Tulisan saya di Bisnis Indonesia, semoga ada manfaatnya http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A57&cdate=23-MAR-2006&inw_id=427557 Opini Kamis, 23/03/2006 Menyoal kenaikan HJE rokok Pemerintah menaikan harga jual eceran (HJE) semua jenis hasil tembakau sebesar 10% yang berlaku mulai 1 April 2006. Kebijakan ini ditempuh untuk mengoptimalkan penerimaan cukai terutama cukai hasil tembakau. Menurut perhitungan pemerintah, kebijakan ini akan meningkatkan penerimaan negara dari cukai sebesar Rp1 triliun. Dengan demikian, penerimaan cukai diperkirakan akan naik dari target yang ditetapkan dalam APBN 2006 sebesar Rp36,52 triliun menjadi Rp37,52 triliun. Kebijakan kenaikan HJE hasil tembakau terakhir kali dilakukan pemerintah pada 1 Juli 2005 sebesar 15%. Kebijakan kenaikan HJE saat itu meningkatkan penerimaan cukai 2005 menjadi Rp 31,44 triliun. Selain untuk meningkatkan penerimaan negara, kenaikan HJE juga untuk menghambat munculnya perokok baru terutama di kalangan remaja, sejalan dengan tujuan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC merupakan konvensi internasional yang terkait dengan pengendalian masalah tembakau. Pengendalian tersebut dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang antara lain meliputi pembatasan iklan/sponsor/promosi rokok; pelabelan dan kenaikan harga dan tarif cukai rokok. Akan tetapi, kenaikan cukai pada produk rokok selalu berdampak pada penurunan penjualan. Ditjen Bea dan Cukai Depkeu memperkirakan kenaikan HJE 10% yang diberlakukan per 1 April 2006 akan menurunkan produksi rokok menjadi sekitar 219 miliar batang pada tahun ini. Padahal, tanpa kenaikan HJE 10%, tingkat produksi rokok sepanjang 2006 diperkirakan mencapai sekitar 224 miliar batang atau turun lima miliar batang dari proyeksi awal (Bisnis, 17 Maret 2006). Menurut perhitungan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), setiap produksi satu miliar batang rokok, dibutuhkan sekitar 2.500 tenaga kerja. Dengan demikian dampak kenaikan HJE sebesar 10% per 1 April mendatang akan menghilangkan potensi penyerapan tenaga kerja sekitar 12.500 tenaga kerja. Berdasarkan data GAPPRI, dari 2000 hingga 2003 produksi rokok mengalami penurunan. Jika pada 2000 produksi rokok mencapai 232,5 miliar batang, maka pada 2001 turun menjadi 227,1 miliar batang. Pada 2002, produksi rokok terus turun dibanding tahun sebelumnya menjadi 215,0 miliar batang. Dan produksi rokok pada 2003 mencapai titik terendah sejak krisis ekonomi, yaitu hanya 194,0 miliar batang. Tetapi pada 2004, produksi kembali melonjak menjadi 214 miliar batang, untuk selanjutnya turun kembali menjadi sekitar 213,15 miliar batang pada 2005 sebagai akibat kenaikan HJE 15%. Produsen kecil Sesungguhnya, produsen rokok yang paling menangung beban akibat kenaikan cukai ini adalah produsen golongan III (produksi di bawah dua miliar batang per tahun). Sebab, persaingan di sektor ini sangat ketat. Selain harus bermain di segmentasi kelas menengah ke bawah, juga berkompetisi dengan rokok ilegal atau tanpa cukai yang bebas berkeliaran beroperasi. Sementara untuk produsen rokok golongan I (di atas enam miliar batang) yang pemainnya hanya beberapa perusahaan besar, seperti Djarum, Gudang Garam dan Sampoerna, persaingannya tidak seketat di level bawah. Selain itu, karena disokong imej dan promosi yang kuat, kenaikan cukai tidak sampai membuat volume penjualannya anjlok. Begitu juga dengan produsen Golongan II (2-6 miliar batang), kenaikan cukai dampaknya tidak seberat yang ditanggung produsen rokok kelas gurem (golongan III). Untuk produsen olongan III (segmentasi bawah), kenaikan cukai membuat kondisi serba sulit sulit. Saat ini mereka menjual produk rokoknya Rp2.000/bungkus. Maka dengan adanya HJE baru akan memaksa mereka menaikan harga rokok hasil produksinya. Padahal rokok ilegal dijual dalam kisaran Rp1.000-Rp1.500 per bungkusnya. Untuk itu, tanpa ada upaya penertiban atas peredaran rokok ilegal, akan menyulitkan kehidupan pabrik rokok kelas gurem. Lebih elastis Bisa dikatakan, kurva permintaan rokok segmen bawah (golongan III) lebih elastis dibanding kurva permintaan rokok kelas menengah (golongan II) dan kelas atas (gGolongan I). Sehingga, rokok kelas bawah tersebut sangat sensitif terhadap perubahan harga. Sedikit kenaikan harga saja, akan direspons dengan penurunan permintaan. Dan konsumen akan beralih pada rokok ilegal, sebagai barang subsitusinya. Akan tetapi, kondisi tersebut relatif tidak terjadi pada rokok kelas menengah-atas. Karena untuk rokok kelas menengah-atas, konsumen memiliki loyalitas. Bagi konsumen, merokok jenis merek tertentu merupakan kebutuhan yang susah dicari subsitusinya. Karena itu, idealnya untuk melindungi produsen rokok menengah-bawah, pemerintah tidak perlu menaikkan HJE. Karena, hal ini bisa memukul industri rokok tersebut. Kalau pun terpaksa mau menaikan HJE untuk produsen rokok kelas gurem tersebut, seharusnya prosentase kenaikannya lebih kecil dibanding produsen rokok kelas menengah-atas. Kenaikan HJE yang terlalu tinggi bagi produsen rokok skala kecil dikhawatirkan dapat menggiring mereka untuk memproduksi rokok ilegal (tanpa cukai). Padahal, saat ini pemerintah tengah gencar-gencarnya menertibkan pabrik rokok ilegal. Oleh Ukay Karyadi Mahasiswa Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) FEUI
--------------------------------- New Yahoo! Messenger with Voice. Call regular phones from your PC and save big. [Non-text portions of this message have been removed] Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/