Kado  Kegagalan Widjojonomics?
 Revrisond Baswir
 Kepala Pusat  Studi Ekonomi Kerakyatan UGM 
 

 Krisis ekonomi yang dialami  Indonesia pada 1997-1998 ternyata tidak lebih 
dari sebuah isapan jempol  belaka. Demikianlah kesan pertama yang muncul dalam 
benak saya ketika  membaca dua buah buku, “Kesan Para Sahabat Tentang Widjojo 
Nitisastro,”  dan “Tributes For Widjojo Nitisastro By Friends From 27 Foreign 
Countries.” 
 
 Kesan itu muncul, karena dari  124 catatan dan artikel yang terangkum dalam 
kedua buku setebal 910  halaman tersebut, tidak sedikit pun terdapat 
tanda-tanda bahwa krisis  ekonomi 1997/1998 benar-benar pernah terjadi.  

 Padahal, jika disimak semua  catatan dan artikel yang terangkum dalam kedua 
buku itu, yang sedianya  akan diterbitkan pada 1997, hampir selurunya 
dipersiapkan beberapa minggu,  beberapa hari, atau bahkan bersamaan dengan 
dimulainya krisis ekonomi  maha dahsyat tersebut.  

 Lebih hebat lagi, alih-alih  mengungkapkan tanda-tanda akan terjadinya krisis 
ekonomi, sebagian besar  catatan dan artikel yang ditulis oleh para ekonom 
senior itu, justru  asyik berbicara mengenai prestasi dan keajaiban ekonomi 
Indonesia. 
 
 Pertanyaannya, berangkat dari  kecerobohan akademik para penyumbang catatan 
dan artikel yang sengaja  dikumpulkan sebagai kado ulang tahun ke 70 Prof. 
Widjojo Nitisastro  tersebut, masihkah kita dapat mempercayai kredibilitas dan 
keabsahan  pemikiran-pemikiran ekonomi mereka? 

 Jawabannya, saya kira, cukup  jelas. Bahkan, jika dibuka kembali berbagai 
pemberitaan media massa  pada permulaan krisis ekonomi yang kini menenggelamkan 
Indonesia dalam  tumpukan utang dalam dan luar negeri sebesar Rp1.400 trilliun 
tersebut,  tidak sedikit di antara mereka yang justru berteriak lantang 
mengenai  ketangguhan ekonomi Indonesia. Kata mereka, ketika krisis melanda 
Thailand  dan Korea Selatan, “Kita tidak perlu khawatir, sebab fundamental 
ekonomi  Indonesia cukup baik.” 

 Sebab itu, alasan penundaan  penerbitan kedua buku tersebut selama 10 tahun, 
tidak terlalu sulit  untuk dipahami. Pertama, penerbitan kedua buku itu 10 
tahun yang lalu  jelas akan menjadi anekdot yang tidak lucu. Kedua, pengedaran 
buku tersebut  di tengah-tengah krisis ekonomi yang sedang dialami Indonesia, 
secara  bisnis, jelas tidak akan menguntungkan. 

 Bahwa setelah 10 tahun kedua  buku tersebut jadi juga diterbitkan, tentu 
menarik untuk dipertanyakan.  Tetapi saya tidak akan membahas hal tersebut. 
Saya juga tidak ingin  menyinggung sedikit pun mengenai ketokohan atau 
sifat-sifat pribadi  Widjojo.  

 Yang ingin saya bahas dalam  mengupas kedua buku yang diterbitkan oleh Kompas 
itu adalah mengenai  garis pemikiran ekonomi, yang selama 50 tahun terakhir 
dianut dan diamalkan  oleh Widjojo. 

 Secara kronologis, corak pemikiran  ekonomi Widjojo dapat ditelusuri dari 
tulisannya yang berjudul “The  Socio Economi Basis of the Indonesian State: an 
Interpretation of Paragraph  1, Article 38 of the Provinsional Constitution of 
the Republic of Indonesia,”  yang diterbitkan oleh Universitas Cornell pada 
1955. 
 
 Berdasarkan tulisan tersebut,  berbeda dari kebanyakan ekonom yang lebih muda, 
dapat diketahui bahwa  sejak awal Widjojo tidak asing dengan amanat konstitusi. 
Artinya, sesuai  dengan pusat perhatian Widjojo pada ayat 1 Pasal 38 (kini 
Pasal 33 Undang  Undang dasar 1945 – pen.), sejak awal Widjojo tidak asing 
dengan  konsep demokrasi ekonomi dan koperasi. 

 Sebagaimana dikemukakan oleh  penjelasan Pasal 33 UUD 1945, “Dalam Pasal 33 
tercantum dasar demokrasi  ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk 
semua, di bawah pimpinan  atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Sebab itu, 
perekonomian disusun  sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, 
dstnya.” 
 
 Bahkan, setelah pulang dari  studi lanjutnya di Amerika, sebagaimana terungkap 
dalam artikelnya yang  berjudul “Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Yang Tidak 
Bijaksana” (1966),  Widjojo tetap tidak lupa dengan amanat konstitusi tersebut. 
                                                                                
   
 
 Walau pun demikian, justru  cara Widjojo dalam memahami demokrasi ekonomi 
inilah tampaknya semua  persoalan bermula. Dalam memahami demokrasi ekonomi, 
Widjojo ternyata  sengaja menghindari penggunaan perspektif yang berkonotasi 
sosialisme.  Sikap kritisnya terhadap ekonomi terpimpin yang dicanangkan 
Soekarno,  rupanya mendorong Widjojo untuk memahami amanat konstitusi itu 
berdasarkan  liberalisme. 

 Implikasi penafsiran paksa  ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 berdasarkan liberalisme 
tersebut sangat jelas.  Dengan menafsirkan demokrasi ekonomi berdasarkan 
liberalisme, walau  pun tetap berbicara mengenai partisipasi rakyat, Widjojo 
cenderung memahaminya  dalam bentuk peningkatan peran serta rakyat dalam 
mengawasi kekayaan  dan keuangan negara, bukan dalam bentuk keikutsertaan 
rakyat dalam memiliki  alat-alat produksi. 

 Implikasi berikutnya, bertolak  belakang dengan Hatta, walau pun sama-sama 
menaruh perhatian terhadap  peningkatan kesejahteraan rakyat, Widjojo kurang 
berminat terhadap pengembangan  koperasi. Padahal, kalimat terakhir penjelasan 
Pasal 33 UUD 1945 secara  jelas menyatakan, “Bangun perusahaan yang sesuai 
dengan itu ialah  koperasi.”  

 Corak pemikiran Widjojo yang  berseberangan dengan Soekarno dan Hatta itu 
tentu tidak terbentuk dengan  sendirinya. Hemat saya, dalam hal inilah peran 
dosen-dosen Belanda dan  Amerika yang pada tahun 1950-an mengajar di Fakultas 
Ekonomi UI, memainkan  peranan kunci. Demikian halnya dengan peran Yayasan Ford 
yang membiayai  studi lanjut Widjojo dan kawan-kawan di Amerika pada 1957. 
 
 Sehubungan dengan kecenderungan  Widjojo (dan kawan-kawan) untuk menganut 
paham ekonomi liberal ini,  penjelasan Mohammad Sadli selaku saksi ahli dalam 
judicial review  UU Kelistrikan di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu 
menarik untuk  disimak. 

 Menurut Sadli,  “reformasi mendasar dalam wawasan public policy di bidang 
ekonomi  (pada permulaan Orde Baru – pen.) adalah ditinggalkannya kebijakan  
command economy di bawah pemerintah Presiden Soekarno, dan dasar  kebijakan 
baru jauh lebih banyak mengikuti faham pasar yang serba bebas  (free market 
forces dan market mechanism) sebagai wahana  utama alokasi sumber daya dan 
dana.” .... “Wacana baru ini juga  merupakan refleksi kekecewaan 
(disenchantment) kami terhadap  praktek pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 oleh 
pemerintahan Soekarno.” 
 
 “Akan tetapi,  Undang-undang Dasar 1945 tidak dirubah. Dasar negara (tetap) 
Pancasila.  Mungkin keputusan untuk tidak merubah UUD 1945 lebih didasarkan 
agar  tidak “membuka kotak Pandora”, yang bisa mengulangi debat sengit  di 
tahun 1945 mengenai dasar negara. Maka dasar fikiran pemerintah Soeharto  
adalah untuk merombak paradigma kebijaksanaan pemerintah dengan penafsiran  UUD 
1945 secara lebih sesuai dengan kebutuhan zaman seperti dirasakan  oleh 
penguasa-penguasa baru.” 

 Berdasarkan keterangan Sadli  itu, dapat diketahui bahwa upaya menelikung 
penafsiran Pasal 33 UUD  1945 bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa sengaja. 
Hanya saja, berbeda  dari Sadli, saya kira kurang tepat bila dikesankan 
seolah-olah hal itu  baru berlangsung sejak awal pemerintahan Soeharto. Masa 
perkuliahan  dan tahun penerbitan artikel Widjojo tadi secara jelas 
mengungkapkan  bahwa secara sistematis hal itu sudah dirintis sejak awal 
1950-an atau  segera setelah Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan. 
 
 Dengan latar belakang seperti  itu, kehadiran Widjojo dan kawan-kawan dalam 
pemerintahan Soeharto,  tidak dapat begitu saja dipahami sebagai sesuatu yang 
bersifat kebetulan.  Sebagaimana terungkap pada pendaftaran kembali keanggotaan 
Indonesia  di IMF dan Bank Dunia, serta pembentukan IGGI, kehadiran Widjojo 
(dan  kawan-kawan) dalam pemerintahan Soeharto jelas memiliki hubungan 
simbiotis  mutualistis dengan kepentingan modal internasional. 
 
 Artinya, terlepas dari kekecewaan  Widjojo (dan kawan-kawan) terhadap 
Soekarno, penyelenggaraan demokrasi  ekonomi pada mulanya dimaksudkan sebagai 
upaya untuk mengoreksi struktur  ekonomi Indonesia yang berwatak kolonial. 
Dengan menafsirkan demokrasi  ekonomi secara liberal, Widjojo justru membukakan 
pintu bagi bertahannya  struktur ekonomi warisan Hindia Belanda tersebut. 
 
 Terkait dengan itu, jasa Widjojo  (dan kawan-kawan) dalam menegosiasikan 
pembayaran utang luar negeri  Indonesia tidak dapat begitu saja dibatasi pada 
pembayaran utang luar  negeri sebesar US$2,4 milliard yang diwariskan Soekarno. 
Sesuai dengan  kepentingan modal internasional, hal itu harus dikaitkan pula 
dengan  kesediaan untuk membayar kembali utang luar negeri warisan Hindia 
Belanda  sebesar US$4 milliard, padahal utang Hindia Belanda tersebut termasuk  
biaya yang dikeluarkan Belanda untuk menindas perlawanan terhadap kolonialisme  
Belanda dan memerangi pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia.  Bahkan,  jika 
diteruskan hingga berakhirnya era pemerintahan Soeharto, harus  dikaitkan pula 
dengan pembuatan utang luar negeri baru sebesar US$54  milliard. 

 Dengan mengemukakan hal itu,  bukan maksud saya untuk mengecilkan kerja keras 
Widjojo (dan kawan-kawan)  dalam memajukan perekonomian Indonesia. Masalahnya, 
setelah mendapatkan  kesempatan emas selama 32 tahun untuk mengamalkan corak 
pemikiran yang  mereka yakini, harga yang dibayar oleh rakyat Indonesia rasanya 
sudah  jauh terlalu mahal. 

 Dalam era pemerintahan Soeharto  hal itu harus dibayar dengan hidup di bawah 
sebuah pemerintahan yang  otoriter. Pasca krisis ekonomi 1997/1998, hal itu 
harus dibayar dengan  tumpukan utang dalam dan luar negeri sebesar Rp1.400 
triliun. Bahkan,  menyusul pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal dalam 
beberapa  tahun belakangan ini, hal itu harus dibayar dengan meningkatnya 
kembali  angka kemiskinan dan pengangguran.  

 Yang sangat memprihatinkan,  60 tahun setelah proklamasi, struktur ekonomi 
Indonesia yang bercorak  kolonial masih tetap seperti sediakala. Sebab itu, 
terlepas dari motivasi  penerbitan kedua buku tersebut, pertanyaan terakhir 
saya, apakah harga  yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia untuk pengamalan 
sebuah corak  pemikiran ekonomi tidak ada batasnya? Jawabannya, wallahu a’lam.  
   

 
---------------------------------
Don't be flakey. Get Yahoo! Mail for Mobile and 
always stay connected to friends.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke