Saya setuju ide UU APP. 
Ini forward sangat bagus dan bermutu. Forward yang lain juga begitu.
Tapi maaf seribu maaf. Ini milis Ekonomi Nasional

Ekonomi Nasional    Ekonomi Nasional    Ekonomi Nasional
Ekonomi Nasional    Ekonomi Nasional    Ekonomi Nasional
Ekonomi Nasional    Ekonomi Nasional    Ekonomi Nasional

Maksud saya bergabung adalah untuk mengembangkan wawasan ekonomi saya, 
sekaligus menyumbangkan pikiran untuk pengembangan ekonomi nasional jika punya.

Maaf seribu maaf
Jika kurang berkenan

H <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Assalamu'alaikum,

Pengantar: Ustadz Syamsi adalah seorang imam masjid di New York. Beliau
adalah WNI kelahiran Bulukamba, Sulawesi Selatan. Beliau ini juga yang
membaca tilawah Quran di New York Times Square pada 2000 setelah runtuhnya
WTC di tengah segala kemarahan dan kebencian terhadap orang yang
mengatasnamakan Islam.

H



    Pornographi dan Budaya Malu
    Oleh Syamsi Ali

    Sesungguhnya, sejak awal penciptaan manusia perasaan risih dan malu jika
aurat ternampakkan. Artinya, permasalahan aurat ini bukan permasalahan baru,
tapi permasalahan yang memang sudah menjadi perhatian manusia sejak awal
kejadiannya, dan ini pula yang menjadi tabiat aslinya. Ini dikuatkan oleh
sejarah di Kitab Injil yang menyebutkan:

    "Perempuan itu melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap
kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian.
Lalu ia menhgambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada
suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya. Maka
terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu bahwa mereka telanjang, lalu
mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat..dst.dst�" (Kejadian 3-7).

    Sengaja saya meminjam sejarah yang ada di Injil ini untuk menunjukkan
kepada semua, termasuk umat Kristiani, bahwa di saat manusia terekspos
"auratnya" pasti mereka merasa malu dan berusaha mencari penutup, seperti
Adam dan Hawa terpaksa membuat (dalam Injil Inggris disebutkan menjahit)
cawat dari daun pohon ara tersebut. Manusia yang belum dilihat oleh
siapa-siapa itu, kecuali oleh makhluk gaib dan Penciptanya, merasa malu di
saat auratnyat terbuka.

    Cerita Injil ini menunjukkan betapa bahwa di saat aurat seseorang
terekspos akan melahirkan perasaan malu dan bersalah (embarrassment and
guilt). Dan perasaan malu dan bersalah ini sendiri menggambarkan "tabiat"
manusia yang orisinal, karena prilaku Adam dan Hawa di awal penciptaan
menggambarkan keaslian tabiat manusia. Maklumlah, Adam dan Hawa belum
terkontaminasi oleh berbagai penyelewengan sosial, termasuk propaganda kaum
feminist seperti saat ini.

    Berpakaian sopan itu alami

    Sebenarnya, menutup aurat dengan pakaian yang sopan (sesuai syara')
adalah tuntutan alami manusia. Dengan mengikuti tuntutan alami tatacara
berpakaian ini, sebenanarnya seseorang akan lebih merasa tenang dan percaya
diri. Inilah yang digambarkan di dalam Al Qur'an dengan istilah "dan agar
mereka menjaga kesucian dan dikenal". Artinya, dengan pakaian yang
ditetapkan oleh agama, kesucian fitrah akan terjaga, dan juga melahirkan
percaya diri karena memang dikenal dengan pakaiannya sebagai orang-orang
yang baik.

    Sebagai ilustrasi terhadap fakta di atas, saya ceritakan pengalaman
ketika pertama kali balik liburan ke Indonesia setelah tiga tahun di
Islamabad. Setiba di Makasar (Ujung Pandang), saya cukup terasa "shock"
dengan perubahan kultur anak-anak remaja Muslim. Mungkin karena memang
jarang berada di luar kampus sebelum ke Pakistan, atau juga karena memang
selama di Pakistan hanya melihat kaum wanita dengan pakaian yang cukup
modest. Salah satu hal yang mengejutkan adalah cara anak-anak remaja wanita
Muslim yang sangat minim. Hampir saja aku menilai bahwa barangkali keadaan
ekonomi semakin memburuk, sehingga mereka kekurangan uang untuk membeli kain
yang cukup.

    Suatu ketika di sore hari saya ada kesempatan jalan-jalan ke kota dengan
menaiki pete-pete (angkot). Setelah duduk beberapa saat, pete-pete itu
kembali berhenti untuk menjemput penumpang lainnya. Tiba-tiba naiklah
seorang anak remaja, sepertinya anak SMA (SMU), dengan pakaian yang sangat
minim. Hampir-hampir saja roknya itu tidak mampu menutupi bagian-bagian
sensitif dari tubuhnya. Bersamaan dengan naiknya remaja tadi juga seorang
pemuda dan duduk persis di hadapannya. Rupanya pemuda ini tidak mau mubazir.
Ditatapnya habis-habisan paha mungil anak remaja tersebut, sehingga anak
tersebut dengan sendirinya merasa tidak tenang mendapat sorotan mata yang
buas itu. Hampir dalam perjalanan yang memakan waktu lebih sejam itu, remaja
itu tidak bisa duduk dengan tenang. Bolak balik ke samping kiri dan kanan,
berusaha menutupi ke-(tidak)malu-annya itu.

    Dari kejadian ini nampak, betapa berpakaian yang menutupi aurat itu
adalah pakaian yang sesuaiu dengan tuntutan alami. Maka penolakan terhadap
keterbukaan ke-(tidak)malu-an itu adalah penolakan alami. Sebaliknya
mendukung pengiklanan aurat, baik untuk kepentingan ekonomi atau sekedar
untuk dianggap ekspresi kebebasan adalah penentangan yang nyata terhadap
tabiat manusia.

    Pergeseran tabiat

    Akan tetapi seiring dengan perjalanan zaman, tabiat (nature) manusia itu
sendiri semakin bergeser dari posisinya yang asli. Akibatnya, penyingkapan
"aurat" bukan saja menjadi biasa, melainkan dianggap sebagai bagian dari
kemajuan peradaban manusia yang yakini sebagai manusia modern. Konsekwensi
selanjuntya, perasaan malu itu semakin minim, dan bahkan menjaga "malu" (al
hayaa) dianggap sebagai bagain dari keterbelakangan.

    Di dunia barat misalnya (walau kata barat ini relative, karena boleh
jadi Jakarta lebih kebarat-baratan), mempertontonkan Ke (tidak)-malu-an ini
justeru dianggap bagian dari hiburan (entertainment). Di mana mata menatap
di situ juga akan nampak hal-hal yang seharusnya memalukan itu. Dari dalam
rumah, sekolah, pasar, pinggir jalan, hingga ke pertokohan-pertokohan,
semuanya menampakkannya secara bebas. Mata-mata yang menatap pun tidak lagi
merasakannya sebagai sesuatu yang seharusnya membuat malu.

    Oleh karena menampakkan ke-(tidak)malu-an ini sudah dianggap sebagai
hiburan, maka  menentangnya dapat dianggap menentang kodrat hidup itu
sendiri, atau minimal dianggap menempuh cara hidup abad pertengahan yang
terbelakang dan kurang beradab. Persepsi ini menampakkan keterbalikan tabiat
manusia dari yang sesungguhnya seperti tabiat Adam dan Hawa menjadi tabiat
"hewani" yang tidak merasa malu menampakkan kemaluan ke mana-mana. Bahkan
lebih jahat, sebaliknya dengan menampakkan kemaluan, baik secara utuh maupun
sebagian dianggap sebagai ekspresi kebebasan (freedom of expression).

    Tapi betulkah itu adalah sebuah hiburan? Betulkah itu adalah ekspresi
kebebasan? Lebih tragis lagi, kaum wanita khususnya, dipertontonkan auratnya
secara tanpa malu-malu dibumbui dengan konsepsi emasipasi? Tapi benarkah itu
adalah emansipasi atau pembebasan kaum hawa?

    Sebagaimana disebutkan di awal, merasa malu dengan tertampakkannya
ke-(tidak)malu-an itu adalah tabiat dasar manusia yang memang sejak awal
penciptaan manusiapun sudah ada. Maka ketika terjadi sebaliknya, berarti
manusia sudah dengan terang-terangan telah melakukan penodaan dan penolakan
kepada tabiat dasarnya sendiri. Dan jika manusia telah melakukan penodaan
dan penolakan kepada tabiat dasarnya ini, maka di kemudian hari akan
terlahirlah darinya prilaku-prilaku yang lebih buruk dari prilaku hewani.
Prilaku homoseksual dan lesbianis barangkali adalah wujud langsung dari
kenyataan ini.

    Seekor kucing atau anjing tidak akan melakukan kontak seksual di hadapan
anjing atau kucing yang lain. Biasanya mereka melakukan kontak lawan jenis
ini di saat ada kesempatan yang sepi. Apalagi, belum kita dengar ada anjing
yang mengawini sesame jenisnya. Sebelaiknya manusia sekarang ini justeru
mengekspresikan kontak seksualnya, dalam berbagai ragam, di hadapan publik,
dan bahkan tidak jarang memang diiklankan. Bahkan ada kecenderungan untuk
melegalkan perkawinan sejenis di berbagai belahan dunia saat ini. Sebuah
pemndangan kontras yang dahsyat antara prilaku dan tabiat dasar manusia.

    Wanita dan budaya malu

    Sebenarnya, malu itu adalah fondasi hidup. Jika dikaji lebih dalam,
ternyata asal kata hidup (hayah) dan malu (haya') berasal dari dasar kata
yang sama. Malu yang dalam bahasa Arab dikenal dengan "istihyaa" (seperti
innallah laa yastahyii) juga terpakai dengan bentuk yang sama untuk
menggambarkan pemberian hidup (istahya), seperti dalam kisah Fir'aun dan
Bani Israel (istahya nisaahum).

    Dengan demikian, hidup manusia yang sesungguhnya adalah hidup manusia
yang masih berpegang teguh pada pada nilai-nilai budaya malu. Semakin minim
budaya malu menandakan semakin minimnya kehidupan hakiki seseorang. Dengan
hilangnya malu (shamefulness) dalam kehidupan manusia, secara tidak langsung
juga menggambarkan bahwa manusia seseungguhnya sudah kehilangan kehidupannya
yang alami (tabi'i).

    Di dalam Al qur'an, ada kisah yang agung tentang bagaimana seorang
wanita menjaga budaya malunya ini. Yang secara langsung disebutkan dengan
pengistilahan menjaga "kemaluan"nya adalah Maryam (allati ahshonat farjaha).
Seorang wanita yang dilahirkan untuk hanya mengabdi di rumah ibadah, dan
kemudian menjadi seorang ibu dari seorang rasul yang agung. Mengandung
dengan cobaan dan menghadapi cobaan yang luar biasa, melahirkan sendirian,
menghadapi kaumnya, dan seterusnya. Tapi beliaulah seorang wanita yang
secara khusus disebutkan sebagai wanita yang menjaga kemaluannya.

    Kisah anak-anak nabi Syu'aib juga adalah contoh kongkrit bagaimana
seharusnya kaum wanita membawa diri. Bahwa profesionalisme dan berbagai
stastus sosial tidak seharusnya menjadikan wanita kehilangan jati diri
dengan hilangnya "budaya malu". Bahkan sebaliknya dengan budaya malu itu,
mereka mengusulkan kepada ayahnya untuk melakukan sesuatu yang baik demi
menjaga benteng budaya malu itu.

    Ceritanya adalah ketika Musa membela salah seorang Bani Israel yang
berkelahi dengan seorang Mesir. Tiba-tiba pukulan nabi Musa itu menjadikan
orang Mesir mati. Maka Fir'aun yang sudah lama mencari alasan untuk
membinasakan Musa, kini menemukan alasan itu. Tentunya dia akan menjatuhkan
hukuman yang berat, kemungkinan akan dihukum mati. Maka tatkala Musa
diberitahu, beliaupun meninggalkan tanah Mesir menuju sebuah kota lain yang
disebut "Madyan". Di kota inilah hidup seorang nabi lain yang bernama nabi
Sya'aib A.S.

    Ketika Musa A.S. memasuki kota tersebut, didapatinya sekelompok orang
yang akan memberikan minum kepada gembalaan mereka. Di antara orang-orang
tersebut ada dua wanita nampak malu berdiri di bagian paling belakang. Musa
mendekati mereka dan bertanya apa gerangan yang terjadi dengan mereka.
Mereka memberitau Musa bahwa mereka wanita dan tidak mungkin mereka dapat
memberikan minuman kepada gembalaannya sebelum semua kaum lelaki itu
selesai. Sementara ayah mereka adalah seorang yang sangat tua.

    Singkat cerita, Musa membantu mereka dan bahkan mendahului lelaki yang
lain. Memang Musa memiliki kemampuan fisik yang lebih. Segera wanita itu
kembali kepada ayahnya dan menceritakan semua kejadian yang dialaminya.
Lebih dari itu, salah satu dari dua gadis itu mengusulkan agar ayahnya
mempekerjakan Musa karena sebaik-sebaik yang dipekerjakan adalah yang kuat
dan terpercaya. Sang ayah lalu menyuruh anak gadis tersebut mendatangi Musa
dan meminta agar dia berkenan datang kepadanya.

    Poin yang ingin saya sebutkan di sini adalah pernyataan Al Qur'an: "Maka
salah satu diantara mereka mendatangi Musa dengan berjalan penuh malu".
Sebuah ungkapan yang menggambarkan kepribdian wanita yang berani tapi tidak
kehilangan "modesty" (budaya malu). Anak Syu'aib ini adalah seorang yang
professional, yang pada zamannya hanya dilakukan oleh kebanyakan kaum pria.
Yaitu mengembalai ternak yang secara sosial saat itu hanya dapat dilakukan
oleh kaum pria yang pemberani dan tekun. Tapi kenyataannya dua di antara
anak-anak nabi Syu'aib melakukan tugas ayah mereka. Ternyata,
profesionalisme tidak menjadikanya kehilangan jati diri sebagai wanita yang
memiliki budaya malu itu.

    Sekarang ini, terkadang atas nama profesionalitas, seorang wanita bangga
menggadaikan budaya malunya. Demi persepsi manusia lain yang menganggapnya
wanita professional dengan cirri-ciri, salah satunya, dengan berpakaian yang
minim, diapun menggadaikan budaya malu ini. Maka akibatnya, ilusi mereka
sendiri menjadi perangkap terjatuhnya mereka kembali ke dalam kungkungan
"perbudakan" yang berhiaskan modernisme. Wanita modern saat ini, disadari
atau tidak, telah terjatuh ke dalam sebuah perbudakan. Mereka telah
dijadikan korban-korban kosumerisme dan hedonisme kehiduoan manusia.
Barangkali contoh terdekat adalah iklan-iklan yang ada, dari iklan gula-gula
hingga iklan barang-barang mewah, wanita-wanita cantiklah menjadi alat
penggoda dan penggairah.

    Perintah hijab

    Oleh karena tabiat dasar manusia memang malu jika "auratnya" terekspos,
Islam memberikan aturan untuk menjaga kemurnian tabiat manusia ini. Selain
memerintahkan manusia untuk menjaga pandangan (ghaddul Bashar), juga
diperintahkan agar menjaga agar pandangan tidak terpancing untuk menjadi
liar. Maka turunlah perintah untuk berjilbab bagi kaum wanita, dan perintah
kepada kaum pria untuk berpakaian sopan. Masing-masing keduanya memiliki
aturan sesuai kodrat alami masing-masing.

    Saat ini, jilbab adalah satu hal yang seringkali dipertanyakan oleh
banyak kalangan, baik di kalangan kaum Muslim sendiri, lebih-lebih lagi oleh
kalangan non Muslim. Pertanyaan non Muslim tentunya logis, karena memang
tidak mengimani ajaran agama ini. Sehingga jika mereka bertanya tentu dengan
senang akan direspon. Tapi yang aneh, di saat umat ini sendiri yang kemudian
mempertanyakan "urgensi" ajaran menutup aurat ini.

    Jilbab sesungguhnya bukan sebuah hal baru dalam ajaran agama. Sejarah
agama mengajarkan bahwa sejak zaman dulupun, wanita-wanita selalu
menampakkan kesalehannya dengan simbol kerudung ini. Wanita-wanita Bani
Israel memakai krudung dengan rok panjang. Hingga hari ini, wanita-wanita
Yahudi di compound Yahudi di Brooklyn New York masih berpakaian seperti itu.

    Dalam ajaran Kristiani, khususnya umat Katolik, kita lihat dengan mata
kepala wanita-wanita terhormat mereka memakai kerudung. Para biarawati
(nuns) memakai kerudung, seorang wanita suci pertama dalam sejarah Katolik
(Saint) yang bernama Mother Theresa juga memakai kerudung. Bahkan yang lebih
penting adalah wanita tersuci, dan bahkan kesuciannya melebihi kesucian
manusia biasa juga memakai kerudung. Wanita ini bernama Maryam (Mary). Di
mana-mana kita lihat (what so called) gambar Mary dengan kerudung yang rapi.

    Tapi sejujurnya, pernahkan orang-orang Yahudi mempertanyakan ini kepada
para ulama (Rabbis)   mereka? Atau pernahkan mempertanyakan kalau-kalau
wanita itu berpenyakit "inferiority complex" karena memakai kerudung?
Pernahkah pula orang-orang Kristen mempertanyakan hal yang sama ke para
Pastor atau pendeta mereka? Pernahkan mereka membanyangkan bahwa Mother
Theresa, apalagi Mary itu berpenyakit "inferiority complex" karena memakai
kerudung?

    Jika tidak, lalu kenapa selalu mempertanyakan wanita-wanita Muslimah
yang berkerudung? Bagi saya pribadi, ini menunjukkan bahwa Islam itu memang
selalu menjadi daya tarik untuk dipertanyakan oleh banyak orang. Tapi jangan
heran, jika pada akhirnya mereka yang selalu mempertanyakan atau bertanya
tentang Islam itu, masuk ke dalam agama ini.

    Yang disayangkan memang, jika pemakaian kerudung ini dipermasalahkan
oleh orang-orang Islam sendiri. Mempertanyakan masalah ini hanya menandakan
dua hal. Mungkin memang tidak tahu atau boleh jadi memang ada masalah dengan
keimanan itu sendiri. Maka, jangan heran jika mereka yang mempertanyakan
jilbab ini adalah mereka yang kemudian tidak pernah serius mengambil
agamanya, kecuali untuk dijadikan alat argumentasi sebatas lisan. Banyak
yang pintar bicara atau menulis, tapi kemudian di saat dituntut menjalankan
agama ini, mereka mencari berbagai justifikasi untuk menghindarinya.

    Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, justeru kaum
wanita dinilai tidak pantas untuk tampil ke public jika berjilbab. Seorang
wanita di Turkey terpilih menjadi anggota parlemen dengan suara mutlak,
gagal menduduki kursinya karena tidak diterima ketika akan diambil
sumpahnya.

    Di negara tercinta, Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, masih
ada orang yang merasa tidak sesuai dengan penampilan wanita berkerudung.
Saya terkejut melihat berita seorang presenter TV Metro yang tidak lagi
diperkenankan untuk tampil di depan kamera karena memilih untuk memakai
kerudung. Sangat menyedihkan, tapi barangkali memang begitulah logikah otak
dan hati pengambil kebijakan TV tersebut.

    Sebaliknya, di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas non Muslims,
justeru wanita diberikan kebebasan untuk memakai kerudung jika memang dirasa
pantas dan merupakan kewajiban agamanya. Polwan NYPD (Kepolisian New York)
yang beragama Muslim, semuanya memakai kerudung. Jika anda jalan-jalan ke
City Hall atau Kantor Walikota, anda akan melihat dengan jelas beberapa
wanita yang lalu lalang.

    Murid saya bernama Sonia, sejak masuk Islam setahun lalu berazam untuk
memakai kerudung ke kantornya. Pada awalnya memang bossnya mengingatkan,
jangan-jangan tugasnya sebagai Public Relations Menager di salah satu
perusahaan telekomunikasi itu akan terganggu. Kenyataannya, hingga saat ini
justeru semakin percaya diri dalam menjalankan tugas-tugas, dan telah
mendapatkan promosi dengan kedudukan yang lebih tinggi.

    Lalu, kira-kira logikanya di mana, jika ada orang-orang Indonesia yang
nota benenya Muslim, risih dengan jilbab tapi justeru mendukung cara
berpakaian yang "you can see?" Apakah tidak seharusnya orang-orang seperti
ini kembali mempertanyakan jati dirinya sebagai orang Indonesia yang
memiliki budaya malu yang tinggi dan beragama (dari Hindu, Budha, Islam dan
Kristen berakar dalam sejarah bangsa ini)? Atau barangkali memang "tabiat
dasar" kemanusiannya sudah terbalik?

    Ah masa' iya! Relahkah mereka jika isterinya dipotret dengan hanya
memakai "cawat" persis seperti yang dipakai Hawa (dalam bahasa Injil) lalu
dipajang di pinggir-pinggir jalan Jakarta? Saya yakin, fitrah mereka masih
ada dan sudah pasti akan menolak. Sayang fitrah itu kini terjangkiti
berbagai kotoran sehingga mengalami gangguan (sakit). Akibatnya, dalam
melihat realita di hadapan matanya terjadi pembolak balikan. Yang baik
menjadi buruk, dan yang buruk justeru dipandang baik. Wa'iyaazu billah!

    New York, 6 Maret 2006



--
"Karena hidup sudah pasti mati, hidup harus berarti"


[Non-text portions of this message have been removed]



Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links



 




                
---------------------------------
Yahoo! Mail
Bring photos to life! New PhotoMail  makes sharing a breeze. 

[Non-text portions of this message have been removed]



Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke