investasi dan berusaha di bidang pertambangan, tetapi justru menambah beban baru demi tujuan jangka pendek yang sangat pragmatis. Cara pintas seperti pengenaan pajak ekspor untuk batu bara niscaya akan menambah kelabunya prospek usaha pertambangan. Melebar Karut-marut iklim investasi dan usaha telah melebar dan merasuk ke hampir semua sektor. Yang paling merasakan dan menanggung beban berat ialah sektor riil. Minggu lalu Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat di hadapan gubernurnya mengeluhkan belitan birokrasi yang sudah sangat mencekik pengusaha. Dibutuhkan lebih dari 70 jenis izin ataupun rekomendasi, mulai dari tingkat desa hingga pemerintah pusat, untuk membangun pabrik tekstil di Jawa Barat. Agaknya, dewasa ini terlalu mewah bagi pemerintah untuk memberikan paket insentif bagi dunia usaha. Jangankan insentif baru, paket insentif yang diumumkan Oktober tahun lalu-bersamaan dengan pengumuman kenaikan harga BBM-saja masih ada yang belum direalisasikan. Pengusaha rasanya juga tak memimpikan akan memperoleh subsidi khusus dari pemerintah. Yang mereka tuntut ialah diterobosnya berbagai macam rintangan usaha serta perlakuan patut dan adil dari pemerintah. Di antaranya, penghapusan tarif listrik khusus yang sangat tinggi pada waktu beban puncak, yang diterapkan secara sepihak oleh PLN. Penghapusan ini sepatutnya tidak dipandang sebagai pemberian insentif, melainkan pengembalian hak konsumen. Apabila kita telusuri medan permasalahannya dengan lebih saksama, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa persoalan yang dihadapi dunia usaha sudah sangat akut dan telah mengancam kelangsungan pertumbuhan sektor riil. Keadaan ini tak sepantasnya diperkeruh dengan menuduh mereka tidak nasionalis karena menutup atau memindahkan fasilitas produksinya ke luar negeri. Para pengusaha mungkin sudah hampir kehilangan akal dan telah menggunakan "jurus pamungkas" untuk bisa tetap bertahan. Mereka mendambakan setetes air dalam wujud iklim usaha dan investasi yang lebih kondusif serta pelayanan yang lebih baik dari pemerintah. Tampaknya Bank Indonesia (BI) menangkap gelagat tersebut. Upaya yang telah dilakukan BI tergolong progresif, terutama untuk meningkatkan fungsi intermediasi perbankan ke sektor riil. Langkah BI yang tertuang di dalam Paket Perbankan Januari 2006 bukannya tanpa risiko. Pelonggaran ketentuan dalam penyaluran kredit berpotensi menurunkan tingkat kesehatan industri perbankan apabila tidak diiringi perbaikan iklim investasi, atau paling tidak penyaluran kredit tak bertambah secara signifikan. Yang patut pula dipuji ialah upaya maksimal yang telah dilakukan BI untuk mendorong dunia perbankan menyalurkan kredit usaha kecil, kredit pemilikan rumah, dan kredit pegawai/pensiunan. BI juga telah maju selangkah dalam meningkatkan akses usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) sektor kelautan dan perikanan kepada perbankan lewat pengembangan konsultan keuangan dan pendampingan. Sekali lagi, inisiatif yang patut dihargai ini bisa kandas seandainya pemerintah-yang seharusnya lebih gencar berbuat bagi pemberdayaan sektor riil-tak mengimbanginya dengan perangkat-perangkat kebijakan fiskal, industrial, dan perdagangan. Quo vadis pemerintah. [Non-text portions of this message have been removed] Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/