REKENING KAS NEGARA, JATAH ASING JUGA
      Dradjad  Wibowo
      Wakil Ketua F-PAN  DPR RI, Ekonom INDEF
          Saya semakin mujur karena Depkeu dan BI tidak mau membatasi 
kepemilikan  asing di perbankan. Kalau saya mau mengeruk dana dari pasar modal, 
gampang saja  karena oknum pasar modal mudah disogok. Bursa Efek Jakarta juga 
gampang saya  goreng. Mau pecat karyawan? Sama gampangnya. Karena oknum 
Depnakertrans lebih  mudah disogok.
          Sekarang, Depkeu hendak memindahkan dana likuiditas pemerintah dari 
BI ke  bank umum. Ini jelas makanan empuk buat saya. Karena apa? PERTAMA, 
peraturan  perundang-undangan memungkinkan saya untuk ikut merebut dana 
tersebut dari BI.
          Undang-Undang No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 22 ayat 4 
 menyebutkan, "Dalam pelaksanaan operasional penerimaan dan pengeluaran  
negara, Bendahara Umum Negara dapat membuka rekening penerimaan dan rekening  
pengeluaran pada bank umum." Lalu Pasal 22 ayat 8 berbunyi, "Rekening  
pengeluaran pada bank umum diisi dengar dana yang bersumber dari Rekening Kas  
Umum Negara pada bank sentral."
          Jadi, undang-undang tersebut menjadi 'Kuda Troya' saya untuk 
menguasai dana  yang bersembunyi di BI. Di sini saya harus mengakui kejeniusan 
pimpinan Depkeu.
          Saat menyiapkan RUU pada tahun 2003, mereka sudah mengetahui kalau  
bank-bank eks BPPN dikuasai asing. Toh dalam UU No.1/2004 mereka tetap menyebut 
 ’bank Umum’ bukan ’bank BUMN’. Artinya, mereka jauh-jauh hari sudah 
membolehkan  saya berebut dana rekening pengeluaran tersebut.
          Bagaimana kalau saya dilarang? Jelas akan saya adukan ke Komisi 
Pengawas  Persaingan Usaha. Juga akan saya tuntut ke pengadilan karena larangan 
tersebut  membatasi persaingan.
          KEDUA, selama ini saya direpotkan oleh peraturan-peraturan BI yang  
memperketat giro wajib minimum dan mempersulit likuiditas untuk berspekulasi di 
 pasar uang. Jika nanti Depkeu memindahkan Rp 10 triliun – Rp 60 triliun dari 
BI  ke bank umum, saya akan memiliki tambahan likuiditas untuk bermain di 
pasar.  Karena induk saya ada di Singapura, Kuala Lumpur, Hong Kong, London dan 
pusat  keuangan lainnya, saya leluasa bermain-main dengan rupiah, pasar modal, 
dan  aset keuangan lainnya.
          Dengan tambahan likuiditas, bodoh sekali kalau saya tidak mencoba 
menyerang  rupiah. Bisa Anda bayangkan cantiknya kalau saya memakai uang dari 
BI untuk  memperoleh keuntungan dari menyerang rupiah. Jika suku bunga SBI 
naik, saya  masih mendapat keuntungan tambahan melalui berbagai trik arbitrase.
          KETIGA, saya sangat yakin bisa mengalahkan bank BUMN dalam merebut 
dana di  atas. Bank BUMN sekarang dihantui tingkat non-performing loan (NPL) 
yang sangat  tinggi. Jadi sulit bagi mereka memberikan suku bunga yang 
kompetitif kepada  Depkeu.
          Apalagi, dengan adanya penyidikan terhadap mantan Kepala BPPN, bank 
BUMN  semakin takut mengambil inisiatif restruk-turisasi aset untuk menurunkan 
NPL.  Mereka memang sudah memiliki nota kesepahaman dengan Direktorat Jenderal  
Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) untuk menyelesaikan kredit macetnya. Tapi  
kalau mereka melelang di bawah nilai buku, mereka bisa dikenai tuduhan  
merugikan negara. Saya tahu mereka tidak memiliki payung hukum yang melindungi  
mereka.
          Bank BUMN juga mengalami kesulitan menyalurkan kredit korporasi. 
Banyak  debitor besar yang merasa tidak nyaman lagi berurusan dengan bank BUMN. 
Apalagi  BPK sering tidak bisa membedakan antara keputusan bisnis perbankan dan 
 penyelewengan.
          Kalau bank BUMN bersaing memberikan diskon bunga, oleh BPK hal 
tersebut  bisa dilaporkan sebagai penyelewengan. Padahal, itu merupakan bagian 
dari  persaingan bisnis perbankan.
          Karena itu, kalaupun bank BUMN mendapat jatah dana Rekening 
Pengeluaran, ujung-ujungnya  mereka akan lari ke SBI. Dengan situasi seperti 
itu, saya bisa dengan mudah  mengalahkan mereka. Baik dalam persaingan merebut 
dana Rekening Pengeluaran,  maupun dalam bisnis perbankan secara umum.
      KEEMPAT, dana dari Rekening Pengeluaran tersebut memungkinkan saya  
memperluas jaringan nasabah dan memasuki berbagai bisnis di Indonesia. Ini  
karena, dana tersebut dipakai berbagai proyek pemerintah. Belum lagi, negara  
saya bisa menekan Depkeu agar untuk proyek yang dibiayai dari pinjaman dan  
hibah negara saya, Rekening Pengeluarannya menggunakan bank saya.
          Sungguh sebuah potensi yang luar biasa menggiurkan. Sebagai catatan, 
saya  tidak tertarik memperoleh Rekening Penerimaan karena saldonya harus 
disetor ke  BI setiap akhir hari kerja.
          Jadi, dibolak-balik bagaimana-pun, saya adalah orang yang paling  
diuntungkan jika Depkeu jadi memindah dananya. Meski, dalam hati saya tidak  
habis pikir, kenapa pimpinan Depkeu sedemikian naif? Atau jangan-jangan mereka  
memang bermaksud membantu sava?
          Jangan-jangan Depkeu tidak berani merundingkan hal ini karena 
memiliki  kewajiban yang belum diselesaikan dengan BI, dalam bentuk Surat Utang 
 Pemerintah (SUP) No 001-004 yang nilainya per Agusrus 2005 Rp220,4 triliun,  
dengan bunga 3% atas pokok yang diindeks dengan inflasi.
          Kedua, bukankah Depkeu ingin agar inflasi bisa dikendalikan? Jika 
dana  Rekening Pengeluaran tadi dipindah ke bank umum, jumlah uang yang beredar 
akan  naik. Tekanan inflatoir bertambah, sehingga suku bunga SBI terdorong 
naik.  Hasil akhirnya, beban bunga obligasi yang ditanggung APBN juga naik.
          Dalam kondisi seperti ini, pertanyaannya berapa bunga yang harus 
dibayar  oleh bank umum atas rekening pengeluaran di atas? Jika bunganya di 
bawah SBI,  mengapa Depkeu tidak memintanya dari BI saja? Jika sama dengan atau 
lebih  tinggi dari suku bunga SBI, bank umum akan memperoleh margin bunga dari 
mana?  Kalau dari kredit korporasi, berarti bank umum milik asing yang paling  
berpotensi.
          Akibatnya, kenaikan suku bunga SBI 1 % saja sudah bisa menghapus 
potensi  penerimaan APBN dari pemindahan dana Rp40 triliun-Rp50 triliun.
          Sedangkan masyarakat akan terbebani inflasi yang semakin tinggi. 
Risiko  spekulatif atas rupiah juga semakin tinggi, dan biaya operasi moneter 
semakin  mahal. BI juga harus memperketat lagi GWM untuk mengendalikan 
likuiditas di  perbankan.
          Tapi untuk apa saya repot memikirkannya? Yang penting saya untung. 
Karena  itu saya harus menjamin agar Departemen keuangan dan tim ekonomi 
pemerintah  tetap dikuasai oleh orang-orang yang pro kepada bankir, kreditor 
dan atau  investor asing seperti saya. Saya benar-benar suka Indonesia.
          Media Indonesia 20/02/06 Page 1
    
                
---------------------------------
 
 What are the most popular cars? Find out at Yahoo! Autos 

[Non-text portions of this message have been removed]



Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke